x

ilustr: Daily Mail

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 16 Juni 2022 16:50 WIB

Cerdas atau Bodoh, Saya yang Mana?

Apakah diri saya masih bodoh? Atau sudah cerdas? Yang pasti, kecerdasan dan kebodohan bukan hal yang bisa diaku-aku. Cerdas atau bodoh diri saya, orang lain dapat membaca dari sikap, perbuatan, dan tindakan saya, baik di lingkungan keluarga, lingkungan kerja, hingga lingkungan sosial masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia adalah makhluk paling cerdas yang ada di muka bumi ini. Namun, dalam proses kehidupannya sejak lahir hingga dewasa, ada manusia yang terus berusaha meningkatkan kecerdasannya dengan berbagai cara, termasuk melalui jalur pendidikan dan jalur lain. Di sisi lain, ada manusia yang juga sudah berusaha belajar tetapi kecerdasannya tetap tak berkembang.

Mirisnya, banyak manusia yang juga tak memiliki kesempatan untuk belajar karena situasi dan kondisi, sehingga tak punya kesempatan mengembangkan kecerdasan apalagi merawatnya hingga cerdasnya tumbuh subur.

Lalu, dalam kehidupan nyata, manusia yang terasah kecerdasannya berbaur dengan yang belum terasah. Maka, lahirlah sebutan kelompok orang yang sudah cerdas "terdidik" dan orang yang belum cerdas alias bodoh "belum terdidik". Hanya, faktanya banyak manusia yang sudah terdidik berubah menjadi cerdas atau tetap bodoh. Ada pula manusia tak terdidik tetap cerdas dan tetap ada yang bodoh. Lingkunganlah yang mempengaruhi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Negeri ini, Indonesia, khusus dalam pendidikan, masih terus tercecer dari negara lain. Maka, bicara cerdas dan bodoh tentu akan terus masuk akal dan signifikan.

Contoh kasus teranyar

Lolosnya Timnas Indonesia ke putaran Final Piala Asia 2023, menyisakan sikap, perbuatan, dan tindakan cerdas dan tidak cerdas para penggawa Garuda.

Ada yang tak cerdas, dengan sok menjadi pahlawan, merasa dirinya hebat tanpa bercermin dia siapa dan Timnas bagaimana. Malah di medsos, dan langsung menjadi makanan media massa, menyindir publik sepak bola nasional yang mendukung dengan mengkritik dengan sikap tak etik.

Sebaliknya, ada pemain lain dalam medsosnya yang mengucap syukur alhamdulillah dan terima kasih kepada staf pelatih, karena dirinya menjadi bagian Timnas yang lolos ke Piala Asia 2023 yang juga langsung menjadi konsumsi media massa.

Satu gerbong Timnas, tetapi dalam kehidupan nyata, yang satu nampak bodoh, dan yang satunya cerdas. Tentunya dalam hal ini rapornya menjadi ada yang lulus rapor intelegensi dan personaliti, dan tetap ada yang belum lulus.

Intelegensi (otak), personality (pribadi/mental)

Kecerdasan intelegensi dan personality wajib digunakan dalam kehidupan karir (apa pun bidangnya) pun dalam kehidupan sosial masyarakat.

Dari kejadian ini, terus mengingatkan diri saya sendiri agar tak berbuat dan bertindak yang membunuh karakter diri saya sendiri. Terus berupaya bangkit dari kebodohan Selalu berupaya terus belajar dan memahami tentang apa itu kecerdasan.

Dengan terus menancapkan pemahaman bodoh dan cerdas, maka setiap sebelum berbicara, menulis, melangkah dan bergerak untuk segala sesuatu, saya ingat lagi apa itu cerdas dan bodoh, sebab perbuatan bodoh, sering tak disadari karena tak cerdas, dan sangat mudah dibaca oleh orang lain.

Sementara, orang-orang cerdas menjadikan kelebihan yang ada pada dirinya justru banyak yang digunakan untuk membodohi orang lain dengan perbuatan liciknya. Tak ubahnya model perilaku penjajah zaman kolonialisme, yang membuat rakyat jajahan tetap dibikin bodoh dengan berbagai dalih.

Kini, di zaman merdeka, perilaku licik yang diperankan oleh orang-orang cerdas terus dilanjutkan demi keuntungan dan kepentingan dirinya, kelompok, golongan, partainya, dinastinya, hingga oligarkinya.

Seteli tiga uang, orang-orang yang masih bodoh juga tampil sok pintar, gaya-gayaan dalam sikap dan perbuatannya.

Jadi, orang yang cerdas banyak yang licik, sementara orang yang bodoh malah mengaku cerdas dan berbuat "keminter".

Cerdas, bodoh

Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna cerdas adalah sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya), tajam pikiran, sempurna pertumbuhan tubuhnya (sehat, kuat).

Sementara arti bodoh adalah tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan dan sebagainya), tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman).

Kecerdasan dan kebodohan adalah soal intelegensi (otak). Sikap dan perbuatan terkait personality (kepribadian, mental). Keduanya adalah paket bagi wujud sikap, perbuatan, dan tindakan manusia yang mendeskiripsikan seseorang cerdas, licik, bodoh, dll.

Sepanjang kehidupan saya, apakah saya sudah termasuk orang yang cerdas? Atau saya masih bodoh? Atau saya sudah cerdas tetapi dipakai untuk kelicikan? Atau saya orang yang bodoh tetapi sok tahu dan keminter?

Dari berbagai literasi dan pengalaman dalam dunia pendidikan saya selama ini, ada perbedaan mendasar antara orang cerdas dan orang bodoh.

Orang bodoh: Pertama, orang bodoh biasanya menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri. Kebiasaan menyalahkan orang lain adalah perilaku tidak profesional yang tidak akan pernah dilakukan orang cerdas. Orang yang secara konsisten menutupi kesalahannya dengan menyalahkan orang lain menunjukkan betapa tidak bertanggung jawabnya dia, sebab tidak cerdas otak dan kepribadian/mental.

Kedua, orang bodoh selalu merasa paling benar sepanjang waktu. Sebab, orang bodoh selalu merasa perlu untuk berargumentasi dengan orang lain untuk memastikan bahwa dirinya yang paling benar. Ada bias kognitif yang dialami orang bodoh membuatnya tidak mampu untuk melihat kemampuan sendiri sehingga selalu merasa dirinya superior.

Bias kognitif adalah kondisi yang terjadi ketika alam bawah sadar salah dalam berpikir, sehingga akan menimbulkan kesalahan dalam berpikir, memproses, dan menafsirkan informasi. Hal ini juga dapat mempengaruhi rasionalitas dan keakuratan dalam menentukan keputusan dan penilaian. Buntutnya, orang bodoh lebih terlihat pandai ngeyel saja.

Ketiga, orang bodoh akan bereaksi terhadap masalah atau konflik dengan kemarahan. Dasarnya, karena bias kognitif, bias afektif, plus bias motorik.

Keempat, orang bodoh mengabaikan kebutuhan dan perasaan orang lain. Selalu mementingkan dirinya sendiri. Cenderung tidak mampu untuk melihat kebutuhan dan perasaan orang lain karena egonya.

Kelima, orang bodoh merasa lebih baik dari siapa pun. Akan melakukan segala cara agar dirinya terlihat lebih baik dari orang lain. Mereka percaya bahwa dirinya jauh lebih baik dari semua orang.

Orang cerdas: Pertama, orang cerdas tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri dan bersikap obyektif dan profesional. Secara konsisten tidak akan pernah menutupi kesalahannya dengan menyalahkan orang lain. Menunjukkan betapa dia bertanggungjawabnya atas sikap, perbuatan,.dan tindakannya.

Kedua, orang cerdas mampu berempati pada orang lain dan mengerti argumentasi orang lain. Mampu mengintegrasikan pendapat orang lain dengan pikirannya tanpa meremehkan pandangan orang lain. Orang cerdas tak bias pedagogik (kognitif, afektif, psikomotor), dan tak pernah merasa superior dan sok jagoan atau sok pahlawan.

Ketiga, orang cerdas akan bereaksi terhadap konflik dengan kebijakan. Lalu menjadi solutor dan penyelesai masalah. Bukan menambah masalah dan konflik.

Keempat, orang cerdas tidak mengabaikan kebutuhan dan perasaan orang lain. Mampu berempati dengan keadaan orang lain. Tidak mementingkan dirinya sendiri. Mampu melihat kebutuhan dan perasaan orang lain kerena kecerdasannya.

Kelima, orang cerdas tidak akan merasa lebih baik dari siapa pun. Cenderung mampu memotivasi atau menolong orang lain. Sebab, orang cerdas percaya diri akan kemampuan sendiri tanpa takut dikalahkan orang lain. Tidak perlu melakukan segala cara agar dirinya terlihat lebih baik dari orang lain. Mereka percaya orang lain dapat melihat siapa dirinya cukup dari sikap, perbuatan, dan tindakan yang cerdas.

Dari ciri-ciri tersebut, ayo cek-ricek apakah diri saya masih bodoh? Atau sudah cerdas? Yang pasti, kecerdasan dan kebodohan bukan hal yang bisa diaku-aku. Cerdas atau bodoh diri saya, orang lain dapat membaca dari sikap, perbuatan, dan tindakan saya, baik di lingkungan keluarga, lingkungan kerja, hingga lingkungan sosial masyarakat.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler