x

Ilustrasi pejabat. Sumber foto: jamblink.com

Iklan

jihan ristiyanti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 April 2022

Jumat, 17 Juni 2022 19:42 WIB

Kebijakan yang Berubah-ubah, Sinyal Pemerintah Harus Berbenah

Suatu kebijakan pemerintah sudah sepatutnya diambil berdasarkan kajian yang matang dan pertimbangan khusus. Sehingga timbul rasa aman dan percaya dari masyarakat terhadap yang mewakilinya. Namun, akhir-akhir ini banyak kebijakan yang telah ditetapkan kemudian ditarik kembali. Maka, wajar jika timbul persepsi, yang mempertanyakan prosedur dalam pengambilan kebijakan. Sudah tepatkah? atau itu hanya tindakan impulsif semata.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belakangan ini, masyarakat sempat dihebohkan dengan pernyataan Menkomarves (Mentri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi), Luhut B. Pandjaitan yang mewacanakan akan adanya kenaikan tiket naik Borobudor. Hal tersebut disampaikan Luhut pada 4 Juni 2022. Tak tanggung-tanggung, semula harga tiket hanya 50.000 akan naik menjadi 750.000. Tarif tersebut untuk wisatawan lokal. Sementara, bagi wisatawan asing, dikenakan tarif sebesar 1,5 juta. Angka yang cukup fantastis, bahkan jika ditengok dari UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) tertinggi di Indonesia.

Usut punya usut, kebijakan itu diambil guna tindakan konservasi situs Borobudor.  Namun, meski berdalih untuk konservasi, kebijakan itu menuai kritik dari berbagai pihak, masyarakat, akademisi, hingga politikus. Selang 10 hari, yakni pada tanggal 14 Juni, Presiden Joko Widodo meredam kontroversi tersebut dengan memberi arahan agar harga tiket Borobudor tetap.

Keputusan tersebut dibarengi dengan pembatasan jumlah pengunjung harian, menjadi 1.200 orang/hari. Lalu, apakah persoalan telah selesai?  Untuk konflik yang terlanjur disulut oleh Menkomarves, bisa dibilang telah usai. Tapi yang menjadi soal, sebelum kebijakan itu dilayangkan ke publik, dan ramai, apakah tidak  ada kajian matang, terkait dampak dan respon masyarakat?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita harus ingat, ini bukan kali pertama Presiden membatalkan kebijakan yang dibuat oleh bawahan maupun oleh beliau sendiri. Bahkan, setelah peraturan tersebut telah disahkan. Garis bawahi, pembatalan dilakukan selepas adanya kegaduhan di masyarakat. Terdengar seolah mendengar aspirasi masyarakat, jika tidak ingin disebut plin-plan.

Mari kita tengok ke belakang, setidaknya pada periode ke dua Jokowi menjabat. Pada 2021 lalu, Jokowi sempat membuat gaduh masyarakat terkait dikeluarkannya Perpres no. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal terkait miras. Perpres tersebut menyatakan bahwa miras masuk katagori bisnis terbuka, tidak lagi tertutup. Sehingga membuka peluang investasi di ranah bisnis miras makin luas.

Hal itu, menuai kritik dari berbagai pihak termasuk oleh MUI (Majlis Ulama Indonesia). Dan berakhir dengan pencabutan Perpress (peraturan presiden), yang hanya berselang satu bulan sejak peraturan itu diundangkan. Lalu, terkait wacana vaksin berbayar yang akan di distribusikan melalui Kimia Farma, pun dibatalkan. Selepas menuai kritik dari berbagai pihak. Begitu juga dengan Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang JHT (jaminan hari tua) yang baru bisa cair setelah berusia 56 tahun.  Pun dibatalkan Jokowi hanya berselang singkat selepas dikeluarkannya aturan tersebut.

Contoh lain, yakni kebijakan tentang kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Bersubsidi) pada 2018, yang dibatalkan tiga hari selepas ditetapkan. Keplin-planan sikap pemerintah tidak hanya terjadi pada periode ini, pada 2015 Jokowi juga membatalkan penambahan tunjangan uang muka pembelian kendaraan pribadi oleh pejabat yang ia teken sendiri melalui Perpress No. 39 Tahun 2015. Alasan yang dikemukaan pun cukup menggelitik, kesalahan membubuhkan tanda tangan.

Tentu kita patut bersyukur, jika perubahan keputusan tersebut berdampak baik pada masyarakat. Namun, sekali lagi sikap pemerintah yang dengan entengnya menerbitkan peraturan dan mencabutnya kembali mengidentifikasikan rendahnya kajian terhadap kebijakan yang diambil. Sikap ketidak hati-hatian, jika tidak ingin disebut ceroboh, tentu tidak kita harapkan dimiliki oleh pejabat negara. Yang notabennya memiliki kewenangan mengatur negara.

Sebab, hal tersebut bisa memberi celah bagi pejabat yang tidak berakhlak terpuji untuk melakukan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Maka, wajar jika masyarakat mempertanyakan setiap kebijakan yang diambil, terlebih yang dibuat dengan terburu-buru.

Ikuti tulisan menarik jihan ristiyanti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler