x

LAMALERA merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.\xd Ada hal unik dari kampung tersebut,yaitu berburu ikan paus, mungkin bagi kita yang belum tau pasti bertanya-tanya \xd \xd Sebelumnya perburuan paus di kampung nelayan ini sudah diizinkan oleh pemerintah, tak hanya pemerintah Organisasi Dunia telah mengizinkan masyarakat sekitar untuk berburu paus secara tradisional dengan persyaratan:\xd \xd Diperbolehkan berburu dengan alat-alat tradisonal (tidak boleh berburu secara modern)\xd Tidak diperbolehkan berburu demi kepentingan komersial,jadi mereka berburu ikan paus hanya untuk konsumsi pribadi.\xd \xd Ternyata perburuan paus di kampung Lamalera ini sudah ada jaman dulu, dan akan meneruskan sebuah tradisi dikampung tersebut\xd Setiap tahunnya rombongan paus bermigrasi dari bumi belahan utara sampa ke bumi selatan,salah satu rute yang di lewati ialah perairan Lembata.\xd \xd Perburuan paus akan dimulai dengan upacara adat,guna meminta keselamatan pada sang pencipta dan berharap mendapatkan hasil buruan.\xd Untuk paus yang di buru biasanya jenis paus sperma yang usianya sudah tua\xd Ketika masyarakat sekitar mendapatkan hasil tangkapan nya mereka akan memotong tubuh bagian paus tersebut agar bisa menampung di atas perahu \xd \xd \xd \xd \xd \xd \xd Agar hasil tangkapan nya awet atau disimpan dalam jangka waktu lama, masyarakat Lamalera akan menjemur daging-daging tersebut agar kandungan air di dalam daging keluar dan tidak menyebabkan busuk.\xd \xd Yang membuat unik ketika berburu adalah juru tombak, hanya orang tertentu yang bisa menjadi juru tombak\xd Adapula persyaratan nya, ia harus lelaki baik-baik , perilaku sopan dan taat ibada \xd Ketika pagi akan berburu, malemnya ia dilarang menggauli istri, bila pantangan itu dilanggar warga setempat meyakini tidak akan bisa menangkap paus satupun.\xd Masyarakat sekitar meyakini atau menganggap paus itu anugerah ilahi, sebab mereka tak gegabah atau berburu untuk komersial, namun seperlunya.\xd Bahkan dalam setahun tidak boleh lebih dari 20 ekor, itupun paus yang sudah tua dan tidak produktif\xd \xd \xd \xd Thank you for wanting to read this article\xd

Iklan

Bambang Udoyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Maret 2022

Selasa, 24 Mei 2022 08:15 WIB

Menyelamatkan Kearifan Lokal

Kemajuan ekonomi dan iptek memicu perubahan sosial budaya. Akibatnya banyak kearifan lokal ikut tergerus. Bagaimana sebaiknya kita bertindak?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apakah Anda paham arti kata tapung ? Generasi baby boomers  yang paham bahasa Jawa mungkin masih ingat kata tapung.  Tapi saya yakin banyak juga yang tidak ingat.  Apa artinya? Apa pula kisah di baliknya?  Mari kita ulas.

Tapung adalah cara masak di jaman dahulu kala yang sudah jarang dilakukan orang jaman now.  Mungkin di pedesaan masih karena cara ini tidak memakai listrik.  Caranya beras dicuci dulu lalu direbus. Setelah setengah matang beras ditaruh di kukusan yaitu alat masak yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk kerucut. Kukusan itu ditaruh di atas dandang yang berisi air.  Ketika air mendidih uapnya akan mematangkan beras menjadi nasi yang pulen dan énak sekali.  Sayangnya cara ini memakan banyak waktu dan tidak praktis. Maka sebagian besar orang sekarang memilih memasak nasi dengan alat elektronik.

Seiring dengan ditinggalkannya cara masak itu, pelan pelan kosa kata tersebut dilupakan orang.   Bersama bergantinya cara hidup masyarakat berganti juga kosa kata suatu bahasa.  Fenomena ini terjadi di seluruh dunia.  Bahasa mengalami pergeseran baik dalam kosa kata maupun cara pengucapan.  Konon bahasa Jawa kuno banyak memakai bunyi a seperti dalam logat mBanyumasan.  Logat yang memakai bunyi o konon baru berkembang seiring bangkitnya kerajaan Mataram.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahasa Kawi atau bahasa Jawa kuno bergeser menjadi bahasa Jawa pertengahan dan sekarang bahasa Jawa kekinian.  Sayangnya di jaman now ragam bahasa kromo inggil alias bahasa halus semakin tergerus.  Semangkin sedikit orang Jawa yang menguasai kromo inggil.  Maka ia hanya dikuasai oleh sekelompok orang tertentu saja yang memang berkomitmen nguri uri (melestarikan) bahasa Jawa.

Mumpung masih banyak penuturnya dan masih lumayan lengkap kepustakaannya saat ini semoga masih ada penulis yang berminat menulis kearifan orang Jawa yang terungkap dalam bahasanya.  Pandangan hidup orang Jawa masih sangat relevan dan sejalan dengan agama Islam. Misalnya ungkapan Mélik nggéndong lali yang sarat makna.   Masih banyak lagi peribahasa Jawa yang mencerminkan kiat menghadapi kehidupan yang masih bisa menginspirasi.

Saya percaya inilah salah satu aspek kebudayaan Jawa yang bisa menjadi sumbangan kepada dunia, bukan hanya arsitektur klasik dan wayang yang sudah diakui UNESCO.

 

 

Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler