x

Seba Baduy tahun 2022, Rangkasbitung, Lebak - Banten

Iklan

iqbal ashegaf mk

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Mei 2022

Selasa, 24 Mei 2022 06:56 WIB

Orang Kanekes (Baduy) Diperkosa Sepanjang Zaman

Orang Kanekes (Baduy), terus didesak sepanjang Zaman. dikucilkan, terus dipukul mundur oleh Negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selayang Pandang

Pertama-tama, perlulah kiranya saya, memberikan rambu-rambu tentang tema. Agar kita semua memiliki keselarasan dalam memaknai maksud dari tema di atas, antara saya dan pembaca, atau siapa saja, dengan segala motifnya.

Sebagai pembuka! (Silib sindir)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya merupakan anak Ibu dan Bapak saya, tetapi saya milik “tetangga”. Saya Orang Lebak, anak lelaki asli pribumi. Saya adalah selemah-lemahnya pemuda Lebak, tak berkutik tiada daya. Yang saya bisa hanyalah mengumpat, melontarkan arah pandang melalui tulisan, untuk segala persoalan yang terjadi menyangkut orang Kanekes hari ini, juga soal “tetangga” lainnya. Mengapa? Sebab saya, bukan seorang putra mahkota, calon Raja seperti Bapak Andika, putra sang Ratu, Ratu Atut, Ratu Banten yang telah lengser. Atau, seperti Putri Iti, Ibu Bupati, anak Raja Jayabaya. Wajar saja, jika perjuangan saya demi Mang Santarip (Anonim) dan Teh Salbiah (Anonim) yang sedang terlelap lelah, selekas memburuh tani di sawah Pak Haji Lintah (Anonim) di Selatan Lebak sana.

Penting untuk diselaraskan bersama, bahwa, pemaknaan yang saya maksud dari tema di atas adalah sepanjang berlangsungnya kehidupan orang Kanekes, banyak sekali keseolahan – kepalsuan – pemaksaan yang saleh, menghantui orang Kanekes. Diawali, dari isu perselisihan orang Kanekes dengan Kesultanan Banten yang kebenarannya masih diragukan, dan dicurigai sengaja dibuat oleh kolonial Belanda untuk memecah belah orang Banten seutuhnya. Selanjutnya, alienasi dilakukan oleh beberapa kelompok, dari kelompok yang menganggap dirinya lebih religius dan saleh, hingga dari orang-orang yang menganggap dirinya lebih moderen.

Kemudian, segala macam makhluk asing mulia menyerbu dari berbagai pihak, menggempur dari berbagai sisi. Segala regulasi diupayakan oleh pemerintah untuk mengatur seluk-beluk kehidupan orang Kanekes. Kemudian, para peneliti yang vendikia (kurcaci pemerintah) melahirkan segala macam produk pikiran, dari Peraturan Desa (Perdes) “Saba Budaya” hingga program “tenun” untuk peningkatan ekonomi yang terus asyik di perbincangkan setiap hari, di ruang publik, di kampus-kampus hingga tempat ngopi dan dipaksakan untuk dijadikan regulasi.

Orang-orang saleh yang tersebut di atas, berpandangan bahwa tindakan mereka (yang mengupayakan soal diatas) adalah tindakan mulia, kesalehan, yang senantiasa akan berguna bagi kehidupan orang Kanekes. Padahal, orang Kanekes tidak pernah meminta hidupnya dibela. Lalu, menolong atau membantu, tanpa diminta, apa artinya? Kesalehan yang sia-sia dan memaksa pula.

Orang Kanekes Sepanjang Zaman

Telah sampailah kita, pada masa yang penuh kepesatan luar biasa, pesat perkembangan manusianya yang sudah lupa terhadap berburu dan meramu, pesat segala-galanya. Siapa menyangka, Orang bisa bercakap bersama antar desa, antar kota, antar pulau hingga benua, dengan hanya duduk di Rumah, di atas kursi di pagi hari. Sungguh, luar biasa, kepesatan tiada tara.  Manusia, kini telah berkembang bersamaan dengan semakin gegap gempitanya kata moderen. Dahulu sekali, orang-orang harus menempuh jarak berjuta langkah, agar bisa bertatap muka, dengan sanak saudara. Kemudian, perjumpaan, berubah bentuk menjadi bait kata dalam secarik kertas, hanya untuk sekedar bertanya kabar. Kini, berkat sihir zaman moderen kita bisa bertatap mata, walau sedang di ujung padang. Dengan handphone atau mesin semacamnya.

Pesatnya zaman semakin hari kian menuju puncak hingga berada di singgasana, di atas kepala manusia. Manusia terus berubah-ubah tanpa lelah, perkembangan ibarat puncak gunung yang terus didaki, satu-satu, menjadi tolak ukur peradaban dan kemuliaan. Berkembang, katanya.

Perkembangan, tengah berada ribuan kaki diatas permukaan laut, lebih tinggi satu inci dari pada puncak Gunung Merapi. Boleh jadi, esok atau lusa, manusia ingin berkembang lebih tinggi, ke angkasa menjauhi bumi. Barangkali, boleh jadi.

Perlu diketahui, di zaman ini masih ada sekelompok manusia yang tetap berdiri menginjak bumi, tinggal di bumi, makan dari hasil bumi, segala-galanya dihasilkan dari bumi dan menetap di bumi. Mereka tinggal di bumi Banten, di Kabupaten Lebak tepatnya, di hulu Sungai Ciujung. Mereka adalah orang Kanekes, suku Baduy, katanya.

Orang Kanekes, merupakan masyarakat pelarian dari Kerajaan Padjajaran, ketika penggulingan Kerajaan Padjajaran oleh Kesultanan Banten. Begitulah angin membawa kabar berita. Sungguh kisah yang mengenaskan dan perlu dipertanyakan, untuk menemukan kebenaran. Mengapa demikian?

Padjajaran adalah cikal bakal adanya kesultanan Banten, pada mulanya. Terlalu sepele jika perang terjadi hanya karena soal agama, apa lagi pada masyarakat Sunda yang kebanyakan masih berpegang teguh pada peribahasa “Buruk-buruk Papan Jati” (1]. Apa mungkin ini akal-akalan Kolonial Belanda, yang suka mengadu domba?(2) Entah lah, yang pasti itu lah cerita awal mula orang Kanekes yang sering kita dengar pada umumnya.

Kini, orang Kanekes telah hidup di hulu Sungai Ciujung berabad lamanya, penuh cerita dan makna hidup di sana. Sehingga, banyak Orang yang datang untuk berwisata atau hanya untuk “cuci mata”. Orang Kanekes dihujami kamera, gambarnya terpang-pang di Instagram, Facebook, status WhatsApp bahkan media online. Persekongkolan pariwisata dan media, membuat orang Kanekes terluka. Sebab itu, pariwisata ditolaknya. Selain itu, datang pula para cendikia dari berbagai lembaga, yang saleh namun sedang tertidur pulas dalam kesadarannya. Mereka datang bertanya tentang segala hal. Kadang sebagian dari para cendikia itu, merasa aneh, lucu, terperangah, empati – simpati, lalu membuat segala karya.

Ada pula yang merasa mulia, datang dan pergi membawa berita, bahwa orang Kanekes harus begini dan begitu, harus belajar menulis dan membaca. Orang Kanekes dianggap primata. Banyak juga upaya lainnya, dari kristenisasi hingga upaya islamisasi, luar biasa mulia pokoknya. Ada berita, 1000 Orang Kanekes mualaf dan sudah naik Haji ke tanah suci.(3) Namun sayang, aneh rasanya, “Kok tidak ada berita 1000 Orang Kanekes masuk Sorga?”. Kurang Mulia?

Terkini, dalam diskusi tanggal 6 Mei 2022 yang lalu (diskusi publik dalam rangkaian acara Seba Baduy), salah satu pembicara berkata, akan disahkannya perdes “Saba Budaya”. Sebab, kata seorang ahli dari salahsatu lembaga, pariwisata mendatangkan bencana bagi orang Kanekes, di bawa oleh orang-orang yang berwisata. Dengan “Saba Budaya” Orang Kanekes akan merasa dihargai, katanya, tapi “Puun” tak berkata sepatah kata.

Orang Kanekes, Tatanan dan Tuntunan

Kehidupan orang Kanekes merupakan tatanan hubungan manusia dan alam yang sangat utuh. Dari huma hingga seba (Seba Baduy) ada prinsipnya, walau tidak tercatat, hanya terpancar dari perilakunya. Semuanya, konsisten tak lekang oleh zaman. Semua unsur kehidupannya terhubung seperti jaring laba-laba. Dari hulu Ciujung hingga ke pusat kota pada saat seba. Apa yang tidak ada dalam kehidupan mereka? Mereka mempunyai konsep kampung dangka sebagai penyangga wilayah larangan. Dari leweung larangan yang utuh, tersedia air yang jernih, lestari di segala musim. Semua unsur kehidupan dan penghidupan diatur dengan utuh. Agar pengelolaan pertanian mereka terus berlangsung baik, masih diterapkannya penataan wilayah Tutupan, Titipan dan Garapan.

Setiap orang dari mereka diberikan lahan agar bisa bercocok tanam. Mereka, tatanan masyarakat yang sebebas-bebasnya, bebas dari kelumit duit. Bebas bagi pilihan orang-orangnya, bebas memilih. Jika diantara mereka ada yang ingin bergeser pola hidup, Orang tersebut di bebaskan tanpa hukuman yang berat. Adapun sangsi, masih manusiawi. Dalam bernegara, orang Kanekes sebuah warga negara yang tidak suka huru-hara. Lihat pada saat seba, mereka malah membawa cindera mata dan bicara seadanya. Contoh bagi umat beragama!

Utuhnya tatanan kehidupan orang Kanekes senantiasa dijadikan tuntunan, bukan malah direcoki bahkan dipukul mundur dengan segala regulasi, segala kerumitan negara. Alih-alih keberpihakan pada orang Kanekes, nyatanya malah membuat mereka ibarat “Kerbau yang diikat tali oleh Si penggembala”, dan negara adalah gembala. Negara senantiasa harus menundukan kepala, merendahkan diri dan menjadikan setiap ajaran Orang Kanekes sebagai tuntunan (tentu tidak semuanya). Sebab, tak ada yang utuh dan kukuh selain Pikukuh.

Perlu dicermati dengan seksama, sepanjang hidup saya, tak pernah ada berita kelaparan,  kebanjiran di wilayah tempat tinggal  orang Kanekes, sementara ini hanya pernah ada kejadian kebakaran yang penuh kejanggalan. Sedangkan, berita kemiskinan – banjir melanda di perkotaan Lebak (Rangkasbitung) (4) dan beberapa wilayah Banten. Terakhir, kejadian banjir yang melanda Mesjid Agung Banten di Banten Lama cukup menggemparkan (5). Kejadian-kejadian tersebut, seyogyanya cukup untuk dijadikan renungan oleh kita semua, bahwa ada kekeliruan pengelolaan ruang hidup didalam kehidupan kita semua. Dan kesemuanya itu, tidak pernah terjadi di wilayah tempat tinggal orang Kanekes.

“Kepalsuan” dan “Pemerkosaan”

Saya selalu ingin mempertanyakan benarkah orang Kanekes merupakan orang-orang yang dibuang oleh Kesultanan Banten, dan dikucilkan. Dicurigai bahwa, hal tersebut merupakan politik memecah belah untuk memperuncing sentimen yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda, agar persatuan tidak berjalan mulus di bumi Banten, secara utuh dan menyeluruh. Sungguh kolonial Belanda, penulis cerita palsu yang mengerikan.

Islamisasi dan kristenisasi tak kalah palsunya dibandingkan dengan hoax yang biasa dibuat pemerintah kolonial Belanda, untuk memuluskan politik adu domba. Sebab, bagi saya substansi kehidupan adalah keutuhan tatanan sosial ekologi. Jika keutuhan tatanan sosial ekologi tercapai, maka segala substansi ajaran agama telah tercapai. Bagi saya, islamisasi ataupun kristenisasi adalah tindakan radikal yang hanya membuat orang Kanekes menjadi korban persembahan demi kemuliaan dua kelompok agama tersebut dihadapan Ilahi. Sungguh, seolah-olah mulia, kemuliaan yang palsu.

Selanjutnya, Perdes “Saba Budaya” tak berbeda sama sekali dengan mekanisme wisata yang terjadi secara alami. Pariwisata dianggap merusak tatanan sosial ekologi oleh sebagian orang. Dari persolan sampah hingga soal pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan yang masih belia orang Kanekes (6). Orang Kanekes sendiri, menyadari betul bahwa pariwisata yang mendatangkan jutaan manusia ke wilayah tempat tinggal orang Kanekes berdampak buruk (7). Lalu, sejak penolakan orang Kanekes terhadap pariwisata kepada presiden pada tahun 2020 yang lalu, pemerintah kabupaten Lebak dengan antek-antek cendikia pendopo bupati membandel, memaksakan agar wilayah Kanekes (Baduy) tetap dijadikan objek wisata dengan cara menggantinya dengan istilah “Saba Budaya”. Penolakan, artinya penghapusan. Bagi saya, bandelnya pemerintah Kabupaten Lebak beserta para kurcacinya merupakan sebuah pemaksaan. Jika itu terus dilakukan, maka itu merupakan tindakan kriminal "pemerkosaan”, yang akan menghabisi keperawanan ruang hidup orang Kanekes (Baduy) sedalam-dalamnya.

Akhir kata, soal perselisihan orang Kanekes dengan Kesultanan Banten (diduga propaganda Kolonial Belanda) dan Islamisasi – Kristenisasi, merupakan tindakan sepalsu-palsunya, sebab tujuannya hanyalah untuk kepentingan sepihak, kolonial Belanda untuk kelancaran politiknya dan orang-orang saleh dari kedua agama yang melakukan “Agamaisai” terhadap orang Kanekes hanya untuk mencapai status kesalehannya dihadapan Illahi. Kemudain, segala kekacauan yang diakibatkan oleh pariwisata yang juga ditolak oleh orang Kanekes, adalah tindakan “pemerkosaan”, sebab lebih banyak pemaksaan didalamnya.

Referensi

[1] Pribahas Sunda: memiliki makna, seburuk-buruk nya saudara harus tetap dibela/diakui/dilindungi

[2] http://irwan-prayitno.com/2013/02/politik-adu-domba/#:~:text=Politik%20adu%20domba%20digunakan%20untuk%20mempertahankan%20kekuasaan%20dan,kelompok%20besar%20yang%20dianggap%20memiliki%20pengaruh%20dan%20kekuatan

“Politik adu domba telah terkenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Bangsa Penjajah saat itu menamakannya sebagai devide et impera. Ini adalah sebuah strategi yang digunakan oleh pemerintah Belanda untuk kepentingan politik, militer dan ekonomi. Politik adu domba yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh penjajahan Belanda di Indonesia”

[3] https://nasional.okezone.com/read/2021/04/15/337/2394922/kisah-warga-baduy-masuk-islam-dan-naik-haji

“H. Amad Salim, warga dari Suku Baduy pertama yang masuk Islam abad 21.” 

[4] https://www.republika.co.id/berita/r1wiqb314/banjir-15-meter-rendam-114-rumah-di-rangkasbitung

“Petugas mengevakuasi warga yang terjebak banjir di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Senin (1/11/2021). Berdasarkan data BPBD Kabupaten Lebak sebanyak 114 rumah di Rangkasbitung terendam banjir hingga setinggi 1,5meter usai hujan deras disebabkan buruknya drainase yang tersumbat akibat air bercampur material lumpur dan kayu.”

[5] https://news.detik.com/berita/d-5964157/masjid-agung-banten-terendam-banjir-luapan-sungai-cibanten#:~:text=Masjid%20Agung%20Banten%20di%20Kota%20Serang%20terendam%20banjir,Kecamatan%20Kasemen%20atau%20di%20hilir%20aliran%20Sungai%20Cibanten.

“Masjid Agung Banten di Kota Serang terendam banjir akibat meluapnya air Sungai Cibanten. Masjid ini adalah ikon Provinsi Banten dan lokasi bersejarah sebagai pusat Kesultanan Banten.”

[6] https://news.detik.com/berita/d-4695616/sikap-baduy-ke-orang-asing-setelah-pembunuhan-dan-pemerkosaan-warganya

“Pembunuhan disertai perkosaan gadis Baduy berusia 13 tahun jadi yang pertama kali terjadi di tengah warga yang dikenal dengan sebutan Orang Kanekes itu. Selama ini, Baduy juga dikenal sebagai masyarakat adat yang ramah termasuk ke orang asing yang datang.”

[7] https://www.voaindonesia.com/a/kirim-surat-ke-jokowi-suku-baduy-minta-dicoret-dari-destinasi-wisata-indonesia/5495863.html

“Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten meminta kepada Presiden Joko Widodo agar dihapuskan dari daftar destinasi wisata Tanah Air karena kunjungan para wisatawan ke kawasan mereka berdampak negatif.”

Ikuti tulisan menarik iqbal ashegaf mk lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler