x

Iklan

Mohammad Imam Farisi

Dosen FKIP Universitas Terbuka
Bergabung Sejak: 17 Februari 2022

Jumat, 10 Juni 2022 07:45 WIB

Merdeka dalam Publikasi Ilmiah: Akhir Era Rezim Scopus/WoS (?)

Perjalanan panjang gagasan merdeka dalam publikasi ilmiah sudah mencapai titik akhir. Gagasan ini menawarkan otonomi kepada dosen mempublikasikan artikel ilmiah pada jurnal-jurnal di luar terindeks Scopus/WoS. Dua Surat Edaran Dirjen Dikti menegaskan gagasan tersebut. Kini karya ilmiah untuk usulan jabatan fungsional/pangkat Lektor Kepala dan Profesor “boleh” dipublikasikan pada Jurnal nasional dan internasional bereputasi tidak hanya/tidak harus Scopus/Wos).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dari Gagasan Hingga Putusan

Awal tahun 2020, MendikbudRistek Mas Nadiem dalam raker bersama dengan Komisi X  DPR-RI menyambut baik dan menyepakati usulan dan gagasan seorang anggota DPR RI untuk membebaskan para dosen dari kewajiban/keharusan publikasi ilmiah internasional terindeks Scopus, yang dianggapnya sebagai “penjajahan intelektual”, dan mengusulkan urgensi untuk membesarkan jurnal ilmiah dalam negeri (yang terindeks SINTA). Bagi Mas Nadiem, usulan dan gagasan tersebut dipandang searah dengan program merdeka belajar. Namun, Nadiem, saat itu tidak menjanjikan policy apapun terkait hal itu (liputan6.com, 20/2/2020).

Dua tahun sejak gagasan “merdeka dalam publikasi ilmiah” dilontarkan, belum ada satupun kebijakan dari KemendikbudRistek/Ditjendikti. Perguruan tinggi juga bergeming. Sehingga, wacana itupun tidak memiliki dampak sistemik ke seluruh struktur jaringan institusi pendidikan tinggi, seakan hilang dalam riuhnya persoalan lain bidang pendidikan tinggi yang juga menanti solusi cerdas dan cepat. Civitas academica, khususnya dosen, yang sejatinya “diuntungkan” oleh gagasan ini pun tak bereaksi, juga tidak melakukan unjuk rasa atau berdemo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Medio 2022, diluar perkiraan, Plt. Dirjen Dikti mengeluarkan edaran tentang “Penyesuaian Pedoman Operasional Kenaikan Jabatan Fungsional Dosen Kepala dan Profesor tentang masa kerja dosen” bernomor 0403/E.E4/KK.00/2022, tanggal 25 Mei 2022. Edaran tersebut ditujukan kepada seluruh Pimpinan PTN di Lingkungan KemendikbudRistek, Pimpinan PT Kementerian Lain/Lembaga Pemerintah Nonkementerian, dan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDKTI) Wilayah I s.s. XVI (Kemendikbud, 2022).

Terbitnya edaran tersebut memiliki kaitan historis yang tak bisa dilepaskan dari gagasan anggota DPR-RI tentang “merdeka dalam publikasi ilmiah dari rezim Scopus”. Karenanya, frase “penyesuaian” dalam edaran tersebut bisa jadi sebagai jawaban dan tindak lanjut dari kesetujuan Mendikbud atas gagasan “merdeka dalam publikasi ilmiah”. Namun, yang pasti edaran tersebut merupakan “penyesuaian” ketentuan KemendikbudRistek/Dirjen Dikti tentang PO PAK 2019 terhadap pertimbangan hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) Nomor 20/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka tanggal 29 Maret 2022; dan surat Sekjen Mahkamah kepada MendikbudRistek (cq. Dirjen Dikti) nomor: 1613/AP.02/04/2022, tanggal 8 April 2022, agar “segera menindaklanjuti putusan dan pertimbangan Mahkamah”.

Salah satu dari pertimbangan Mahkamah adalah agar MendikbudRistek/Dirjen Dikti segera menyusun/menerbitkan regulasi terkait dengan “syarat publikasi dalam jurnal internasional bereputasi”, dengan catatan Mahkamah “jika syarat tersebut tetap akan dipertahankan untuk memperoleh jabatan akademik professor”.

Sungguh diluar dugaan, Plt. Dirjen Dikti melalui edaran tersebut, yang kemudian dilanjutkan dengan edaran kedua bernomor: 434/E.E4/KK.00/2022 tentang “Kebijakan Penilaian Angka Kredit Dosen (PAK)” tanggal 31 Mei 2022 (Kemdikbudristek, 2022) semakin menegaskan, bahwa bagi dosen yang akan mengajukan usul kenaikan jabatan ke Lektor Kepala/Profesor “tidak perlu” (tidak wajib/harus) memiliki publikasi ilmiah di Jurnal Internasional bereputasi (terindeks Scopus atau WoS dengan SJR Jurnal atau JIF WoS tertentu) sebagai syarat utama/khusus, sebagaimana ketentuan pada PO PAK 2019 (LDDIKTI, 2019).

Di dalam edaran terbaru tersebut, karya ilmiah untuk usulan jabatan fungsional/pangkat Lektor Kepala dan Profesor “boleh” Jurnal Internasional Bereputasi (tidak harus Scopus/Wos). Boleh juga publikasi ilmiah di Jurnal Internasional/Jurnal Nasional Terakreditasi/Jurnal Nasional (SINTA 1—6) yang terdaftar pada laman: https://sinta3.kemdikbud.go.id/ Ketentuan ini berlaku efektif sejak 1 Juli 2022.

Kedua edaran dari Dirjen Dikti tersebut, menjadi jawaban yang sangat ditunggu dengan penuh harap, bukan hanya oleh sang anggota DPR yang mewacanakannya, melainkan pula sangat ditunggu oleh seluruh dosen PT/PTS di Indonesia. Penyesuaian ketentuan ini niscaya direspon sangat antusias dan haru oleh seluruh dosen yang mengimpikan untuk meraih jabatan akademik tertinggi, yaitu Profesor. Setelah 7 tahun tahun rezim Scopus/Wos (sejak PO PAK 2014 hingga PO PAK 2019) menguasai kebebasan/kemerdekaan akademik dosen Indonesia dalam publikasi karya ilmiah. Kini mereka bisa bernafas lega dan bermimpi indah, tak khawatir akan ada lagi mimpi buruk (nightmare) dalam tidurnya yang nyenyak.

Dalam artikel “Merdeka Belajar: Merdeka dalam Jurnal Ilmiah” (Kompasiana, 16/12/2021), penulis bertanya, “apakah gagasan merdeka dalam jurnal ilmiah merupakan akhir rezim Scopus?” kini terjawab sudah. Rezim Scopus/Wos sudah berakhir, dalam artian Scopus/Wos BUKAN lagi sebagai “penguasa tunggal” dan BUKAN lagi sebagai “paradigma tunggal” dalam ajang kontestasi dosen untuk menjadi seorang Profesor. Yang penting, bahwa karya ilmiah yang diajukan tersebut relevan dengan kompetensi dosen (bidang keilmuan) yang mengusulkan; sesuai antara lingkup/subjek area jurnal dengan karya ilmiah yang diusulkan; dan dipastikan tidak ada pelanggaran integritas akademik (mis. plagiarisme, jurnal predator, atau semacamnya).

Pada kesempatan ini, sangat patut kiranya, insan dosen di seluruh Indonesia bersyukur dan berterima kasih, serta memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Dr. Dra. Sri Mardiyati, M.Kom. Dosen UI yang telah mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah. Permohonannya memang “ditolak untuk seluruhnya” oleh Mahkamah (Putusan No. 20/PUU-XIX/2021. Namun, disadari atau tidak, permohonannya telah menginspirasi Mahkamah dan KemendikbudRistek/Dirjen Dikti untuk memberikan pertimbangan hukum, dan melakukan penyesuaian terkait ketentuan pengusulan jabatan Lektor Kepala/Profesor.

 

Dampak Positif dan Negatif

Kebijakan “penyesuaian” Dirjen Dikti tersebut, pasti memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, pertama, jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Sinta 1—3 bisa semakin berkembang, dan bisa jadi, akan terjadi peningkatan eksponensial jumlah artikel dosen yang diterima dan dipublikasikan. Bagi jurnal nasional yang terakreditasi SINTA 4—6 dan/atau yang tidak terakreditasi, juga akan terpacu dan penuh semangat untuk bisa naik kelas hingga meraih SINTA 1—3. Data di laman SINTA menunjukkan 4,579 (65.97%) jurnal nasional berada pada peringkat SINTA 4—6, dan 2,362 (34,03%) pada peringkat SINTA 1—3.

Gambar 1. Jumlah Jurnal Ilmiah Nasional Terindeks SINTA (Tahun 2022)

 

Kedua, secara bertahap dan terprogram, sistem pengindeksan model SINTA bisa dikembangkan dan ditingkatkan menjadi indeks global/internasional yang tidak hanya mengindeks jurnal-jurnal terbitan nasional. Tetapi juga terbuka untuk jurnal-jurnal terbitan negara lain. Jika ini bisa diwujudkan, maka SINTA bisa berevolusi seperti Scopus, Wos, dan pengindeks internasional yang lain. Jalan Panjang dan berliku yang harus ditempuh oleh SINTA pun kini mulai melandai. Eskalasi SINTA dari pengindeks nasional ke pengindeks global/internasional ini sangat penting untuk alasan kemandirian dan kebangsaan bangsa di bidang publikasi ilmiah.

Tantangan terberat bagi SINTA untuk mengekskalasi diri menjadi pengindeks global/internasional adalah bagaimana meningkatkan skor h-indeks yang mengukur kualitas sebuah terbitan jurnal ilmiah. Parameter h-indeks adalah tingkat produktivitas (jumlah artikel yang dimuat/diterbitkan), dan jumlah sitasi (Impact factor; IF) dari artikel yang dimuat/diterbitkan yang merefleksikan signifikansi artikel/jurnal tersebut bagi perkembangan dan kemajuan iptek serta bagi komunitas sains masing-masing  (Farisi, 2022).

Tantangan lain yang juga harus dihadapi jurnal-jurnal nasional terkait dengan manajemen dan kualitas substansi artikel. Analisis kemendikbudristek atas hasil evaluasi jurnal-jurnal yang mengajukan akreditasi, ada sejumlah tantangan dan kendala yang dihadapi dalam pengindeksan SINTA dalam rangka meningkatkan skor h-indeks. Tantangan dan kendala tersebut adalah: 1) visibilitas dan aksesibilitas jurnal ilmiah belum baik karena belum menerapkan manajemen jurnal ilmiah secara daring (online) penuh. Hal ini akan berpengaruh pada “jangkauan ketersebaran” artikel/jurnal; 2) proses pengelolaan artikel belum sepenuhnya menerapkan standar dan/atau kaidah artikel ilmiah; 3) kualitas penerbitan jurnal ilmiah sebagian besar masih kurang baik; 4) pengendalian kualitas jurnal ilmiah melalui proses penelaahan oleh mitra bestari dan pemapanan gaya selingkung belum konsisten baik; dan 5) kualitas substansi artikel belum dijaga dan dipertahankan dengan baik (SK Dirjen Dikti 134/E/KPT/2021).

Ketiga, perlahan namun pasti, kebijakan “penyesuaian” tersebut akan melepaskan para dosen dari ketergantungan untuk mempublikasikan artikel-artikel ilmiahnya pada publikasi jurnal ilmiah terbitan luar negeri yang belum tentu semuanya kredibel dan berkualitas. Jika ini terjadi, maka pada gilirannya akan memakmurkan jurnal-jurnal yang diterbitkan/dipublikasikan oleh anak-anak bangsa. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi.

Dampak negatifnya, bisa jadi jumlah publikasi di jurnal-jurnal ilmiah internasional bereputasi (terindeks Scopus/WoS) akan mengalami penurunan secara bertahap. Namun demikian, selama nilai angka kredit di PO-PAK 2019 tetap sebagaimana adanya, maka publikasi pada jurnal bereputasi (terindeks Scopus/WoS) masih tetap akan diminati, dan memberikan daya tarik tersendiri.

Dari perspektif ‘tradisi akademik’, publikasi di jurnal-jurnal internasional, apalagi ada embel-embel “bereputasi” (reputable publication) niscaya akan memiliki civil effect bagi penulisnya. Yaitu prestise dan kebanggaan intelektual personal yang merupakan bagian tak terpisahkan dari ikhtiar diri untuk menambah nilai citra diri di kalangan akademisi (nasional atau internasional). Paling tidak, publikasi pada jurnal-jurnal terindeks Scopus/WoS tetap akan memperoleh nilai angka kredit tertinggi (NAK) = 30—40 AK, lebih tinggi daripada publikasi pada jurnal yang tidak terindeks keduanya (NAK: 10—25 AK).

Batapapun, kebijakan “penyesuaian” tersebut merupakan sebuah fenomena yang tak pernah terpikirkan dan terprediksi. Karena kebijakan sebelumnya yang mengharuskan/mewajibkan publikasi internasional di jurnal bereputasi terindeks Scopus telah membuahkan peningkatan eksponensial jumlah publikasi artikel ilmiah pada jurnal internasional bereputasi yang terindeks di Scopus dalam rentang waktu tahun 2014—2020.

Data https://www.scimagojr.com/ menunjukkan peningkatan signifikan jumlah jurnal bereputasi terindeks Scopus yang terjadi sejak tahun 2016 atau dua tahun setelah pemberlakuan PO-2014, yang mencapai 83.8%. Data SJR juga menunjukkan pada tahun 2020 Indonesia berada pada ranking ke-5 di Kawasan Asia, di bawah China, India, Jepang, dan Korea Utara, dengan 50.145 publikasi. Ranking ini naik dibandingkan pada tahun 2014 yang berada pada ranking ke-11, di bawah Malaysia (R-6), Singapura (R-7), dan Thailand (R-9) dengan hanya 6.910 publikasi.

Gambar 2. Jumlah Jurnal Indonesia Terindeks SCOPUS (Tahun 2014 - 2020)

 

Kini, setelah lebih dari dua tahun, gagasan merdeka dalam publikasi ilmiah yang menawarkan kemerdekaan dan otonomi yang lebih terbuka kepada dosen/peneliti dalam berpublikasi sudah terwujud dalam realitas kehidupan akademik di Indonesia. Sebuah fitrah paling asasi dari eksistensi manusia, yang memungkinkan lahir kreativitas dan perubahan

Akhirnya, komunitas akademik (dosen) tentu sangat berharap, SINTA bisa menjadi perwujudan dari gagasan Merdeka dalam Publikasi Ilmiah. Namun demikian, SINTA masih harus hard running untuk bisa menjadi “successor paradigm” yang bersetara dengan Scopus atau ISI Web of Science. Apalagi, hingga saat ini SINTA masih berusia kurang dari lima tahun (balita). Artinya, perjuangan SINTA di arena tarung publikasi akademik masih cukup panjang. Peluang masih terbuka luas, dan tentu saja dukungan seluruh dosen dan tenaga peneliti Indonesia sangat diperlukan untuk pada akhirnya mencapai konsensus bersama atas paradigma baru “apa itu jurnal ilmiah bereputasi”.

Tangsel, 9 Juni 2022.

Ikuti tulisan menarik Mohammad Imam Farisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler