x

Iklan

Bayu W |kuatbaca

Penulis Manis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Maret 2022

Rabu, 15 Juni 2022 16:19 WIB

Paregreg Majapahit

Sisa-sisa pengaruh Majapahit nampaknya baru benar-benar hilang setelah Sultan Trenggono memimpin serangkaian ekspedisi di timur Jawa. Namun, Sultan Trenggono sendiri juga tewas di dalam ekspedisi tersebut dan membuka jalan keruntuhan bagi Kesultanan Demak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hayam Wuruk mangkat pada tahun 1311 Saka atau 1389 Masehi, 25 tahun sesudah Gajah Mada. Pada masa Hayam Wuruk, kraton Majapahit diperkirakan telah dipindahkan ke Trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto). Kemudian, menurut Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk, Kusumawardhani dan Wikramawardhana naik tahta untuk memerintah secara berdampingan. Wikramawardhana adalah suami dari Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk.

Sedangkan jabatan Bhre Mataram lalu dipegang oleh selir Wikramawardhana, yaitu putri Bhre Pandan Salas alias Ranamanggala. Ibu Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana sendiri yang bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan. Dengan kata lain, Wikramawardhana menikahi keponakannya sendiri sebagai selir. Dalam kitab Pararaton Wikramawardhana disebutkan bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singawardhana.

Sebelumnya, ketika Nagarakretagama ditulis pada tahun 1365, Kusumawardhani telah menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan, sedangkan Wikramawardhana menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata. Pada medio 1399, Rajasakusuma atau yang bergelar Hyang Wekasing Sukha, putra mahkota Majapahit, meninggal dunia. Rajasakusuma adalah putra Wikramawardhana dengan Kusumawardhani. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain Rajasakusuma, Pararaton menyebutkan, bahwasannya Wikramawardhana juga memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya. Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandan Salas. Bhre Tumapel kemudian mengisi kedudukan sebagai putra mahkota Majapahit.

Di tahun 1400, Wikramawardhana turun tahta untuk hidup sebagai pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit. Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa Prasasti Katiden (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci. Tetapi, menurut Pararaton, Wikramawardhana kembali menjadi raja karena Kusumawardhani meninggal dunia.

Setelah meninggal Kusumawardhani dicandikan di Pabangan, bernama Laksmipura. Setahun kemudian, Timbul perselisihan antara Wikramawardhana dengan Bhre Wirabhumi. Bhre Wirabhumi adalah putera Hayam Wuruk dari selir, ia berkuasa di daerah Blambangan. Di tahun 1404, akhirnya pecah perang antara Majapahit (barat) dan Blambangan (timur) (Muljana, 2005: 21).

Perang tersebut merupakan buntut dari Perselisihan antara Wikramawardhana dengan Bhre Wirabhumi. Di dalam Pararaton, perang itu disebut dengan “paregreg” (runtuh, roboh). Perang ini mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi Majapahit sebagai hegemoni di Nusantara. Setelah berlangsung kurang lebih dua tahun, perang saudara di Majapahit akhirnya selesai. Pasukan Wikramawardhana dibawah pimpinan Bhre Tumapel berhasil menyerang dan menghancurkan istana Bhre Wirabhumi. Bhre Wirabhumi yang sempat melarikan diri dengan perahu dapat tertangkap dan tewas di tangan Raden Gajah alias Bhra Narapati.

Wikramawardhana kemudian memboyong Bhre Daha (putri Bhre Wirabhumi) sebagai selir. Tentang perang paregreg, Armada Cheng Ho yang sempat mendatangj Majapahit setelah bertolak dari Malaka turut merasakan dampaknya. Dalam catatan berita Tiongkok disebutkan tentang adanya perang saudara di Majapahit, dan pada saat perang berlangsung, utusan Tiongkok sedang berkunjung ke kerajaan Majapahit Timur (Blambangan). Peristiwa tersebut merupakan satu-satunya pertempuran yang menewaskan pasukan Cheng Ho. Karena, pada waktu itu armada Cheng Ho kebetulan berada di sektor timur (daerah Blambangan).

Serangan pasukan Wikramawardana, yang datang dari barat, telah menyebabkan tewasnya 170 awak kapal Cheng Ho. Peristiwa pembunuhan ini diuraikan dalam buku Ming Shi, kitab sejarah resmi Dinasti Ming. Selain Ming Shi, ada pula dua buku klasik lain yang membeberkan perjalanan Cheng Ho. Buku ini ditulis oleh dua ahli bahasa yang menyertai pelayaran muhibah itu. Yakni Ma Huan, muslim yang fasih berbahasa Arab, dan Fei Xin, seorang sarjana ahli sastra. Menurut Liu Ruzhong, sejarawan dari Universitas Beijing, pertempuran di Majapahit ini sempat membuat panik Cheng Ho.

Oleh karena itu, menurut kronik China tulisan Ma Huan (sekretaris Cheng Ho), Wikramawardhana pun diwajibkan membayar denda pada kaisar sebesar 60.000 tahil. Setelah pertempuran itu, Cheng Ho membawa armadanya ke barat, dan singgah di Pelabuhan Simongan, Semarang. Bahkan, ada yang menduga, seorang nakhoda kapal Cheng Ho, yaitu Wang Jing Hong, terluka oleh prajurit Majapahit. Wang kemudian dirawat di Simongan. Meski paregreg mengakibatkankan kemerosotan luar biasa, namun Majapahit masih mampu berdiri hingga memasuki pertengahan dekade abad 16. Bahkan, meskipun peperangan di antara sesama kerabat Majapahit masih terus terjadi. Majapahit disebut juga telah dapat dikalahkan oleh Keling yang diperintah oleh Raja Girindrawardhana.

Prasasti Petak dan Trailokyapuri menerangkan bahwa raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, yang runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 Masehi. Keterangan ini sesuai dengan Pararaton. Sejak itu baru Majapahit berhenti sebagai kota pusat kerajaan. Dan, kekuasaan Kertabhumi (Brawijya V) berakhir sebagaimana diberitakan dalam Pararaton yang dicatatat melalui candrasengkala sirna-ilang-kertaning-bhumi.

Kejatuhan Prabu Kertabumi disebutkan karena raja Kadiri yang dendam setelah ayahnya, Suraprabawa atau Bhre Pandanalas, diturunkan dari tahta Majapahit oleh Bhre Kertabumi. Di tahun 1486 Girindrawardhana membuat prasasti Jiyu. Ia menyebut dirinya raja Wilatikta, Daha, Jenggala, dan Kadiri. Hal ini dengan sendirinya memperjelas peristiwa jatuhnya Kertabhumi (Brawijaya V), yakni akibat pertikaian diantara elit Majapahit sendiri.

Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura. Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara. Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya atau Girindrawardhana yang mengeluarkan prasasti Jiyu di tahun 1486, dimana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha.

Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Kadiri (bukan Majapahit). Atau, setelah tahun 1478, pusat Kerajaan Majapahit kemungkinan besar berpindah dari Trowulan ke Daha. Dikarenakan yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu adalah cabang dari keluarga Kadiri, De Graaf dan juga ahli sejarah lain, tidak bisa tidak, harus menafsirkan Daha merupakan atasan Tuban sebagai Kerajaan Majapahit.

Selain itu, menurut Tome Pires, nama sang raja adalah Vigiaja. Tentu ini adalah ucapan lidah Portugis untuk menyebut (Bra) Wijaya. Dan, juga mahapatihnya yang disebutkan dengan nama Gusti Pate. Sedangkan menurut catatan-catatan Jawa, nama sebenarnya adalah Patih Udara atau Mahudara atau Amdura. Patih itu sangat terkenal dan ditakuti di penghujung senja Majapahit. Patih ini juga yang memberi gelar penguasa Surabaya sebagai “Jurupa Galagam Imteram”. Ini adalah ejaan Portugis untuk gelar Jawa: “Surapati Ngalaga Ing Terung”. Nama penguasa Surabaya itu sebelumnya adalah Pate Bubat. Gelar itu diberikan atas jasa militernya membendung serangan orang-orang Islam dari Jawa Tengah, dimana naskah-naskah Jawa juga menyebut-nyebut orang ini.

Adipati Terung mula-mula adalah pembela Majapahit yang gigih, meskipun ia sudah beragama Islam dan mungkin seorang keturunan Cina. Konon, dialah yang berhasil membunuh Penghulu Rahmatullah (nama anumerta bagi Sunan Ngudung atau Usman Haji), ayah Sunan Kudus yang menjadi panglima Demak saat penyerbuan ke Majapahit yang bukan lagi dibawah kuasa Bhre Kertabhumi atau Brawijaya.

Pada tahun 1498, Raja Girindrawardhana terbunuh dan kekuasannya dirampas oleh Prabu Udara, seorang Patih dari Kadiri. Dengan begitu, kekuasaan di Majapahit di tahun itupun berpindah tangan lagi. Sisa-sisa pengaruh Majapahit nampaknya baru benar-benar hilang setelah Sultan Trenggono memimpin serangkaian ekspedisi di timur Jawa. Namun, Sultan Trenggono sendiri juga tewas di dalam ekspedisi tersebut dan membuka jalan keruntuhan bagi Kesultanan Demak.

Ikuti tulisan menarik Bayu W |kuatbaca lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler