x

Kelas Ekonomi menuju pasar industri

Iklan

Mohammad Imam Farisi

Dosen FKIP Universitas Terbuka
Bergabung Sejak: 17 Februari 2022

Jumat, 20 Mei 2022 07:18 WIB

Membumikan Sains, dan Sains untuk Masyarakat

Sains sebagai “madzhab suci” para ilmuwan harus membumi dalam kehidupan masyarakat. Menjadi pedoman setiap orang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sains atau ilmu pengetahuan seharusnya tidak melangit. Para elite intelektual sudah saatnya bergerak untuk melakukan “politik media sosial”, memperbanyak publikasi hasil pemikiran/riset dalam bentuk catatan, opini, kolom, analisis dan semacamnya di media-media popular. Itu bisa menjadi ruang pencerahan untuk menciptakan warga negara dan warganet beradab sebagai basis network society.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 1994 Profesor Quraish Shibab memperkenalkan kosep “membumikan al-Qur’an” melalui karyanya “Membumikan Alquran; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat” (1994). Buku ini merupakan salah satu best seller, dan dua tahun sejak diterbitkan, sudah dicetak untuk edisi ke-13.

Konsep “membumikan al-Qur’an” ini kemudian menjadi popular di kalangan cendekiawan, mahasiswa, dan tak terkecuali para juru dakwah. Ide utamanya adalah bagaimana pesan-pesan kitab suci tidak melangit, mengawang-awang di langit, dan hanya membahas tentang kehidupan di dunia terwujud bayang-bayang surga dan neraka. 

Al-Qur’an tidak boleh terhenti pada tataran kajian ilmiah, atau sekadar dibaca, dihafalkan, tapi keistimewaannya tertahan pada huruf, ritme, dan nada bacaan saja. Pesan-pesan al-Qur’an juga tidak boleh ekslusif, elitis, dan hanya dapat dipahami secara terbatas di kalangan pakar/ilmuwan/ahli dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ayat-ayat al-Qur’an dan maknanya harus membumi dan mendekatkan dua kondisi yang berbeda, antara kondisi ideal Al Qur`an (das sollen) dan kondisi nyata kehidupan umat (das sein). Al-Qur’an harus dapat dimengerti dengan mudah oleh masyarakat dari semua golongan. Pesan-pesan al-Qur’an harus dekat, menjadi petunjuk nyata yang mudah diamalkan dalam berbagai aspek kehidup keseharian masyarakat. Hanya dengan cara demikian, maka al-Qur’an bisa menjadi rahmat bagi seluruh semesta (rahmatan lil a-lamin).

Namun demikian, ada beberapa problematika dalam membumikan al-Qur’an. Diantaranya  karena faktor geografis, keterbatasan pemahaman dan sarana penunjang; perbedaan bahasa (lahjah); perbedaan bentuk atau dasar negara (kekuasaan); dan dominasi dasar-dasar ide atau nilai yang berpengaruh pada kendala rekayasa prasarana yang menjembatani upaya pembumian (Luthfi, 2003).

Atas dasar itu, Shihab kemudian menawarkan cara membumikan al-Qur’an yaitu dengan memahami dan menafsirkan isi dan pesan-pesan AI-Qur'an berdasarkan pendekatan sosio-kultural masyarakat Indonesia, dan metode penafsiran mawdhu’iy (tematik). Melalui cara/metode ini, pembaca tidak hanya dihadapkan pada hal-hal yang bersifat teoretis semata-mata, tetapi juga pada realitas dan persoalan keseharian masyarakat, disertai dengan jawaban-jawabannya. Selain itu, cara/metode yang ditawarkan Shihab dapat memperjelas kembali fungsi al-Quran sebagai kitab suci, dapat membuktikan keistimewaan al-Quran, dan dapat membuktikan bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat (Shihab, 1994).

Howard menilai pemikiran dan karya Shihab saat itu sangat inovatif, tatkala tafsir al-Quran banyak didominasi oleh para alumni kampus-kampus Barat. Shihab telah memecah kebuntuan kajian tafsir modern tanah air, yang sempat stagnan, bahkan mandek pada 1980-an. Pada dekade itu, beberapa pemikiran tokoh Indonesia sempat menggeliatkan kajian tafsir modern nusantara. Seperti ash-Siddieqy dengan karyanya judul Tafsir al-Bayan, Halim Hasan melalui karyanya Tafsir Alquranul Karim, dan terakhir pendahulu Shihab, yakni Buya Hamka dengan karyanya Tafsir al-Azhar. Namun, hingga sekarang, belum ada lagi karya-karya monumental yang muncul setelah itu (Nashrullah, 2014).

Seperti al-Qur’an, sains sebagai “madzhab suci” para ilmuwan juga harus membumi dan mendekat dalam realitas kehidupan masyarakat. Menjadi pedoman dan petunjuk bagi setiap orang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan maju. Sains atau ilmu pengetahuan sebagai produk intelektualitas dan kecendekiaan manusia seharusnya juga “tidak melangit”. Terhenti pada tataran kajian dan publikasi ilmiah, yang pesan-pesannya sangat ekslusif, elitis. Sains tidak boleh hanya menjadi objek hafalan, dan keistimewaannya tertahan pada teori, konsep, rumus, atau simbol-simbol ilmiah, dll. Pekat dengan pesan-pesan teoretis-abstrak yang hanya bisa dipahami secara terbatas di kalangan pakar/ilmuwan/ahli dalam bidang sains masing-masing.

Tak bisa dipungkiri, publikasi ilmiah di jurnal-jurnal dan forum-forum ilmiah skala nasional maupun internasional merupakan sebuah keniscayaan yang yang tidak bisa ditinggalkan dan diganti oleh apapun. Bahkan, selama ini di kalangan pakar/ilmuwan/ahli sains ada adagium publish or perish, yang telah menjadi way of life dalam kehidupan universitas dan komunitas akademik sejak empat dekade akhir 1990an. Ia juga menjadi ukuran bagaimana kecendekiaan/kepakaran (scholarliness) itu didefinisikan dan diukur (Round & Miller, 2005).

Adagium ini telah menjadi kata suci yang meniscayakan kepada para pakar/ilmuwan/ahli sains untuk meneliti dan mempublikasikan hasilnya ke publikasi jurnal/forum ilmiah. Tujuannya, selain untuk memelihara kesinambungan tradisi keilmuan dan kecendekiaan, agar tidak musnah (perish). Tetapi sekaligus merupakan ajang pembuktian penulis atas prestasi akademik yang bisa diraihnya (individu atau tim) agar mendapatkan rekognisi dari institusi dan kemunitas ilmiah.

Dengan kata lain, publikasi ilmiah sesungguhnya merupakan panduan simbolisasi antara memelihara tradisi akademik dan unjuk prestasi dan kebanggan akademik. Karena itu, tidak heran jika para penulis berlomba-lomba mempublikasikan karya-karya ilmiahnya ke jurnal ilmiah dan/atau prosiding yang terakreditasi nasional dan/atau bereputasi internasional; memiliki indeks sitasi yang tinggi; dan memiliki faktor dampak (impact factor) yang bagus. Atau lazim disebut scientometric approach (Wikipedia). Fenomena inilah yang sejak awal 2000an menjadi paradigma baru dalam menilai derajat scholarliness sebuah karya akademik.

Namun demikian, tidak semua pakar sepakat bahwa tingkat scholarliness sebuah karya akademik didefinisikan dan dinilai hanya semata-mata berdasarkan pada tempat artikel tersebut diterbitkan (jurnal elite/bereputasi atau tidak), dan pada penggunaan index dan impact factor jurnal. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, sistem ini telah menciptakan elitisme dalam tradisi publikasi akademik (Lee, 2012; Round & Miller, 2005). Bahkan, dalam American Society of Cell Biology tahun 2012 dalam deklarasinya berjudul “San Francisco Declaration on Research Assessment: Putting Science into the Assessment of Research (DORA)” menegaskan bahwa pendekatan impact factor jurnal “has its deficiencies and should not be used for the quality assessment of scientific research.” (Dani, 2018, 20).

Pada titik ini, para elite intelektual sesungguhnya juga memiliki kewajiban akademik dan moral untuk membumikan dan mendekatkan sains kepada seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya kepada lapisan tertentu melalui publikasi/diseminasi yang tidak hanya terbatas pada jurnal/pertemuan ilmiah. Makna publikasi/diseminasi harus diperluas, menjangkau ke media-media publikasi/diseminasi yang bisa diakses oleh semua orang, dari segala lapisan. Seperti media massa, jurnalisme publik (citizen journalism), media-media sosial, dan berbagai platform media popular lainnya.

Sudah saatnya media-media popular seperti itu menjadikan ruang dan media publikasi para pakar, agar hasil-hasil pemikiran/penelitian mereka lebih terpublikasi/terdiseminasi, dan tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan yang sangat terbatas, dan/atau hanya teronggok di ruang-ruang perpustakaan, yang disinyalir merupakan pemborosan besar hasil riset (Hamid, 2016).

Apalagi, di era keterbukaan informasi digital saat ini, semua media cetak popular telah memiliki platform digital. Di samping media-media sosial dan jurnalisme publik yang disediakan oleh koorporasi media seperti Kompas, Tempo, dll. Semuanya sudah membuka ruang bagi akademisi yang ingin menulis berbagai hal terkait fenomena dan realitas keseharian kehidupan masyarakat (politik, ekonomi, sosial, budaya, dll.). Bahkan, saat ini kedudukan peran media-media seperti ini telah menjelma menjadi media tandingan bagi media massa arus utama, dan muncul sebagai kelompok/kekuatan penekan (Farisi, 2022).

Para elite intelektual (pakar, peneliti, ilmuwan, ahli) sudah saatnya memiliki kemauan, kesadaran, dan komitmen untuk melakukan “Politik Media Sosial” (Farisi, 2021), memperbanyak publikasi hasil pemikiran/riset dalam bentuk catatan, opini, kolom, analisis dan semacamnya yang tersedia di media-media popular sebagai ruang pencerahan demokratis dan berkeadaban yang mampu menciptakan warga negara (citizen) dan warganet (netizen) beradab sebagai basis network society. Dibandingkan dengan model-model pengembangan yang ada (Abbassi, 2003; Riel & Polin, 2004; Teodorescu et al., 2012), publikasi popular melalui media-media ini merupakan model paling mudah dan sederhana dalam ikhtiar untuk membangun knowledge-based community.

Jika hal ini terjadi, miskinnya komunikasi sains antara pakar dan masyarakat di Indonesia dapat diantisipasi. Ruang-ruang di media popular pun tidak lagi diisi oleh para oportunis untuk menyebar hoaks, disinformasi, dll. Sebuah fenomena yang digambarkan oleh Tom Nichols sebagai era "The Death of Expertise" (2017). Sebuah era yang mengampanyekan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan yang telah mapan. Ditandai oleh rongrongan secara eksploratif dan massif atas otoritas para ahli, dan sentimen anti-keahlian dan anti-intelektualisme, yang tentu sangat berbahaya bagi kehidupan intelektual atau kecendekiaan.

The death of expertise harus menjadi peringatan keras atas stabilitas dan kelangsungan hidup tradisi agung universitas di era informasi, yang suatu saat akan runtuh, jika para akademisi tidak merawat keagungan khasanah intelektual dalam bentuk kehadirannya secara intelektual, memberikan pencerahan kepada masyarakat di ruang-ruang media publik, yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir dari semua ikhtiar intelektual mereka.

Komitmen dan kesadaran untuk turun dari singgasana dan berbagi hasil pemikiran/riset tentang fenomena dan realitas masyarakat melalui publikasi populer, juga diharapkan dapat menghindarkan para akademisi agar tidak melulu fokus pada ‘terdengar pintar’ daripada membumikan sains pada masyarakat” (Junaedi, 2021); dan agar terhindar dari kutukan pengetahuan” (curse of knowledge) (Kennedy, 1995) yang menyebabkan komunikasi sains antara pakar-masyarakat semakin tidak terjembatani, karena masyarakat sulit untuk memahami isi tulisan mereka. Kutukan ini terjadi sebagai akibat dari bias pikir para akademisi yang lebih berorientasi pada “perspektif kepakaran” dengan gaya dan pilihan kata penuh jargon, esoteris, simbolis, dan semacamnya, daripada “perspektif keawaman” dengan gaya dan pilihan kata yang lebih memasyarakat, mudah dipahami.

Namun demikian, komitmen dan kesadaran personal maupun kolektif dari para akademisi tidak banyak berarti, manakala kebijakan-kebijakan baik di tingkat kementerian maupun institusi/Lembaga kurang mendukung. Sebagai gambaran, bisa dilihat pada sejumlah peraturan seperti Permendikbud No 92/2014 (beserta PO-PAK 2013, dan PO-PAK 2019).

Dalam Permen tersebut, pemerintah memberikan perhatian lebih pada dosen yang berhasil mempublikasikan karya ilmiah di jurnal nasional terakreditasi (Sinta 1 sd. 6) atau jurnal internasional bereputasi (terindeks Scopus, Wos) diganjar angka kredit antara 10—40 AK. Sedangkan karya ilmiah popular yang dipublikasikan di koran/majalah popular/umum hanya diganjar angka kredit 1 AK. Itupun jumlahnya dibatasi paling banyak 5% dari angka kredit unsur penelitian untuk pengajuan ke semua ienjang. Belum lagi jika ada insentif/reward yang disediakan oleh institusi peneliti bagi mereka yang berhasil mempublikasikan karya-karya ilmiahnya di jurnal/prosiding nasional dan/atau internasional.

Pemberian tunjangan profesi dosen dan kehormatan professor juga hanya mensyaratkan publikasi ilmiah di jurnal nasional terakreditasi dan/atau jurnal internasional bereputasi yang terindeks oleh lembaga pemeringkat internasional yang diakui oleh Kementerian. Tidak ada syarat yang membolehkan publikasi di media popular/umum (Permenristekdikti 20/2017).

Tidak itu saja. Bahkan, seorang peneliti dapat mengajukan biaya tambahan di luar biaya penelitian, untuk keluaran tambahan berupa publikasi hasil penelitian, dengan besaran biaya tambahan sebagai berikut.

 

No

Jenis Publikasi

Besaran Biaya Tambahan (dalam Rp)

1.               

Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi

3.000.000

2.               

Jurnal Nasional Terakreditasi

10.000.000

3.               

Jurnal Internasional Tidak Bereputasi

15.000.000

4.               

Jurnal Internasional Bereputasi

50.000.000

5.               

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional

2.000.000

6.               

Prosiding Pertemuan Ilmiah Internasional

5.000.000

7.               

Prosiding Pertemuan Ilmiah Internasional Terindeks

10.000.000

8.               

Artikel populer di media cetak

2.000.000

Dari: PMK No. 123/PMK.02/2021 tentang Standar Biaya Keluaran TA 2022.

 

Adalah benar, bahwa komitmen dan kesadaran untuk publikasi melalui media-media popular lebih didasari oleh pengabdian (community service) daripada pencitraan (prestige & pride). Namun, kebijakan-kebijakan yang kurang pro masyarakat seperti itu, tentu sangat tidak mendorong para dosen/peneliti untuk mempublikasikan karya-karya intelektualnya melalui media-media massa dan jurnalisme publik. Kebijakan tersebut juga menyebabkan para dosen/peneliti tidak termotivasi dan enggan untuk turun gunung mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui kanal-kanal media-media popular yang lebih massif.

Kita sangat berharap, pihak Kementerian dan institusi/lembaga tempat bernaung para dosen/peneliti/pakar/ilmuwan membuka kran dan fasilitas (angka kredit, insentif, dll.) yang lebih besar bagi mereka untuk menuliskan hasil pemikiran atau risetnya secara populer melalui media-media publik yang diterbitkan oleh lembaga/institusi bereputasi. Sudah saatnya pula untuk lebih menggaungkan bahwa “publikasi/diseminasi melalui media-media publik merupakan salah satu bentuk hilirisasi hasil pemikiran/riset.” Hanya dengan cara demikian, masyarakat luas yang selama ini termarginalisasi oleh sistem akademik yang kurang egaliter dan elitis, juga harus bisa merasakan dan menikmati hasil-hasil penelitian dalam wujud yang lebih nyata.

Hal ini, sejalan pula dengan perubahan paradigma keilmuan dari “lmu untuk ilmu ke ilmu untuk masyarakat. Bahwa hasil pemikiran/penelitian tidak melulu hanya untuk kepentingan pengembangan dan kemajuan ilmu itu sendiri (epistemologis, dan ontologis), tetapi juga untuk kemajuan masyarakat (aksiologis) (Farisi, 2021).

 

Surabaya, 19 Mei 2022

Ikuti tulisan menarik Mohammad Imam Farisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler