x

Iklan

Darwin Z Saleh

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2009-2011
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 17 Juni 2022 18:44 WIB

Meneropong Sistem Tata Negara Terkini; Mega Putih yang Lambat?

Sistem tata negara saat ini bukanlah seperti yang diletakkan para founding father. Dalam Arsip Pringgodigdo —yang hampir 56 tahun ‘hilang’ — jelas tertulis sistem yang diamanatkan. Tertera juga pada notulen lengkap rapat-rapat BPUPKI dan PPKI yang diuraikan Dr. Soekiman maupun Prof. Soepomo, bahwa tata negara yang disepakati adalah sistem semi-presidensial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mega Putih yang Lambat?

Bung Karno di pantai Ende, Flores, sambil memejamkan mata berbisik bahwa Indonesia adalah mega putih lambat, selain biru terangnya langit serta udaranya yg hangat. Hanya rangkaian kata memang, tetapi itu bagian integral dari kisah perenungannya dalam menggali Pancasila. Mungkin saja bagi sebagian dari kita, ia sang Proklamator, satu dari sejumlah pemimpin di masa lalu negeri ini. Mereka pernah berjuang, untuk kita kemudian dapat bernegara hingga kini. Ok lah itu, tetapi zaman sudah beda. Konteks dan tantangannya lain lagi, kata generasi belakangan. Di rentang tahun 1999-2002 yg lalu itu lantas UUD 1945 pun diubah hingga empat kali.

Dua puluh tahun sudah berlalu. Akhir abad 20 itu, proses globalisasi mulai marak, pesatnya teknologi informasi membuat berita cepat menyebar di tengah masyarakat, bahkan antar bangsa. Kian banyak penguasa otoriter berjatuhan. Ada euforia, ada trauma di mana-mana. Indonesia tidak terkecuali. Setelah ramai-ramai menjatuhkan Pak Harto, di tengah rasa menang atau tidak mau lagi dikekang, UUD ‘45 diubah hingga jauh ke jantung. Sistem pemilihan presiden lewat MPR selama 32 tahun di masa itu, dipandang kurang sesuai dengan iklim demokrasi dan mereduksi makna kedaulatan berada di tangan rakyat, berpotensi melahirkan pemimpin otoriter yang bisa berkuasa berkali-kali (Azwar, R., 2017). Sistem pemilihan presiden lantas diubah menjadi langsung dalam amandemen ketiga UUD 1945.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan sistem baru itu, sudah empat kali kita memilih presiden. Meningkatkah kualitas proses, hasil ataupun rasa keterwakilan bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan? Siapa yang tahu jawabannya? Yang jelas, saat ini mulai terasa aroma koalisi dan nama-nama capres yang diusung. Transaksi, friksi, pembusukan dan fitnah mungkin akan kian marak. Peran ketua umum atau figur kunci partai —juga pemodal besar— yang paling menentukan. Figur terbaik atau masyhur karena bukti kepemimpinannya sekalipun, tidak otomatis jadi capres/cawapres bila akhirnya tidak diusung penyandang presidential threshold.

Mengapa bisa begitu? Ya, karena UUD 1945 yg orang kenal sejak SD sudah diubah, ditambah, bahkan diganti arah dan redaksionalnya di beberapa pasal dan ayat kunci tertentu. Kata gubernur- gubernur Lemhanas sekali waktu, jangan tabukan untuk mengubah UUD 1945; tinjau lagi tetapi jangan mundur ke belakang. Tentunya asalkan Mukadimah dan ideologi Pancasila di dalamnya tidak diutak-utik; orang sich cukup tahu itu. Tetapi, walaupun sebatas batang tubuh UUD 1945 saja yg diubah, namun tidak lagi sesuai, bahkan bertentangan dengan jiwa Sila keempat Pancasila dalam Mukadimah itu? Malah, sudah berbeda dengan pemikiran founding fathers yg merancang konstitusi kita itu. Itulah yang terjadi dan kian dipersoalkan dalam dua dasa warsa ini.

Dulu dan kini, dalam UUD 45 dan amandemennya, memang kedaulatan di tangan rakyat. Tidak berubah. Tetapi, penjelmaan dan pelaksanaan kedaulatan itu tidak lagi di MPR, lembaga tertinggi tempat para wakil, utusan dan berbagai golongan rakyat bermusyawarah, termasuk ketika memilih atau mengevaluasi kinerja presiden. Kini, kedaulatan rakyat itu disebutkan “ dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar”, artinya termasuk menurut berbagai aturan dan ketentuan turunannya, antara lain presidential threshold. Musyawarah —mungkin setaraf tawar-menawar— tentang siapa calon yg tepat itu tetap ada, tetapi antar ketua-ketua umum partai, termasuk patron atau pemodal untuk kampanye pilpres yg berbiaya tinggi nantinya. Rawan transaksi dagang sapi.

Padahal bukan sistem tata negara macam saat ini yang telah diletakkan founding fathers negeri ini. Dalam Arsip Pringgodigdo (AG-AK-P) —yang selama hampir 56 tahun ‘hilang’— jelas tertulis sistem yang diamanatkan. Menurut notulen lengkap rapat-rapat BPUPKI dan PPKI itu, yang diuraikan Dr. Soekiman maupun Prof. Soepomo dan disepakati rapat adalah sistem semi- presidensial. Prof. Padmo Wahyono di tahun 1980- an menyebutnya sebagai Sistem Mandataris, sistem khas kita yg secara sadar telah dipilih para bapak bangsa guna memadukan dan mengatasi kelemahan sistem parlementer maupun presidensial, dan juga digali dari latar belakang historis, filosofis dan sosiologis bangsa Indonesia (Effendi, S., 2017). Gagasan kedaulatan rakyat itu sudah melalui sejarah panjang dalam diskusi dan perdebatan sebelum rapat-rapat pembentukan UUD 1945 itu —M. Hatta, Daoelat Ra’jat, 1931; Soekarno, Fikiran Ra’jat, 1932 (Asshiddiqie, J., 1994). Mengubahnya dapat berarti mengganti pondasi negeri kita ini. Agaknya, amandemen- amandemen UUD 1945 di akhir abad 20 itu dibuat dalam suasana emosional (Ma’arif, Syafii, 2014), sehingga malah memperkuat sistem presidensial yg sejak dahulu dihindari.

Kalau begitu, mengapa tidak bicara? Bertebaran suara para filsuf, ahli tata negara sudah mengingatkan secara lisan dan tertulis. Tetapi, adakah di negeri kita ini pihak yang siap lahir bathin menjaga konstitusi dan ideologi negara? Ada, bahkan itu sudah terpatri di butir-butir teratas pedoman hidup dan sumpah mereka selaku bhayangkari negeri ini. Hampir setiap jelang pilpres suara mereka terdengar, setidaknya di forum persatuan pensiunannya (misalnya: PPAD). Bagaimana menyalurkannya, lewat parpol?

Menurut sebuah riset dari UI, memang kebanyakan purnawirawan yg terjun ke politik membawa idealisme ingin memagari, menjaga, supaya kehidupan berbangsa tetap berada dalam bingkai Pancasila. Namun, dari riset itu diketahui, kebanyakan mereka mengakui tidak mudah mewarnai kehidupan politik dengan idealisme yang mereka bawa di parpol-parpol itu (Soesilo, A.S., 2014). Meski begitu, gelora para prajurit pensiunan tidak padam dalam menjaga ideologi dan konstitusi negara, di tengah sikap tulus TNI secara total untuk mereformasi dan mendudukkan diri di bawah supremasi sipil. Tetapi, reformasi TNI itu tidak berlangsung di ruang hampa, hakikatnya merupakan fungsi dari transformasi struktural mendasar yang terjadi dalam masyarakat secara keseluruhan (Basuki, A., 2014)

 

Melihat asal-usul dan konteks lingkungan eksternalnya, akankah TNI berdiam diri terkait kisruh amandemen UUD 1945 selama ini? Panglima Sudirman tidak pernah menghindari persoalan politik negara; tidak jarang jadi penengah antara pemerintah dan oposisi (Nasution, 1968). Jadi, sejak lahir TNI harus terlibat dalam politik, bukanlah seperti konsep tentara dalam demokrasi liberal yang tidak melibatkan tentara dalam politik (Try Sutrisno, 2016). Agaknya, profesionalisme TNI pasca reformasi tidak akan pernah membuatnya profesional dalam arti steril dari lingkungan politiknya (teori Huntington), ataupun terus memainkan peran yg komprehensif dalam masyarakat dan pembangunan (teori Stepan), seperti di masa lalu Indonesia. Mungkin lebih tepatnya akan bersifat profesional patriotik, jadi di antara kedua teori itu (Syamsul Maarif, 2014). Dapat dimengerti, bila TNI AD (PPAD) diminta mengingatkan kepada bangsa ini dan ikut mengawal jalannya negara dengan membuat kajian kondisi bangsa dan tata negara pasca amandemen UUD 1945 (Try Sutrisno, 2022). Gayung tidak juga bersambut?

 

Apa yg dimaksud oleh Bung Karno dengan mega putih yang lambat dalam perenungannya menggali Pancasila di Ende? Kelambatan kita dalam mensikapi fenomena strategis, yg mengancam eksistensi bangsa sekalipun? Seperti mega putih yg bergerak lambat dan tidak jelas formasinya?

Ikuti tulisan menarik Darwin Z Saleh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler