x

Kaya hati

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 18 Juni 2022 07:31 WIB

Prioritas dan Pilihan, Tergantung Hati dan Pikiran

Dalam kehidupan nyata rakyat jelata, persoalan prioritas dan pilihan, adalah masalah hati dan pikiran, kepribadian, mental, dan kecerdasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tetaplah ikhlas menjadikan "mereka" PRIORITAS, meski "mereka" hanya menjadikan kita PILIHAN karena kendala hati dan pikiran. (Supartono JW.17062022)

Dalam dunia politik, pemerintahan, berbangsa dan bernegara, bicara prioritas dan pilihan seringkali hanya menjadi kendaraan, bagian dari intrik dan taktik karena menjadi skenario demi mendukung kepentingan dan kepentingan, keuntungan dan keuntungan.

Namun, dalam kehidupan nyata rakyat jelata, persoalan prioritas dan pilihan, adalah masalah hati dan pikiran, kepribadian, mental, dan kecerdasan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah kita pernah menjadikan orang lain adalah PRIORITAS dalam kehidupan kita pada hal tertentu. Tapi, saat mereka kita jadikan prioritas, kita hanya mendapat balasan hanya menjadi PILIHAN oleh orang lain dalam hal tertentu tersebut.

Secara manusiawi, tidak dijadikan prioritas oleh orang yang justru kita prioritaskan memang tidak enak. Tetapi bagaimanapun, kita tetap tidak bisa memaksa orang lain untuk menjadikan kita prioritas mereka.

Itu adalah hak mereka, mau menganggap kita apa hanya sebagai pilihan atau apa pun. Dan, bila kita dianugerahi intelegensi (otak, pikiran) dan personality (hati, kepribadian, mental) yang cerdas, maka kita akan berbesar hati, sebab menjadi tahu siapa mereka yang kita prioritaskan, namun membalasnya dengan hanya menjadikan kita pilihan.

Sadari bahwa sampai detik ini, masih ada orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Sampai detik ini, masih ada orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu. Bersyukur bahwa sudah ada orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Bersyukur bahwa sudah ada orang yang tahu bahwa dirinya tahu.

Bagi siapa saja yang pernah mengalami hal ini, tetapi tetap berbesar hati karena cerdas otak dan mental, sudah menjadi orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu, apalagi sudah menjadi orang yang tahu bahwa dirinya tahu, maka tahu bagaimana kita harus bersikap?

Menyikapinya

Dari berbagai literasi dan pengalaman kehidupan dan dunia pendidikan yang saya tekuni, bila kita tidak menjadi prioritas oleh orang yang kita prioritaskan, sikap bijak kita di antaranya:

PERTAMA, karena mereka kita prioritaskan, tetapi membalas dan hanya menjadikan kita pilihan, maka kita harus tegas dan jujur, lalu bersikap. Apakah persaudaraan, pertemanan, kekeluargaan, hubungan (hati, pekerjaan, dll) akan dilanjutkan, menjadi hubungan biasa saja, atau diakhiri.

KEDUA, tetap percaya diri bahwa kalau kita tetap memiliki harga (berharga) dengan apa yang kita lakukan dan perbuat karena demi orang lain hingga demi kemaslahatan. Saat ada yang menjadikan kita pilihan, maka di saat yang sama, tentu dengan melihat fakta kebaikan, akan datang orang lain yang menjadikan kita prioritas.

Agar tidak mengurangi nilai diri, tetap ada harga, kita juga tetap melakukan refleksi dan instrospeksi, karena ada yang menjadikan kita hanya pilihan. Sebab, biasanya yang menjadikan kita pilihan, walau sudah kita prioritaskan adalah orang-orang yang patut kita kasihani karena tak cerdas intelegensi dan personality tak tahu diri dan tak tahu membalas budi.

KETIGA, bila kita tahu siapa orang yang sudah kita prioritaskan namun mereka menjadikan kita hanya pilihan, maka jangan dimasukkan ke hati. Sebab, mereka bisa jadi memang belum pernah belajar dan belum punya pengalaman dalam kehidupan yang saling membutuhkan dan dibutuhkan, saling mengisi dan melengkapi.

Orang-orang golongan ini mungkin masuk kategori "Orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu." Jadi, perlu pendidikan, bimbingan, dan pembinaan lagi.

KEEMPAT, memahami dan mengambil sikap tegas atas orang-orang yang menjadikan kita pilihan. Kemudian tetap fokus dan konsisten dalam langkah kita, terus kembangkan kreativitas dan inovasi demi kebaikan dan kemaslahatan langkah kita.

KELIMA, terus perluas jaringan. Pertemanan, kekeluargaan, persaudaraan, kolega, dan lain-lain yang saling memprioritaskan.

Akibat dari kondisi ini, maka masyarakat bangsa kita, masih terus bergulat sekadar menjadi bangsa pemakai produk asing, karya orang lain. Menjadi bangsa penjiplak karena lemah imajinasi, kreativitas, dan jauh dari budaya inovatif. Maunya dikasih tapi tidak mau timbal balik. Maunya untung dengan modal dan kompetensi rendah.

Rendah budaya peduli, simpati, empati, tahu diri, dan tahu membalas budi. Tetapi dekat dengan tinggi hati, mementingkan diri sendiri. Tidak tahu etika, tidak tahu malu, tidak tahu diuntung, tidak tahu berterima kasih, dll.

Malah, karena kendala hati dan pikirannya yang lemah dan tak cerdas, sampai ada yang menelikung dan menusuk dari depan, samping, belakang, dan dari dalam, demi kepentingan dan keuntungan pribadi, kelompok, dan golongannya.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB