x

Sumber Foto: Pexels/ Buku

Iklan

Fina Wulandari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 April 2022

Minggu, 12 Juni 2022 05:43 WIB

Pendapat Para Ahli Mengenai Kelahiran Sastra Indonesia


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbicara mengenai kelahiran sastra Indonesia, pastinya setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Sejatinya kelahiran sastra Indonesia merupakan bagian dari sebuah sejarah sastra yang terjadi di Indonesia. hingga saat ini, penentuan awal kelahiran sastra Indonesia serta tolak ukur suatu karya disebut sebagai sastra Indonesia masih menjadi polemik. Sejauh ini para pengamat dan akademisi sastra (humaniora) memiliki pertimbangan yang berbeda sehingga menghasilkan berbagai pendapat yang berbeda pula mengenai awal lahirnya sastra Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang berbeda mengenai karakteristik sastra Indonesia, juga belum adanya satu kesepakatan yang dapat digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.

sejatinya ilmu sastra memiliki sifat intersubjektif yaitu selama pendapat tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan diterima, maka pendapat tersebut dianggap “benar”. Hal inilah yang menyebabkan perumusan awal lahirnya sastra Indonesia menjadi sangat panjang dan rumit hingga saat ini. Secara umum sastra Indonesia dibagi menjadi Sastra Indonesia Lama dan Sastra Indonesia Baru.

Beberapa para ahli telah mengemukaan pendapat-pendapatya tentang kelahiran sastra Indonesia. Berikut adalah penjabaran lengkapnya.

  1. Umar Junus
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Umar Junus membahas tentang  lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern dalam karangannya yang dimuat dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan (1960). Ia berpendapat bahwa : sastra ada sesudah bahasa ada. “ Sastra X baru ada setelah bahasa X ada, yang memiliki makna bahwa sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada,” ungkapnya. Dan karena bahasa Indonesia baru ada pada tahun 1928 (dengan adanya Sumpah Pemuda), maka dari itu Umar Junus pun berpendapat bahwa “Sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928”. Adapun karya yang terbit sebelum tahun 1928 – yang lazim digolongkan pada karya sastra Angkatan ’20 atau angkatan Balai Pustaka—menurut Umar Junus tidaklah dapat dimasukkan “ ke dalam golongan hasil sastra Indonesia”, melainkan hanya “sebagai hasil sastra Melayu Baru/Modern”. Alasan Umar Junus: Karya-karya itu “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu”.

Dengan dasar pemikiran tersebut, Umar Junus membagi sastra Indonesia menjadi:

a. Pra Pujangga Baru atau Pra Angkatan ’33 (1928-1933),

b. Pujangga Baru Angkatan ’33 (1933 – 1945),

c. Angkatan ’45, dan seterusnya

2. Ajip Rosidi

Pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia dapat kita baca dalam bukunya “Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir” yang dimuat dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1985).

Ajip mengakui bahwa sastra tidak akan pernah ada tanpa bahasa. Akan tetapi, sebelum sebuah bahasa diakui secara resmi, tentu saja bahasa itu sudah ada sebelumnya dan juga sudah dipergunakan oleh orang-orang. Oleh sebab itu, Ajip tidak setuju jika suatu bahasa dijadikan patokan lahirnya sebuah sastra (dalam hal ini sastra Indonesia). Di pihak lain, Ajip berpendapat bahwa kesadaran kebangsaanlah seharusnya dijadikan patokan. Berdasarkan kebangsaan ini, menetapkan bahwa lahirnya Keusasraan Indonesia Modern adalah tahun 1920/1921 atau 1922. Mengapa Ajip memilih tahun-tahun itu? Tahun 1922 adalah lahirnya kesusastraan Indonesia dengan alasan :

Ajip memilih tahun 1920/1921 bukan karena pada tahun itu terbit Azab dan Sengsara maupun Siti Nurbaya, melainkan karena pada tahun itu para pemuda Indonesia (Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, Sanusi Pane, dan lain-lain) mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaaan dalam majalah Jong Sumatra (diterbitkan oleh organisasi Jong Sumatra). “Pabila buku Azab dan Sengsara dan Siti Nurbaya dianggap bersesuaian dengan sifat nasional, (hal yang patut kita mengerti mengingat yang menerbitkannya pun adalah Balai Pustaka, organ pemerintah kolonial), tidaklah demikian halnya dengan sajak-sajak buah tangan para penyair yang saya sebut tadi. Sifatnya tegas berbeda dengan dengan umumnya hasil sastra Melayu, baik isi maupun bentuknya. Puisi lirik bertemakan tanah air dan bangsa3 yang sedang dijajah adalah hal yang tidak biasa kita jumpai dalam khazanah kesusastraan Melayu”, demikian Ajip. 4 Dan Ajip memilih tahun 1922 karena pada tahun itu terbit kumpulan sajak Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Kumpulan sajak ini pun, menurut Ajip, mencerminkan corak/semangat kebangsaan, yaitu tidak ada/tampak pada pengarang-pengarang sebelumnya.

3. Teeuw

Pendapat Teeuw mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern dapat kita simak dalam bukunya yang berjudul Sastra Baru Indesia 1 (1980). Agak dekat dengan tahun yang diajukan Ajip Rosidi, Teuuw pun berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia Modern lahir sekitar tahun 1920. Alasan Teeuw adalah :

“Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berberda dengan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbedea daripada perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional dan mulai demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentukbentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan. Alasan lainnya menurut Teeuw ialah :

“Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia. Oleh karena itu mereka dilarang memasuki bidang politik, maka mereka mencoba mencari jalan keluar yang berbentuk sastra bai pemikiran serta perasaan, emosi serta cita-cita baru yang telah mengalir dalam diri mereka. Berdasarkan pemikiran tersebut, Teeuw menyatakan lahirnya kesusastraan Indonesia pada tahun 20-an, yaitu pada saat lahirnya puisi-puisi kebangsaan dan bentuk soneta yang digunakan pengarang.

4. Slamet Mulyana

Slamet Mulyana memandang kelahiran Kesusatraan Indonesia dari sudut lain. Beliau melihat dari sudut lahirnya sebuah negara Indonesia adalah sebuah negara di antara banyak negara di dunia. Bangasa Indonesia merdeka tahun 1945. Pada masa itu lahirlah negara baru di muka bumi ini yang bebas dari penjahan Belanda, yaitu negara Republik Indonesia. Secara resmi pula bahasa Indonesia digunakan/diakui sebagai bahasa nasional, bahkan dikukuhkan dalam UUD 45 sebagai undang-undang dasar negara. Karena itu Kesusastraan Indonesia baru ada pada masa kemerdekaan setelah mempunyai bahasa yang resmi sebagai bahasa negara. Kesusastraan sebelum kemerdekaan adalah Kesusastraan Melayu, belum Kesusastraan Indonesia.

5. Sarjana Belanda

Hooykass dan Drewes, dua peneliti Belanda ini menganggap bahwa Sastra Indonesia merupakan kelanjutan dari Sastra Melayu (Meleise Literatur). Perubahan “Het Maleis” menjadi “de bahasa Indonesia” hanyalah perubahan nama termasuknya sastranya. Dengan demikian Kesusastraan Indonesia sudah mulai sejak Kesuastraan Melayu. Karena itu pengarang Melayu seperti Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Nurrudin Ar-Raniri, beserta karya Sastra Melayu seperti Hang Tuah, Sejarah Melayu Bustanussalatina, Tajussalatina, dan lain-lain adalah bagian dari Kesusastraan Indonesia.

6. Dr. Nugroho Notosusanto

Menurut Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dalam sebuah artikel yang berjudul “Soal Periodisasi dalam Sastra Indonesia” mengatakan sastra Indonesia lahir saat terbentuknya state of mind, yaitu 20 Mei 1908 yang dikenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Alasannya perkembangan sastra bukan semata-mata mengikuti perkembangan bahasa yang menjadi mediumnya.

Meskipun bahasa merupakan sebuah medium sastra seperti halnya tanah liat sebagai bahan utama seorang pematung tapi sastra bersifat kreatif. Dalam zaman kuno, sastra mutlak mengikuti bahasa yang menjadi mediumnya. Misalnya sastra Sansekerta yang mengikuti bahasa Sansekerta. Tapi sejak timbulnya nasionalisme, keadaanpun berubah. Sastra mengikuti nama kebangsaan atau nasionalitasnya. Bukankah sastra Inggris, sastra Amerika, sastra Australia, sastra India, sastra Irlandia, dan sastra Filipina memakai bahasa Inggris sebagai mediumnya.

Sastra Indonesia seperti halnya sastra Malaysia pada awalnya sama-sama mengikuti pertumbuhan bahasa Melayu maka begitu nasionalitas mereka terbentuk lahirlah sastra Indonesia dan sastra Malaysia. Oleh karena itu, pada hakikatnya sastra Indonesia adalah sastra nasional seperti sastra Perancis, sastra Inggris, sastra Jerman, sastra Cina, sastra Jepang, dsb.

 

 

Daftar Pustaka :

Muhri. Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia. Bangkalan: Yayasan Arraudiah Bangkalan. 2016.

Ikuti tulisan menarik Fina Wulandari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB