x

Iklan

Bambang Udoyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Maret 2022

Sabtu, 11 Juni 2022 11:28 WIB

Jadikan Amarah dan Harga Diri Sebagai Tangga

Nafsu amarah bisa destruktif tapi sesungguhnya ia memiliki sisi baik juga. Jadi terganung cara kita mengelolanya. Cermati paparannya berikut ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jadikan Amarah dan Harga Diri Sebagai Tangga

 

Bambang Udoyono, penulis buku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Bring anger and pride under your feet, turn them into a ladder and climb higher. “Taruhlah amarah dan harga diri di bawah kakimu, ubahlah mereka menjadi tangga dan naiklah lebih tinggi”.   Demikian kutipan kalimat Maulana Jalaludin Rumi.  Kali ini kita membahas lagi kalimat mutiara dari Rumi.  Saya suka dengan karya Rumi karena sangat indah dan penuh makna yang dalam.   Mari kita otak atik.

 

Allah swt memberi manusia nafsu amarah dan nafsu lain pastilah memiliki tujuan tertentu.  Nafsu ini ibarat alat untuk manusia.  Alat ini memiliki dua potensi.  Di satu sisi alat ini bisa bermanfaat tapi di sisi lain alat ini bisa merugikan manusia.  Jadi tergantung cara si pemilik alat ini memakainya.  Kalau dipakai dengan bijak maka alat ini akan membawa manfaat, tapi kalau dipakai secara sembrono ya pasti akan merugikan bahkan menyengsarakan pemiliknya.

 

Rumi memberi saran yang sangat baik untuk memanfaatkan nafsu amarah karena nafsu amarah ini memang memiliki keunggulan berupa enerji daya dorong.   Nafsu amarah inilah yang mendorong manusia mengejar kemajuan di berbagai bidang.  Manusia ingin berkuasa dan kaya raya adalah dorongan nafsu amarah.  Semua manusia pasti ingin memiliki kekuasaan dan kekayaan.  Hanya kadarnya berbeda.  Ada orang yang sangat ambisius ada yang sedang sedang saja.  Ada yang mematok target tinggi ada yang biasa biasa saja.  Ada yang ingin menjadi milyuner ada yang ingin sekedar cukup saja.

 

Keinginan untuk unggul dari orang lain, atau tidak mau kalah dari orang lain juga sejatinya dorongan nafsu amarah.  Jadi nafsu amarah bukan hanya sekedar ngamuk sambil memaki maki atau menyerang orang.  Orang yang terdidik dalam budaya yang menekankan tata krama tidak akan pernah melakukan hal itu.  Tapi ambisi, cita cita, keinginan menggapai kehidupan duniawi yang lebih baik pasti ada di dada semua orang.

 

Saya menafsirkan Rumi dengan indah menyarankan manusia menguasai nafsu tersebut, dan jangan sampai dikuasai.  Dia ibaratkan nafsu itu dipakai sebagai tangga untuk menanjak lebih tinggi. 

 

Kalau nafsu tersebut sudah dikuasai maka kita akan bisa memakainya  dengan baik sebagaimana kita memakai alat.  Ia menjadi tangga untuk menggapai sasaran yang lebih tinggi.

 

 

Demikian juga dengan pride atau harga diri.    Saya sering melihat orang yang tersinggung dengan omongan atau tindakan orang lain dengan alasan harga dirinya direndahkan, disinggung, dilecehkan.   Meskipun demikian saya sering juga melihat sesungguhnya bukan orang lain yang melecehkannya tapi emosinya yang tinggi sehingga gampang tersinggung.  Orang lain belum tentu bertindak atau berbicara melecehkan dia.  Jadi cara dia keliru dalam menanggapi tindakan orang.   Kondisi hatinya sendiri yang kurang sehat.  Akibatnya dia melihat orang lain salah.  Kalau terlalu banyak orang yang dia salahkan jangan jangan hatinya sendiri yang kurang sehat dan kurang bersih.

 

Kadang ada orang yang menilai dirinya terlalu tinggi.  Merasa dirinya spesial, sedangkan orang lain belum tentu sependapat.  Barangkali dia termakan oleh orang lain yang suka memuji sebagai basa basi.  Dengan kata lain rayuan gombal alias pujian yang tidak setulus hati dan tidak sebenarnya.  Cobalah tidak terlalu bangga dengan pujian orang karena tidak sedikit yang hanya berbasa basi alias nggombal.

 

Boleh saja tidak mau kalah dengan orang lain. Ora gelem kungkulan dalam bahasa Jawa, ada baiknya juga.  Asal dilakukan dengan positif.  Artinya dipakai untuk memicu upaya meningkatkan diri, memperbaiki diri semaksimal mungkin.  Bukan secara negatif.  Jadi bukan dengan menjatuhkan orang lain.  Bukan menjelekkan orang lain. 

 

Jadi Rumi menyarankan kita menguasai nafsu amarah dan harga diri ini agar membawa manfaat.   Kalau keduanya sudah dikuasai maka mereka ibarat tangga yang bisa dipakai untuk memanjat lebih tinggi lagi.   Mari kita mulat sariro alias ‘mengaca diri’, agar kita mampu memakai amarah dan harga diri sebagai alat untuk memanjat lebih tinggi lagi. 

Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu