x

Menggendong Anak

Iklan

jihan ristiyanti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 April 2022

Selasa, 7 Juni 2022 17:41 WIB

Saat Pekerjaan Diberi Kelamin

Budaya telah membentuk suatu stereotip, yang membuat seorang ibu enggan membiarkan anak laki-lakinya melakukan pekerjaan rumah. Sebaliknya hal itu  tidak berlaku bagi anak perempuan, yang selalu diharapkan ikut melakukan pekerjaan domestik. Ingat, seorang anak adalah peniru ulung. Ia merekam semua yang ia lihat, dengar dan rasakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari ini, kalian mungkin masih banyak menjumpai anak laki-laki asik bermain game, sementara anak perempuan sibuk melakukan  pekerjaan rumah. Si anak perempuan itu membantu ibu, mencuci piring, menjemur pakaian, menyapu. Semua pekerjaan domestik yang budaya telah bebankan kepada sosok ibu.

Ilustrasi Keluarga

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak hanya itu, budaya kita telah membiarkan adanya ketimpangan dalam pelaksanaan tanggung jawab seorang anak. Anak laki-laki dinilai tak apa, jika ia tidak mencuci pakaiannya sendiri. Tak apa, jika tak membersihkan bekas piringnya selepas makan. Mereka tak akan diteriaki hanya karena tidak membantu ibu membersihkan rumah. Meski nyatanya, pekerjaan seorang ibu itu amat melelahkan.

Tapi budaya telah membentuk suatu stereotip, yang membuat seorang ibu enggan untuk membiarkan anak laki-lakinya melakukan pekerjaan rumah. Sebaliknya, hal itu  tidak berlaku bagi anak perempuan.

Saya menulis ini bukan semata karena saya perempuan. Atau karena saya merasa sikap seperti itu tidak adil. Pilih kasih atau apapun itu. Saya percaya, setiap orang tua mencintai anaknya. Tak  peduli perempuan atau laki-laki. Cintanya penuh, utuh.

Tapi ini tentang kehidupan bermiliar-miliar orang. Seorang anak yang nanti akan tumbuh menjadi teman seseorang, menjadi warga negara, suami atau istri. Menjadi ayah dan ibu.

Waktu telah menjadi saksi, bagaimana pembagian beban kerja yang kaku telah membuat  banyak ibu kelelahan. Secara fisik dan mental. Rasa lelah itu sering kali diluapkan pada anak perempuan. Anda jangan berfikir rantai ini akan berhenti di sini.

Anak yang lahir dan tumbuh di keluarga dengan kultur seperti itu. Jika ia adalah perempuan, akan tertanam dalam benaknya. Bahwa sudah sewajarnya perempuan mengerjakan semua tugas domestik. Ia akan merasa salah, jika membaginya dengan suami atau anak lelakinya. Pada akhirnya seluruh beban ia pikul seorang.

Dan jika ia adalah laki-laki. Kultur tersebut akan membuatnya berfikir, bahwa tak apa, jika ia tidak mencuci bajunya sendiri, bahkan ketika ia telah menginjak usia kepala dua. Karena dia laki-laki. Tak apa, jika ia bangun siang, saat ibunya kerepotan menyiapkan sarapan untuknya. Karena dia anak laki-laki. Fikiran itu akan tertanam dalam dirinya dan menjadi suatu kelaziman saat ia memasuki kehidupan rumah tangga.

Lalu apa menurut anda itu benar?


Percayalah, fisik dan raga yang lelah akan berdampak pada komunikasi yang buruk. Yang berujung pada ketidakharmonisan hubungan. Baik pertemanan, lingkungan sosial, maupun keluarga.

Jika kita tidak memutus kultur itu mulai dari diri kita. Lingkaran penderitaan itu akan terus berulang. Pada anak cucu kita. Bukankah kita ingin melihat anak perempuan kita bebas menentukan pilihannya? Tanpa terbebani dengan embel-embel tuntutan kebudayaan yang   timpang. Bukankah kita ingin melihat anak laki-laki kita tumbuh menjadi anak yang ringan tangan dalam kebaikan? Bertanggung jawab atas dirinya. Tidakkah kita ingin melihat mereka saling bekerja sama dan meringankan satu sama lain?

Semua itu tidak akan terjadi. Jika kita tidak memulainya sekarang. Anda bisa memulai dengan hal kecil. Seperti memberikan tanggung jawab mencuci pakaian mereka secara mandiri. Itu berlaku untuk anak perempuan dan anak laki-laki. Meminta bantuan mereka jika tengah kerepotan. Tanpa harus memberi label gender pada kegiatan mereka.

Sudah saatnya, pemberian label gender pada suatu kegiatan tak dilestarikan. Ajarkan mereka, bahwa semua bisa dilakukan bersama-sama. Cuci piring tak memiliki gender perempuan, begitupun mengepel, membersihkan rumah, memperbaiki motor, otak-atik mesin, belajar desain. Anda bisa ajarkan semua itu pada anak laki-laki juga anak perempuan. Tak ada yang salah, jika perempuan belajar otomotif. Begitu juga, jika laki-laki belajar memasak.

Ikuti tulisan menarik jihan ristiyanti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler