x

Presiden Joko Widodo mengunjungi Natuna pada awal 2020.

Iklan

Bayu W |kuatbaca

Penulis Manis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Maret 2022

Sabtu, 30 April 2022 19:17 WIB

Ukraina dan Laut Cina Selatan, Indonesia Mendayung antara Dua Karang

Pertarungan hegemoni antara dua kekuatan besar pasca Perang Dunia II ternyata tidak pernah berhenti. Bahkan, sesudah Uni Soviet bubar dan Cina melenturkan komunisme, Amerika maupun Sekutu tetap tidak mau memalingkan arah bedil yang sudah dipasanga sejak zaman Perang Dingin. Indonesia, sebagai negara di antara dua benua dan dua samudera, terpaksa mengalami lagi dilema dan fetakompli politik akibat dari pertarungan hegemoni internasional.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pertarungan hegemoni di antara dua kekuatan besar pasca Perang Dunia II ternyata tidak pernah berhenti mengepulkan bara apinya. Bahkan, sesudah Uni Soviet bubar dan Cina melenturkan Komunisme yang dianutnya, Amerika maupun Sekutu tetap tidak mau memalingkan arah bedil yang sudah dipasangnya sejak zaman Perang Dingin. Malahan kali ini, baik Amerika maupun NATO terpaksa mempertebal persiapan militernya di dua front. Di barat (Eropa) mereka menghadapi Rusia, dan di timur (Laut Cina Selatan) menghadapi RRT (Republik Rakyat Tiongkok).

Di di kawasan Eropa, Rusia tanpa alasan yang bertele-tele telah melancarkan mobilisasi besar pasukan dengan dalih mengadakan latihan perang bersama Belarusia. Dan, sebagai respon, NATO bergegas memperkuat diri sebagai langkah antisipasi kalau tiba-tiba Rusia merangsek ke Ukraina.

Joe Biden dan Boris Johnson bahkan sejak awal secara terbuka mengatakan, bahwa militer Rusia memang berniat masuk ke Ukraina, dan kekhawatiran itu pada akhirnya terbukti. Sedangkan di Laut Cina Selatan, sembari terus membangun pengaruh melalui Indo Pacific Forum, Armada Ketujuh milik Uncle Sam tetap tidak mengendorkan barisannya dalam menekan RRT.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Indonesia, sebagai negara yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, terpaksa mengalami lagi dilema dan fetakompli politik akibat dari pertarungan hegemoni internasional. Antara Amerika-NATO yang melawan duet Rusia-RRT, keduanya saling membuka front secara terbuka, dan mesiu sudah ditembakkan di Ukraina.

Soal Ukraina, analisa John Mearsheimer di universitas Chicago 7 tahun lalu secara tegas memperingatkan, bahwa Ukraina adalah buffer zone Rusia dari instalasi-instalasi militer NATO. Oleh sebab itu, meski Uni Soviet sudah bubar, Rusia tetap tidak akan melepas Ukraina dari intervensinya, seperti halnya Krimea. Akan tetapi Ukraina malah ditarik-tarik agar gabung jadi anggota NATO dan secara ekonomi ikut Uni Eropa di bawah payung negara-negara Blok Barat.

Seiring dengan itu, kampanye bertubi-tubi tentang demokratisasi yang terus digalakkan ke seluruh hemisfer bumi, yang juga dijadikan dalih atas harus bergantinya rezim di Irak, Afghanistan, Libya, hingga Syiria, dari sudut pandang Putin dan Jinping tentu dibaca sebagai upaya merongrong kemapanan politik di Rusia dan RRT. Untuk yang sudah meletus di Ukraina, di hadapan pers Joe Biden mengultimatum bakal membekukan aset-aset Rusia di Amerika dan negara-negara Sekutu. Sedangkan Boris Johnson, di hadapan parlemen Inggris, secara vulgar menganalogikan Vladimir Putin yang kalau bertindak lebih jauh lagi, bisa senasib dengan Slobodan Milosevic yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan internasional.

Peryataan keras -dan terus semakin keras- dari dua pentolan negara Blok Sekutu tersebut tentu bakal mengalirkan efek domino ke semua negara-negara partisan di seluruh dunia. Krisis yang awalnya regional, oleh peryataan semacam itu, jelas juga diarahkan untuk menjadi ancaman perang dengan skala tak terbatas.

Lantas, apakah bola salju yang sudah digelindinggkan ini akan benar-benar berubah menjadi raksasa dan menghancurkan semua yang dilewatinya? Akankah konflik di antara kelompok adi daya itu bakal menyeret semua negara yang menjadi periferi mereka untuk ikutan saling tembak.

Di dalam catatan sejarah, sejak dari tahun 0 Masehi hingga sekarang, tercatat telah belasan kali terjadi peralihan hegemoni dunia. Dan, sejak dari masa Romawi-Persia hingga berakhirnya Perang Dingin (Cold War), semua perebutan hegemoni itu selalu disertai dengan perang besar baik dalam skala benua ataupun dunia. Hanya ketika runtuhnya Uni Soviet perang besar tidak terjadi. Akan tetapi, pasca Uni Soviet, perebutan keras yang mengarah pada peralihan hegemoni mencuat kembali dengan naiknya RRT sebagai revisionis bagi hegemoni yang terlah didapat Amerika di theatre Asia-Pasifik. Menurut CNBC, per Agustus 2019, PDB RRT sudah mengalahkan PDB USA. Dan, kekuatan maritim RRT di Asia Timur sudah tidak dapat ditandingi oleh Armada Ketujuh USA sejak tahun 2009.

Seiring adu pengaruh yang terus terjadi, dampak riil perang dagang antara Amerika dengan RRT yang semakin mendekati titik didih, juga ketegangan antara Rusia dengan NATO, jelas memunculkan pilihan dan situasi yang sulit bagi Indonesia dalam mengeluarkan kebijakan luar negeri. Bagi negara-negara Non-Blok, terutama yang berada di Asia Tenggara (ASEAN), akhirnya mesti sekali lagi menghadapi krisis keadaan seperti yang dulu pernah dipidatokan oleh Bung Hatta di Jogja pada tahun 1948.

Dulu Indonesia menghadapi dilema di tengah posisi masih berusaha mempertahankan kemerdekaan dari ancaman riil Belanda. Sedangkan kali ini, ancaman yang hadir adalah tekanan ekonomi yang tentu diikuti pula dengan tekanan politik dari dua kubu yang bertikai, yakni blok Amerika-NATO maupun RRT-Rusia. Dan, untuk semua dampak yang ditimbulkan, rakyat Indonesia akan merasakannya secara langsung.

Jika Indonesia mendukung RRT dan Rusia, pasti Amerika bakal ngambek dan boleh jadi akan berhenti mengirimi kacang kedelai atau gandum misalnya. Sedangkan kalau memilih sebaliknya, yakni madep-mantep ikut Amerika, Indonesia tentu bakal krisis bawang putih, hape Xiaomi, ataupun semua order dropship kiriman dari RRT.

Demikian pula bagi negara-negara NATO dan yang lainnya, mereka tidak akan membiarkan Indonesia duduk manis di barisan kelompok yang menjadi musuhnya. Oleh karena itu, berbagai macam upaya guna melemahkan ataupun memperkuat basis ekonomi di Indonesia pasti dilakukan. Saling cekal dan embargo jelas sudah mengancam bagi Indonesia.

Dan, Vladimir Putin, sebagai pihak yang pertama menarik pelatuk, tidak mungkin tidak memperhitungkan visibilitas dari konflik yang dimulainya. Begitu pula dengan Joe Biden, Xi Jinping, Boris Johnson, dan semua yang lainnya sebagai teman-teman mereka.

Sebagaimana dipidatokan dulu oleh Bung Hatta, keadaan Indonesia adalah seperti "Mendajung Antara Dua Karang". Secara tegas, Bung Hatta memberi peringatan tentang sikap maupun arah perjuangan Bangsa Indonesia. Bahwa, "Perdjoangan kita harus diperdjoangkan diatas dasar sembojan kita jang lama: Pertjaja akan diri sendiri dan berdjoang atas kesanggupan kita sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional".

Dan, "Memang tiap-tiap politik untuk mentjapai keududukan negara jang kuat ialah mempergunakan pertentangan internasional jang ada itu untuk mentjapai tudjuan nasional sendiri. Belanda berbuat begitu, ja segala bangsa sebenarnja berbuat sematjam itu, apa sebab kita tidak akan melakukannja? Tiap-tiap orang diantara kita tentu ada mempunjai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi perdjoangan bangsa tidak bisa dipetjah dengan menuruti simpati sadja, tetapi hendaknja didasarkan pada realitet, kepada kepentingan negara kita setiap waktu."

Hari ini, lantaran posisi strategisnya yang berada di antara dua benua dan dua samudera, seperti yang telah diingatkan oleh Bung Hatta, Indonesia harus makin pandai-pandai membawa diri saat mendayung di antara dua karang. Harus dipilih jalan tengah antar dua kekuatan yang berpengaruh, dan bukan jalan plin-plan yang depan bisa belakang bisa.

Ikuti tulisan menarik Bayu W |kuatbaca lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler