x

Ilustrasi Menghidupi Tempat Ibadah: Pixabay

Iklan

Slamet Samsoerizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Maret 2022

Jumat, 27 Mei 2022 09:32 WIB

Muhasabah Bermakna  Berdialog Swajiwa Raga

Muhasabah bermakna berdialog swajiwa raga. Merenung, mengingat peristiwa yang lalu akan ucap dan tindak laku dalam ruang kontemplasi. Siapa pun Anda, mari berswajiwa raga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Muhasabah bermakna berdialog swajiwa raga. Merenung, mengingat peristiwa yang lalu akan ucap dan tindak laku dalam ruang kontemplasi. Siapa pun Anda, mari berswajiwa raga.

 

Apa yang menarik saat renungan suci dalam sebuah acara usai Api Unggun Pramuka di alam terbuka perkemahan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tengah malam nan senyap, semua peserta dikondisikan merenung, menghayati, memikirkan apa yang lampau dilakukan?  Api unggun yang perlahan mulai redup kobarnya, meremang, lalu gulita. Lingkaran peserta unggun bergeming. Suasana syahdu sangat terasa.

Angin malam menyihir peserta Api Unggun. Melalui Kakak Pemandu, setahap demi setahap peserta diminta untuk: merenung sejenak, berdiam,  meninjau kisah duka suka masa lalu. Entah tersebab kehusyukan yang suntuk saat merenung, banyak peserta yang menangis. Ada yang sesenggukan. Bahkan ada yang histeris. Entah apa yang ditemukannya saat berenung.

Siapa pun Anda, bermuhasabah itu perlu. Jeda untuk sebuah kerutinan. Merenung akan ucap dan laku tindak yang lalu. Memahami segala ucap dan laku tindak tersebut. Lantas, mengambil hikmah. Menangkap pesan. Menafsir peristiwa. Mengumpulkannya menjadi sebuah bekal bernilai demi menyongsong dan menata masa depan.

 

Saktah

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan muhasabah dengan ‘peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya) diri sendiri; wawas diri.’ Dalam literatur lain disebutkan, bahwa muhasabah atau introspeksi merupakan sejenis saktah (diam sejenak) untuk menengok apa yang sudah kita lakukan. Muhasabah atau introspeksi penting dilakukan untuk memeriksa kembali dan menilai apa yang sudah kita lakukan.

Manusia selayaknya mengalokasikan waktu untuk muhasabah atau introspeksi diri pada pagi hari. Dalam  Ihya Ulumiddin Imam Al-Ghazali (Beirut, Darul Fikr: 2018 M], juz IV, halaman 420) mengatakan: “Ketahuilah, seorang hamba sebagaimana menyediakan waktu pada awal hari untuk menentukan syarat yang berat bagi dirinya sebagai nasihat pada kebenaran seyogianya menyediakan waktu pada ujung hari untuk ‘menuntut’ dan ‘mengadili’ dirinya baik gerak maupun diamnya,”

Muhasabah di awal waktu penting, kata Imam Al-Ghazali, untuk merencanakan kebaikan-kebaikan dan meneguhkan komitmen pada kebaikan dan menjauhi keburukan. Pada akhir waktu, Imam Al-Ghazali juga menganjurkan seseorang untuk berintrospeksi.

Muhasabah di akhir waktu cukup penting sebagai sebuah kesempatan seseorang untuk mengintrospeksi semua perbuatan dirinya, baik diam maupun geraknya. Oleh sebab itu, muhasabah atau introspeksi diri sama pentingnya di awal dan di akhir waktu.

Imam Al-Ghazali menganjurkan siapa saja untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri secara harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Orang yang bijak, seyogianya melakukan muhasabah atau introspeksi diri pada pagi dan sore hari; awal dan akhir pekan; dan awal serta di pengujung tahun.

Jadi, tidak ada ketentuan bahwa muhasabah hanya dilakukan pada akhir tahun karena muhasabah atau introspeksi diri dilakukan harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Imam Al-Ghazali mengajak kita untuk menengok dunia para pedagang dan koleganya yang kerap melakukan introspeksi pada ujung hari, akhir bulan, dan akhir tahun untuk mendapatkan keuntungan, mengantisipasi kemungkinan kerugian, atau sekadar mengantisipasi luputnya kesempatan keuntungan.

Kalau para pedagang saja memikirkan dengan cermat dan telaten untung dan rugi, bagaimana orang bijak tidak melakukan muhasabah baik lahir maupun batin yang berkaitan dengan kebinasaan dan kebahagiaan yang menjadi nasibnya di akhirat kelak. Peremehan akan muhasabah, kata Imam Al-Ghazali, hanya lahir dari kelalaian, kehinaan, dan kurangnya taufik dari Allah

Mengutip dari “Tafsir al-Mishbah” episode 10 tentang surah Al-Hasyr ayat 18-21, Prof. Quraisy Shihab mengatakan pada ayat 18 bahwa manusia harus senantiasa mengevaluasi dirinya agar menjadi orang yang bertakwa. "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."

Maksud ayat tersebut, agar kita menghindari hal-hal yang membuat kita mengalami kesulitan, bencana, dan siksa, baik urusan dunia maupun akhirat. Allah mengingatkan, takwa memiliki dua sisi, yakni duniawi dan makhrawi. Bisa saja orang yang rajin beribadah kepada Allah mendapatkan sanksi di dunia karena melanggar hukum alam. Sebaliknya, bisa saja orang yang tidak pernah beribadah menjadi orang yang beruntung di dunia karena ia mengikuti sunatullah di alam raya ini. Karenanya, ayat tersebut memerintahkan kita untuk muhasabah diri.

Selain melakukan evaluasi diri, kita juga harus senantiasa mengingat Allah seperti bunyi ayat 19. "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik."

Lantas mengapa ayat tersebut mengatakan bahwa kita bisa lupa kepada Allah? Sesuatu yang dilupakan itu pernah kita tahu pernah kita ingat. Lupa ialah fitrah manusia, tapi kita harus selalu ingat bahwa kita lemah di hadapan Allah. Selanjutnya, Allah juga mengingatkan kita tentang adanya surga dan neraka.

"Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni surga, para penghuni surga itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan." Ayat tersebut sebenarnya sebagai peringatan, bukan sekadar memberi tahu. Namun, ada penegasan bahwa orang yang berbuat baik akan menjadi penghuni surga dan yang tidak baik menjadi penghuni neraka.

Allah menegaskan pada ayat 21 tentang kebesaran Alquran. "Sekiranya Kami turunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir."

Perumpamaan tersebut diberikan kepada manusia agar mereka mau berpikir karena berpikir merupakan hal yang akan mengantar seseorang sadar dan akan mempersiapkan untuk hari esok yang lebih baik. Dari tafsir Al-Mishbah kali ini, terdapat tiga hal yang bisa kita petik. Pertama, tentang anjuran untuk introspeksi. Allah menganjurkan kita untuk senantiasa berdialog dengan diri kita sendiri. Kedua, kita semua lahir membawa fitrah keagamaan. Karenanya, peliharalah fitrah dengan bacaan dan pergaulan yang benar. Ketiga, Alquran diciptakan sesuai dengan fitrah manusia. Sangat agung kalau dihayati dan akan menggetarkan hati dan menguatkan hati.

Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler