x

Iklan

Bayu W |kuatbaca

Penulis Manis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Maret 2022

Jumat, 27 Mei 2022 19:33 WIB

Indonesia Bukan Kampungnya Belanda, Titik!

Di depan rekan-rekan seperjuangan, Lukman mempertanyakan secara keras dan terbuka kelakuan Naga Bonar. “Kenapa abang tunjuk Parit Buntar? Padahal kita semua tahu kalau tempat itu sudah mereka duduki. Ini soal garis demarkasi, Bang!” Naga Bonar pun menjawab lebih keras. “Bah.. kenapa mereka duduki!? Itu kan kampung neneknya Si Murad! Jadi bukan kampung mereka! Coba… kau bilang kepada Mayor Jam Tangan itu, supaya mereka jangan tinggal di kampung neneknya Si Murad! Tapi pulang ke kampung mereka!”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di dalam Konfrensi Meja Bundar (KMB), Belanda mengatakan, “Kami, sebagai tuan sesuai dengan hukum internasional, dan akan tetap demikian hingga nanti kami menyerahkan kedaulatannya…”. Pernyataan Belanda inipun segera ditanggapi keras oleh Delegasi Republik Indonesia. “Yang benar saja dong! Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, oleh Sukarno dan Hatta. Selesai!” Begitu kesaksian Rosihan Anwar di seputar alotnya Konferensi Meja Bundar yang berlangsung menjelang akhir tahun 1949.

Sebelumnya, Nederland Indie memang diakui sebagai milik Belanda. Namun, Belanda sudah menyerah tanpa syarat di Kalijati dan memberikan Nederland Indie ini kepada Jepang.

L.N. Palar menyampaikan kenyataan tersebut di muka forum PBB pada 20 Januari 1949. “… Bahwasanya menurut sejarahnya Republik Indonesia bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya. Belanda sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan negerinya sendiri terhadap agresi Jepang. Memang, politik kolonial Belanda tidak pernah memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk maju menjadi suatu bangsa yang kuat, karena hal ini akan membahayakan kedudukan Belanda sebagai tuan penjajah dan bertentangan dengan keinginannya untuk melanjutkan kekuasaanya atas Indonesia. Inilah sebab sebenarnya mengapa Belanda tidak mempunyai kesanggupan menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya mempertahankan Indonesia terhadap agresi dari luar negeri. Demikianlah maka Belanda bukan saja telah menyerahkan Indonesia kepada imperialis Jepang tanpa melakukan usaha yang benar-benar dapat mempertahankannya, tetapi juga menolak memberikan kepada rakyat Indonesia sendiri kekuatan untuk melawan Jepang. Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri …”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang disampaikan L.N Palar itu berhasil menjadi counter sekaligus reminder atas pernyataan dari Ratu Wilhemina beberapa tahun sebelumnya. Ungkapan Palar inipun diikuti reaksi dari Amerika Serikat yang bahkan mengecam ulah Belanda terhadap Indonesia.

Pidato Ratu Wilhemina disiarkan pada 7 Desember 1942 dari tempat pengungsiannya di Inggris. Waktu itu Belanda sudah digusur oleh Jerman. Dengan berbahasa Inggris di depan corong radio di London, Ratu Wilhemina berpidato menyanjung jasa negeri koloninya, Hindia Belanda. Ia menyampaikan rasa terimakasih karena telah mempertahankan diri dari serbuan pasukan Jepang dengan heroik. Dalam pidato ini Ratu juga menyebut nama Indonesia secara resmi untuk yang pertama kali. Bahwasannya, Indonesia akan dilibatkan dalam suatu konferensi yang setara dengan Kerajaan Belanda. Akan ada pemerintahan baru bagi negeri koloninya untuk bebas sesuai dengan Piagam Atlantik. Ratu Wilhemina juga menyatakan kesediaannya untuk duduk bersama Indonesia setelah perang berakhir.

Pada tanggal 7 Mei 1945, Jerman menandatangani penyerahan diri pada Sekutu. Pada 15 Agustus 1945, setelah dijatuhi dua bom atom, Kaisar Jepang juga menyatakan dirinya kalah dan menyerah. Tetapi, Jepang baru menandatangani penyerahannya kepada Sekutu tanggal 2 September 1945.

Di antara jeda yang berlangsung sejak 15 Agustus hingga 2 September, terjadi situasi vacuum of power. Terhadap daerah-daerah pendudukannya, Jepang dianggap sudah kalah dan kehilangan dominasi. Sedangkan pihak pemenang belum sampai mengambil alih wilayah-wilayah yang dikuasai Jepang. Dengan demikian, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada 17 Agustus 1945, sesungguhnya adalah hal yang tidak mengganggu perjanjian-perjanjian antar siapapun di bumi ini.

Akan tetapi, Proklamasi tersebut dianggap bukan suatu tindakan yang sah. Belanda masih menganggap dirinya sebagai pemilik wilayah yang disebut dengan nama Nederland Indie, setidaknya sampai nanti dilakukan penyerahan kedaulatan kepada pihak-pihak yang akan menerima kemerdekaan sebagaimana dulu pernah disampaikan oleh Ratu Wilhemina. Belanda menginginkan terbentuknya Uni Indonesia-Belanda, dimana pada pihak Indonesia sendiri terdapat federasi. Keinginan Belanda itu dituangkannya dalam Perjanjian Linggajati, tetapi mendapat penafsiran yang berbeda dari pihak Republik.

Republik Indonesia tetap berpijak pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai fondasi dari eksistensinya. Maka sejak tanggal itu, Republik Indonesia sudah menganggap dirinya sebagai sebuah negara. Apa yang dulu dikuasai Belanda sudah dilepaskannya kepada Jepang. Dan, Indonesia memutuskan sendiri kemerdekaanya.

Kalau Belanda hendak mengungkit apa yang dulu sudah diserahkannya kepada Jepang, itu bukan urusan Indonesia. Yang jelas, Indonesia akan mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikannya, titik!

"Indisch verloren, ramspoed geboren". Demikian ditulis oleh pers-pers Belanda . "Hindia hilang, kesengsaraan datang". Belanda lintang pukang berusaha memiliki lagi Indonesia. Uang pinjaman yang diperolehnya dari Marshall Plan terancam menjadi kredit macet kalau Indonesia merdeka. Dan, satu-satunya penghalang bagi kemakmuran Belanda yang sudah dinikmati sejak zaman VOC, secara de jure adalah berdirinya Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Maka, atas dasar gono-goni sebagai bagian dari Sekutu yang menang perang, Belanda merasa dirinya legal untuk melakukan apapun, termasuk memukul Yogyakarta yang menjadi Ibukota Republik Indonesia. Semua demi terpeliharanya rust en orde, ketenangan dan ketertiban, begitu kilah Belanda.

Belanda merasa punya hak untuk menertibkan Indonesia. Karena, Indonesia sebelum adanya sovereiniteitoverdracht, penyerahan estafet kedaulatan, masih jadi milik Belanda. Dan, guna memantapkan usahanya itu, Belanda telah membuat perjanjian dengan Inggris yang bertajuk Civil Affairs Agreement pada 24 Agustus 1945.

Civil Affairs Agreement adalah persetujuan antara pemerintah kerajaan Inggris dan kerajaan Belanda. Keduanya menyetujui bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda. Sedangkan urusan sipil, NICA (Nederland Indie Civil Administration) untuk sementara akan berjalan dibawah komando dan perlindungan militer Inggris.

Kemudian, untuk tahap selanjutnya, baru kekuasaan akan diserahkan kepada Belanda secara penuh. Dan, sesudah itu semua, baru Belanda memprakarsai kemerdekaan bagi Indonesia. Belanda membolehkan kemerdekaan Indonesia, tetapi harus muncul sebagai negara serikat yang dikelola melalui Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). Dan, di dalam federaal, tidak usah ada Republik Indonesia, yang tidak lain hanyalah ekstrimis-ekstrimis pengacau keamanan.

Belanda ngotot sebab merasa kekuasaanya adalah masih sah. Sedangkan bagi Republik Indonesia, yang ternyata sejalan dengan butir Piagam Atlantik, kemerdekaannya bukan saja sah tetapi juga adalah hal yang harus terjadi. Belanda pun berkelahi dengan Republik. Sedangkan Indonesia-Indonesia yang lain, sibuk saja menata kursi-kursi miring di majelis federaal.

Mengenai beda-beda pendapat soal keabsahan antara Belanda dan Indonesia, sebuah adegan dalam film Naga Bonar menarik untuk dicermati. Secara prinsipil adegan di film itu sama dengan sikap keras Republik Indonesia.

Apapun yang terjadi, keras kepala Naga Bonar tetap tidak berubah. Naga Bonar bahkan menganggap Belanda sama sekali tidak punya hak apa-apa terhadap semua wilayah di Indonesia, sehingga ia tidak menganggap serius perundingan-perundingan dengan Belanda.

Di depan rekan-rekan seperjuangan, Lukman mempertanyakan secara keras dan terbuka kelakuan Naga Bonar. “Kenapa abang tunjuk Parit Buntar? Padahal kita semua tahu kalau tempat itu sudah mereka duduki. Ini soal garis demarkasi, Bang!”

Naga Bonar pun menjawab lebih keras. “Bah.. kenapa mereka duduki!? Itu kan kampung neneknya Si Murad! Benar kan Murad?"

"Benar, Naga!" Jawab Murad sigap.

"Jadi, bukan kampung mereka! Coba… kau bilang kepada Mayor Jam Tangan itu, supaya mereka jangan tinggal di kampung neneknya Si Murad! Tapi pulang ke kampung mereka!” Kata Naga Bonar sambil menginstrukan penyiapan senjata guna mengadakan aksi pencegetan.

Sepakat dengan apa yang dikatakan Naga Bonar, Indonesia bukanlah Nederland Indie, bukan "Indienya Nederland". Lagian, bukannya lebih baik Belanda pulang saja tanpa syarat, dan membangun kampung halamannya sendiri. Tanpa perlu bikin onar di kampung orang lain.

Ikuti tulisan menarik Bayu W |kuatbaca lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu