x

illustr: NorthShore University HealthSystem

Iklan

Johanes Marno Nigha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 April 2022

Minggu, 22 Mei 2022 05:59 WIB

Pemuda, Pengetahuan Lokal, dan Media Sosial: Strategi Mempertahankan Milik Terakhir

Jika kolonialisasi era kini berbasiskan data, maka pertahanan terakhir masyarakat lokal adalah yang melekat dalam kehidupan mereka. Itu bisa berupa pengetahuan lokal, alam, lanskap geografi dan geokultural. Jika itu semua dibagi ke dalam digitalisasi konten secara gratis, sesungguhnya tidak ada lagi pertahanan terakhir masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Media sosial hari ini telah menjadi budaya latar masyarakat kita. Hal ini diakibatkan karena perkembangan budaya digital. Terlihat  salah satunya dari penggunaan gawai/ handphone  secara masif oleh masyarakat. Semua tingkatan usia menggenggam gawai bahkan menjadikannya sebagai bagian dari rutinitas harian. Kondisi ini secara mencolok menciptakan salah satu perubahan besar dalam pola prilaku masyarakat yaitu perubahan realitas dan imajinasi. (Emi Widyanti, 2018).

Bayangkan tentang perbandingan ruang kelas sepuluh tahun lalu dan ruang kelas sepuluh tahun yang akan datang. Apabila  Imajinasi dan realitas pembayangan tentang ruang kelas  ini ditanyakan pada kaum muda misalnya para remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), maka jawaban  yang akan diterima sepuluh tahun yang akan datang tentang konsep ruang kelas akan sangat berbeda dengan ruang kelas kita pada sepuluh tahun yang lalu.  Kemungkinan jawaban yang akan diperoleh bukan lagi tentang ruang kelas  berisikan para murid  sedang duduk rapi, mendengarkan guru berbicara di depan papan tulis.  

Ruang kelas dalam imajinasi para siswa atau kaum muda sepuluh tahun akan datang bisa jadi adalah laptop atau gawai dan teman kelas serta guru adalah mereka yang berada di room chat(Afrizal, 2020). Pada situasi ini terlihat dengan jelas bahwa dimensi tertetu yang pada masa lalu hanya boleh ditemukan dalam jangkauan pertemuan fisik, investasi waktu untuk merapatkan jarak lalu berubah secara drastis lewat latar budaya digital.  Situasi ini kemudian mempunyai muara pada satu pertanyaan penting dalam konteks kehidupan. Bagaimana kaum muda ikut berpartisipasi sekaligus merefleksikan dirinya dalam  budaya latar kita dewasa ini?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kondisi Literasi Masyarakat Lokal Vs Budaya Digital dan Sosial Media

Kondisi  literasi kita belum baik, entah itu literasi baca maupun tulis. Hal ini diakibatkan karena pekerjaan rumah terbesar masyarakat lokal kita adalah bagaimana membangun atau  membuat cerita/ narasi. Minimal memperkaya konten kreator dengan pengetahuan. Ruang digital yang tercerap oleh kita belum sampai pada isi tapi pada hal  teknis semata.(Rochadiani et al., 2020)

Kehadiran sosial media, lalu mendorong semua orang menjadi konten kreator. Ada logika ekonomi di sana namun sekaligus terbelit masalah halusinasi. Masyarakat diseret ke dalam sebuah ilusi tentang produktivitas. Ada banyak ajakan media untuk selalu membuat konten minimal foto selfie di tempat-tempat yang memiliki view/ panorama yang bagus.  Tatanan bawah sadar kita dipaksa untuk masuk ke dalam kekuasaan (rezim) produktivitas, namun tanpa mendapatkan sesuatu yang jelas dari sana.

Saat masyarakat membuat konten tertentu lewat platform tertentu, hampir tidak ada kejelasan soal pembagian keuntungan dari apa yang telah dibuat dari konten dalam platform tersebut. Secara jelas, tentulah para pemilik platform seperti Youtube, Tiktok, Instagram atau facebooklah yang mendapatkan untung paling besar. Ada akumulasi modal super besar yang menguntungkan segelintir kecil orang. (Indainanto, 2020)

Rezim produktivitas menanamkan kesadaran palsu dalam diri masyarakat untuk terus memproduksi apa saja. Logika yang sama diterapkan oleh pariwisata kita hari-hari ini. Semua orang pergi ke tempat pariwisata atau tempat mana pun yang bagus, kemudian berusaha untuk membagikan di media sosial ataupun konten youtubenya. Segala sesuatu didigitalkan lalu dibagi habis,  untuk kemudian konten-konten tersebut bisa diakses secara gratis lewat platform-platform seperti youtube, facebook ataupun mesin pencari google.

Hal ini bisa dibandingkan yaitu antara kesamaan penjajahan pada masa lalu dan masa kini.  Penjajahan pada masa lalu (kolonialisasi) terjadi melalui perampasan daerah dan hasil bumi yang dipikul ke Eropa, lewat dukungan penguasa daerah setempat (tuan tanah, pemilik lahan, kepala kampung). Apabila muncul perlawanan maka mereka yang melawan ditindas habis-habisan, sedangkan para pemimpin yang bekerja sama diangkat menjadi raja boneka.  Tentu saja untuk kepentingan kolonial. Pergeseran penjajahan masa kini (kolonialisasi) ada pada penjajahan atau penguasaan atas data.

Jika kolonialisasi pada masa sekarang berbasiskan data maka pertahanan terakhir yang ada pada diri kita atau masyarakat lokal kita adalah apa yang melekat dalam kehidupan kita. Hal yang melekat dalam kehidupan masyarakat kita antara lain, pengetahuan lokal, alam kita, lanskap geografi dan geokultural. Inilah yang menjadi pertahanan terakhir masyarakat kita. Jika hal yang melekat dalam pengetahuan lokal dibagi habis ke dalam digitalisasi konten secara gratis maka sesungguhnya tidak ada lagi pertahanan terakhir masyarakat.

Dalam konteks tertentu, sebenarnya masyarakat sedang mengorbankan sumber dayanya yang terakhir. Apabila berbicara soal pemanfaatan, maka yang muncul adalah kesenjangan. Para konten kreator misalnya membuat konten sebanyak mungkin untuk menarik orang untuk datang ke tempat tertentu, namun pada akhirnya yang menginvestasi tempat-tempat pariwisata tertentu bukan lagi masyarakat kita tapi para pemilik modal besar. Hal ini disebabkan bukan karena masyarakat tidak mampu mengelola tapi karena tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk pemanfaatan itu.

Masyarakat kita diberi kesadaran palsu yang kemudian terakumulasi dalam tindakan posting-memosting untuk tujuan promosi tetapi sesungguhnya hanya remah-remah keuntungan dari dunia digital ataupun media sosial yang diperoleh. Pada sisi yang lain tanpa disadari masyarakat ikut diajak untuk mendukung kapitalisme global. Selain itu juga sekaligus penjajahan (kolonialisasi) global dalam wajah lain dengan visi yang sama. Salah satu cara penguasaan itu tentu saja lewat sosial media dan juga budaya digital kita hari-hari ini.

Selain itu kesadaran palsu juga kerap muncul dalam indoktrinasi dalam rupa  slogan-slogan tertentu semisal “jika ingin Up date, pakailah media sosial A, ikutlah Platform B, Buatlah Konten C”  sedangkan saat kita mengelola konten tertentu yang mendapatkan untung terbesar adalah pengelola atau pemilik platform.

Sebuah Usaha melawan arus

Beberapa komunitas orang muda di Flores dan Timor yang saya temui kemudian mencoba untuk keluar dari jebakan kesadaran palsu ini. Ada kesadaran bahwa hal utama dari pekerjaan rumah untuk mengimbangi arus utama kolonialisasi data secara global adalah lewat upaya mendokumentasikan kekayaan terakhir dalam lanskap budaya dan geografi tempat kita tumbuh dan hidup. Dokumentasi dan pengarsipan ragam kekayaan contohnya dibidang budaya baik bahasa, kuliner, sistem kepercayaan, tarian, musik dan sebagainya menjadi penting untuk diarsipkan.

Komunitas Kahe, sebuah komunitas orang muda di Maumere misalnya, membuat kerja-kerja pengarsipan tentang masyarakat Wuring suku Bajo, di pesisir Maumere, yang kemudian berakhir di tempat di mana kerja pengarsipan itu dibuat. Jika ingin melihat-lihat kerja pengarsipan mereka, bisa mengklik tautan Laune.id,  atau komunitas Lakuat Kujawas di Kapan, Mollo Utara, Kabupaten TTS, membuat kerja-kerja pengarsipan tentang kuliner tradisional mereka yang kemudian berakhir di desa Taiftob. Semua pengetahuan tentang desa atau tempat tertentu perlu mendapat terminal akhirnya di tempat (lokus) kerja-kerja pengarsipan itu dibuat.(Ariestanty, 2021)

Pemostingan atau publishing perlu melewati tahapan pemilahan (kurasi) secara baik. Tidak semua yang menjadi pengetahuan lokal komunitas atau masyarakat tertentu langsung didigitalkan. Apa yang dibuat oleh dua komunitas di atas tentu saja merupakan salah satu cara agar masyarakat  mendapatkan posisi tawar yang lebih baik  saat berhadapan dengan konsep digitalisasi global. Tujuan utama yaitu  untuk menghindari perangkap ilusi produktivitas (ilusi posting-memosting, ilusi digitalisasi).

Hal yang perlu terus menerus dilihat adalah dalam konsep digitalisasi orang cenderung membagikan semua hal. Konsep berbagi dari hal yang ia miliki entah itu pengetahuan, pengalaman, sumber daya secara gratis pada platform tertentu,tidak diimbangi dengan mendapatkan hak timbal balik yang sepadan dalam pola pertukaran itu. Mengingat sebagian besar pengetahuan dan pengalaman tertentu bisa diakses secara gratis dalam platform digital yang kemudian menguntungkan sejumlah kecil pemilik platform.

Mengharapkan pertumbuhan Kesadaran Intelektual Kaum Muda secara Organik

 Pertanyaan berikut adalah soal modal apa yang dimiliki oleh kaum muda di  suatu kawasan tertentu? Modal ini menjadi daya tawar terakhir untuk menyikapi konteks kolonialisasi data yang berkembang dalam masyarakat kita. Hal yang paling mudah diidentifikasi dari modalitas dalam komunitas masyarakat tertentu adalah soal isu khas yang dimiliki suatu tempat atau kawasan.

Contoh kecil adalah apa yang dilakukan oleh Dicky Senda dengan komunitas Lakoat Kujawas di Mollo Pulau Timor dan Eka dengan Komunitas Kahe, di Maumere, Pulau Flores. Mereka memulai seluruh kegiatannya dengan bersandar pada cerita yang tersimpan turun temurun.  Cerita yang menjadi ingatan kolektif warga yang kemudian digali ulang dengan pembacaan ulang secara baik. Tentu saja proses pengendapan, pembacaan, dan tanggapan  balik kemudian akan memperkaya khasanah pengetahuan lokal yang pelan-pelan telah menghilang.  Semua ini membutuhkan pembiasaan dan dukungan lingkungan (Support System. Membangun berbagai cerita salah satunya  dengan latar identitas budaya adalah pekerjaan rumah yang terbentang erat di hadapan kaum muda dalam cakupan kawasan lokal semisal di Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya.

Kerja-kerja kebudayaan sebagaimana yang sedang dikerjakan oleh dua contoh komunitas di atas, terbukti efektif sebagai upaya diplomasi untuk menjaga identitas masyarakat adat, sekaligus kelokalan dan pertahanan terakhir warga ditengah kepungan kapitalisme global.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Johanes Marno Nigha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler