x

Seorag buruh anak sedang bekerja di kawasan Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto Tempo/Prima Mulia

Iklan

Slamet Samsoerizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Maret 2022

Senin, 13 Juni 2022 07:15 WIB

Hari Menentang Pekerja Anak, Bagaimana dengan Indonesia?

Pekerja anak merupakan isu global yang diagendakan untuk ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan. Komitmen ini dinyatakan dalam bentuk cita-cita bersama dengan motto “Masa Depan Tanpa. Bagaimana dengan Indonesia?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 12 Juni kemarin, kita memperingati World Day Against Child Labour atau “Hari Menentang Pekerja Anak”(HMPA). Tema yang ditetapkan International Labour Organization (ILO)  sehubungan dengan HMPA adalah “Perlindungan Sosial Universal untuk Mengakhiri Pekerja Anak.”

Pada hari ini, ILO, bersama dengan konstituen dan mitranya, menyerukan peningkatan investasi dalam sistem dan skema perlindungan sosial untuk membangun landasan perlindungan sosial yang kokoh dan melindungi anak-anak dari pekerja anak.

Perlindungan sosial merupakan hak asasi manusia dan alat kebijakan yang ampuh untuk mencegah keluarga menggunakan pekerja anak pada saat krisis. Namun, pada tahun 2020 dan sebelum krisis COVID-19 terjadi, hanya 46,9 persen dari populasi global yang secara efektif tercakup oleh setidaknya satu manfaat perlindungan sosial. Cakupan untuk anak-anak bahkan lebih rendah. Hampir tiga perempat dari anak-anak, 1,5 miliar, tidak memiliki perlindungan sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hari Dunia Menentang Pekerja Anak 2022 berlangsung tak lama setelah Konferensi Global ke-5 tentang Penghapusan Pekerja Anak. Memastikan akses universal ke perlindungan sosial merupakan bagian integral dari “Panggilan Bertindak Durban”, yang diadopsi selama Konferensi, dan penting untuk membantu membangun jalan menuju dunia yang bebas dari pekerja anak dan menuju universal perlindungan sosial.

Dalam siaran persnya  Guy Ryder, Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional, memperingatkan pilihan yang dibuat oleh pemerintah sekarang akan membuat atau menghancurkan kehidupan jutaan anak. Dia mengatakan perlindungan sosial adalah salah satu langkah paling kuat untuk mencegah pekerja anak, menyediakan keluarga dengan jaminan pendapatan di masa-masa sulit.

Pekerja Anak di Indonesia

Pekerja anak merupakan isu global yang diagendakan untuk ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan. Komitmen ini dinyatakan dalam bentuk cita-cita bersama dengan motto “Masa Depan Tanpa Pekerja Anak”  sebagai upaya global mengakhiri pekerja anak. Gerakan global ini dibangun sebagai respons terhadap realitas pekerja anak di dunia yang masih memprihatinkan. Gerakan ini terus diakselerasikan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan diwujudkan dalam bentuk Peta Jalan.

Studi global ILO tahun 2020 menunjukkan bahwa ada sekitar 160 juta pekerja anak (63 juta anak perempuan dan 97 juta anak laki-laki), yang mewakili 1 dari 10 anak di seluruh dunia. Selain itu, kemungkinan peningkatan kemiskinan akibat COVID-19 dapat membalikkan kemajuan bertahun-tahun dalam memerangi pekerja anak. Diperkirakan akan ada tambahan 9 juta anak yang berisiko menjadi pekerja anak pada 2022.

Mengutip data terbaru untuk Indonesia, Irham Saifuddin, Staf Program ILO, mengatakan bahwa temuan terbaru ILO berdasarkan eksplorasi data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2011-2020 mengungkapkan bahwa ada tren penurunan pekerja anak dan anak yang bekerja di negeri ini. Tidak terjadi peningkatan pekerja anak yang signifikan akibat pandemi.

 

Prevalensi pekerja anak usia 15-17 tahun menurun dari 31 per 1.000 anak pada 2019 menjadi 26 pada 2020. Data Sakernas 2021 juga mengungkapkan, jumlah pekerja anak usia 15-17 tahun turun 500.000 selama periode Februari 2020-Februari 2021.

 

Irham mengingatkan, mayoritas pekerja anak Indonesia masih ditemukan di pedesaan, yang didominasi sektor pertanian. Selain pertanian, sektor manufaktur dan jasa menjadi dua sektor utama pekerja anak di Indonesia. “Prevalensi pekerja anak usia 15-17 tahun diproyeksikan sekitar 2,2 persen pada 2025 atau setara dengan sekitar 293.000 anak. Namun, COVID-19 bisa menjadi game changer dan kita perlu mempelajari lebih lanjut dampak pandemi terhadap pekerja anak di Indonesia,” ujarnya.

Pencapaian Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (PBPTA) Tahun 2016. Komitmen untuk melaksanakan peta jalan menjadi agenda kerja strategis bagi semua pihak di seluruh dunia.

Dalam konteks Indonesia, pekerja anak merupakan permasalahan bangsa yang membutuhkan tindakan segera dan berkesinambungan. Tindakan segera  mewujudkan komitmen Indonesia bebas pekerja anak merupakan bagian dari agenda melaksanakan Peta Jalan Global guna Pencapaian Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak Tahun 2016 dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BTPA). Upaya aksi yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan dalam menanggulangi pekerja anak telah berkontribusi terhadap pencapaian peta jalan secara global. Dengan demikian, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, lembaga non pemerintah, dan sektor swasta, baik di pusat maupun daerah, penting untuk bekerja secara terpadu dan berkesinambungan agar cita-cita Indonesia bebas pekerja anak terwujud pada tahun 2022.

 

Menarik mencermati pernyataan yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah yang menegaskan bahwa pemerintah memiliki komitmen besar untuk menghapus pekerja anak.

 

Hal tersebut disampaikannya saat memberikan pidato kunci pada “End Child labour virtual race 2021” yang diselenggarakan oleh Organisasi Buruh Internasional atau ILO dalam rangka Peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak atau World Day Against Labour 2021, Sabtu (12/06/2021), secara virtual dari Jakarta.

 

Saat itu Menaker menyampaikan tujuh langkah dalam rangka BTPA. Pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama di daerah pedesaan dan pada kelompok rentan, agar peduli pada pemenuhan hak anak dan tidak melibatkan anak dalam pekerjaan berbahaya. Hal ini dilakukan di antaranya melalui supervisi ke perkebunan kelapa sawit dan perkebunan tembakau.

 

Kedua, langkah-langkah koordinasi dan asistensi untuk mengembalikan anak-anak ke pendidikan, dengan menggunakan berbagai pendekatan. Ketiga, memberikan pelatihan pada pekerja anak dari kelompok rentan (putus sekolah dan keluarga miskin) dalam program pelatihan berbasis komunitas dan pemagangan pada lapangan pekerjaan.

 

Keempat, memfasilitasi intervensi bantuan sosial atau pelindungan sosial pada kelompok buruh dan keluarga miskin yang terdampak COVID-19 yang memiliki kerentanan terhadap anggota keluarga untuk menjadi pekerja anak. Kelima, melakukan supervisi/pemeriksaan ke perusahaan yang diduga mempekerjakan anak.

 

Keenam, melakukan sosialisasi/penyebarluasan informasi norma kerja anak kepada stakeholder. Ketujuh, pencanangan zona/kawasan bebas pekerja anak di Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.

 

Menaker mengakui, saat ini masih terdapat anak di Indonesia yang belum memperoleh hak mereka secara penuh, terutama bagi anak yang terlahir dari keluarga prasejahtera.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, anak-anak berusia 10-17 tahun yang menjadi pekerja di dalam negeri sebesar 2,63% pada 2021. Persentase ini turun 0,62 poin dari tahun sebelumnya. Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki lebih banyak yang menjadi pekerja dibandingkan perempuan, yaitu 2,67 berbanding 2,6%. Pekerja anak merupakan anak yang melakukan pekerjaan dalam jangka waktu pendek, di luar waktu sekolah, dan tanpa unsur eksploitasi. Misalnya dalam rangka membantu orangtua, melatih tanggung jawab, disiplin atau keterampilan.

 

 

Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler