"Ya, lebih baik Golput saja! Lho, kenapa? Memang tak boleh? Atau, suatu sikap nista pidana bila seorang warga, lebih berkecenderungan memilih Golput daripada berpartisan manakala berhadapan dengan pilihan politik ..?"
Pembaca yang budiman, saudara sebangsa dan setanah air ...
Saat ini, kita sedang memasuki masa jelang pemilu yang rencananya digelar pada 2024, tepatnya pada 14 Februari 2024 yang terdiri dari Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden secara langsung, dan itupun bila tak ada aral. Sedangkan launching tahapannya telah dicanangkan pada 14 Juni 2022, dengan rencana anggaran biaya sebesar 76,6 Trilyun Rupiah.
Catatan sejarah pemilu di negeri ini menunjukkan bahwa rencana Pemilu 2024 ini merupakan Pemilu yang kali ke-13 dengan perjalanannya dalam dinamika dan segala varian pola pelaksanaannya masing-masing sejak Pemilu pertama pada 1955 digelar. Rentang waktu yang demikian panjang, yakni 64 tahun (1955 - 2019) beriringkan segala romantika, suka-duka , dan lebih banyak dukanya daripada sukanya bagi rakyat kebanyakan yang ketiban eksesnya dalam pencapaian hasil akhir dari sebuah Pemilu. Apa yang telah dicapainya?
Tercapai tidak ya dari hasil pemilu itu ke dalam muara akhir, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat?
Data statistiknya, bisakah ditunjukkan bila hal itu dinyatakan tercapai? Rentang waktu 64 tahun hanya berkutat pada pergantian dan pergantian, mulai dari personal dan pengkongsian, pemerintahan, praktik tata kelolanya, kebijakan yang bijak sana-bijak sini, penganggaran dan kinerja dari yang terpilih, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, hanya begitu-begitu saja. Hanya ganti cashing, isi esensinya gak jauh beda atau dengan kata lain: setali tiga uang.
Indikator yang paling menyolok dan sederhana, adalah trend utang negara dari pemerintahan satu ke pemerintahan selanjutnya, tak malah berkurang atau pada titik Nol, sebaliknya malah jadi meroket dari apa yang dihasilkan oleh Pemilu. Kemiskinan tak lagi sirna, sekalipun SDA nya sangat melimpah ruah tiada tara sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Segala . Gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, zamrud katulistiwa, ratna mutu manikam, dan sebangsanya. Hanya ada dalam slogan dan nyanyian pelipur lara belaka. Fakta realitanya, masih berstempelkan dan didaulat sebagai negara besar berkategori, miskin! Aneh bin ajaib, namun nyata dalam realita.
Sebagai warga negara dalam konteks bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, maka sudah selayaknya kami mengajukan pertanyaaan, sebagai berikut:
- Penyelenggaraan Pemilu yang akan memasuki edisi ke-13 ini, apakah sudah selaras dengan muatan yang terkandung di dalam nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, sebagai de philosofische grondslag dari NKRI?
- Jikalau memang sungguh benar selaras, maka terkandung dalam muatan nilai-nilai Pancasila pada sila ke berapa ?
- Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawratan/perwakilan, dalam tataran praktis itu seperti apa dan bagaimana di realita sosial kehidupan berbangsa dan bernegara, terkait dengan mengangkat pemimpin dan atau representasi dari wakil rakyat, sejak Indonesia merdeka?
Tiga hal itu saja
Sepanjang tak ada relevansinya antara praktik penyelenggaraan Pemilu dengan implementasi menegakkan Pancasila di negeri ini, maka, apakah hal itu tidak berarti bahwa kita telah mengkhianati komitmen dasar, perjanjian luhur bangsa, yakni dengan apa nation building, nation state NKRI ini dibangun, dijaga dan dipelihara? Mari dijawab secara jujur ilmiah, keluar dari kubangan retorika!
Oleh karenanya, mencermati perjalanan Pemilu dari periode satu ke periode berikutnya hingga saat ini, yang hasilnya tak pernah bermuara pada perwujudan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai tujuan akhir dari cita-cita bangsa dan negara yang telah dikomitmenkan dalam konsepsi dasar ideologi bangsa, yakni Pancasila , maka buat apa kita selenggarakan Pemilu dengan anggaran yang tidak sedikit dan tidak berbuah apa-apa? Hanya mempraktikkan drama reputasi ambisi politik kekuasaan, konflik kepentingan partai yang tak berkesudahan, sementara, Kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Persatuan Indonesia, telah dikesampingkan dan diabaikan.
Mari kembali ke khittah yang bermakna sebagai konsepsi pemikiran perjuangan yang merupakan tuntunan, pedoman, dan arah perjuangan bangsa dalam tatanan kehidupan seimbang berbangsa dan bernegara berdasarkan komitmen dasar: Pancasila. Tegakkan Pancasila dengan benar, dalam wujud tindak nyata, bukan pada batas retorika belaka, yang ujung-ujungnya adalah kepalsuan berselimutkan formalitas seremonial belaka.
Golput (Golongan Putih), adalah sebuah sikap. Sikap untuk tidak berkepihakan dan tidak berpartisan kepada politik kepartaian yang berujung pada politik kekuasaan. Hakikat kekuasaan atau kedaulatan, sesungguhnya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana terkandung di dalam sila pertama Pancasila . Karena sesungguhnya, posisi manusia sebagai ciptaan Tuhan, dalam kapasitas kehidupannya adalah sebagai hamba Tuhan untuk menjaga dan memelihara keseimbangan semesta alam beserta segala yang terkandung di dalamnya menurut prinsip-prinsip keseimbangan yang universal. Sehingga, tidak dibenarkan adanya sikap menguasai antar sesama manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Segala.
Kesetaraan sebagai sesama hamba itulah yang seharusnya dan yang semestinya. Demikianlah, kenapa ditempatkannya Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama dalam rumusan Pancasila , dan bukanlah serta merta. Namun, sebagai indikator bahwa masyarakat bangsa Indonesia, adalah masyarakat yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, serta menjadi penyanjung hidup sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, berkesetaraan di antara sesama hamba Tuhan, salih kasih sayang dan saling memakmurkan, dalam prinsip-prinsip keseimbangan yang universal. Wajib mengesampingkan soal Suku, Agama, Ras dan Antar golongan, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab dalam memperkokoh Persatuan Indonesia yang nyata, bukan semu fatamorgana di blantika upacara seremonial belaka.
Golput pun adalah sikap logis-rasional sebagai pilihan untuk tidak memilih di kala dihadapkan pada pilihan yang disodorkan, dimana setelah dikaji dan dicermati secara seksama, ternyata pilihan yang dihadapi adalah tidak sejalan dengan ruh PANCASILA. Yang berarti pula bahwa lahirnya sikap Golput, bukanlah sesuatu yang serta merta begitu saja. Namun, melewati jalannya proses, dengan filosofi bahwa hasil tidaklah akan mengkhianati proses. Ketika titik tolak sebuah proses adalah benar, maka jalannya proses pun akan menjadi benar, yang bermuara kepada hasil yang benar pula. Tidak demikian halnya terhadap dasar titik tolak diselenggarakannya Pemilu di negeri ini. Apakah sudah selaras dengan ruhnya PANCASILA sebagai Dasar Negara yang merupakan komitmen perjanjian luhur bangsa Indonesia ..? Selaraskah ..?
Golput adalah sikap dan simbol kesucian yang berupaya menghindarkan diri dari kontaminasi sebuah ketimpangan tatanan, agar konsisten terhadap kemurnian, ketulusan, keadilan, objektif, nol pamrih yang mengacu kepada nilai-nilai kebajikan universal dalam prinsip keseimbangan, yang kesemuanya itu telah terkandung di dalam ruhnya PANCASILA yang juga bernilai universal dalam prinsip keseimbangan, selaras dengan hukum dan aturan Tuhan Yang Maha Esa Maha Segala, yang nyata benar mengarah kepada Nilai-Nilai Kebajikan Universal dalam Prinsip Keseimbangan.
Sekian dan Terima Kasih. Salam Satu Bangsa Indonesia_Nusantara, Salam Pancasila.
Kota Malang, Juni hari kesembilan belas, Dua ribu dua puluh dua,
"Golput adalah sebuah sikap demi menghindarkan diri dari tatanan yang timpang, dalam rangka menuju tatanan seimbang berbalutkan nilai-nilai kebajikan universal, yang selaras dengan PANCASILA sebagai Dasar berbangsa dan bernegara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ...”
Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.