Oleh: Bambang Udoyono, penulis buku
Suatu malam saya ikut acara di sebuah komunitas whattsapp group. Acara tersebut berjalan seru. Dari perspektif masing masing para peserta menanggapi paparan Pak Yudi dan bu Ita tentang sikap assertive dan ambisi (bukan ambisius) untuk menggapai kesehatan dan kebahagiaan. Obrolan kami menyinggung soal lèngsèr alias pensiun atau meninggalkan pekerjaan dan jabatan. Ternyata ini merupakan masalah psikis cukup berat buat banyak orang. Mengapa berat?
Seseorang yang lèngsèr pasti kehilangan semua fasilitas istimewa. Rumah dinas, kendaraan dinas, staf, ajudan , penghasilan juga surut. Satu hal yang menyakitkan adalah sangsi sosial yang sulit dihindari. Tidak sedikit mantan anak buah dan masyarakat yang membalas dengan perlakuan buruk. Ketika bertemu mereka pura pura tidak melihat. Kenapa mereka membalas?
Di sisi lain saya pernah baca berita bahwa Joe Biden setelah lèngsèr_ sebagai wapres di masa Obama pulang kampung dengan naik kereta berbaur dengan masyarakat. Mereka di masyarakat Barat agaknya tidak menghadapi masalah psikis berat ketika lèngsèr Kok beda?
Saya menduga perbedaan ini ada hubungannya dengan feodalisme. Sebagian besar orang Indonesia memeluk ideologi feodalisme tanpa mereka sadari. Nilai nilai ini memang tidak mereka pelajari secara formal tapi dari keluarga dan masyarakat. Sopo siro sopo ingsun, siapa kamu siapa saya. Itulah nilai nilai yang hidup di dada kita. Maka jarak sosial antara pimpinan dan anak buah jauh sekali.
Sebagian besar kita tidak menyadari bahwa ada dua dimensi dalam hubungan sosial. Pertama adalah hubungan kerja yang menuntut adanya hirarki. Kedua adalah hubungan pribadi yang setara. Semua orang sejatinya setara. Masyarakat Barat sudah menyadari dan mampu mempraktekkan. Maka dalam hubungan pribadi pimpinan dan bawahan mampu berteman baik. Namun masyarakat Indonesia belum mampu. Keduanya menyatu. Pimpinan dan anak buah bukan teman. Ada jarak yang jauh. Situasi diperparah dengan sikap yang terasa arogan.
Akibatnya ketika seseorang lèngsèr masyarakat membalas. Alih alih menghormati, mereka malah meléngos ketika bertemu. Jadi ada sangsi sosial dari masyarakat. Apalagi sekarang ada medsos yang bisa menjadi media untuk memaki. Tambah berat sangsi sosial dari masyarakat.
Lantas bagaimana memperbaiki situasi ini? Tidak mudah memang, tapi paling tidak ada sesuatu yang bisa kita lakukan. Nilai nilai feodalistik itu harus dihapus dan diganti dengan nilai nilai kesetaraan yang ada di Barat dan di Islam. Ajarkan kepada anak cucu anda nilai nilai kesetaraan. Kalau nilai nilai kesetaraan sudah dijalankan maka mereka yang lèngsèr akan lebih mudah berbaur dengan masyarakat. Tidak akan ada lagi beban psikis berat.
Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.