x

Nadiem

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 23 Juni 2022 19:57 WIB

Hak Prerogatif Megawati Pernah Diusulkan Dihapus

Sudah 17 tahun berlalu, mengapa usul Madjid tak berlaku? Dan, dengan hak prerogratif abadi yang juga menjadi Ketum Partai abadi yang disandang Megawati, maka Megawati boleh menjadikan Presiden Jokowi anak buahnya. Sementara Puan bertugas menyebarkan informasi kedudukan bos dan anak buah itu ke rakyat NKRI yang seolah menjadi bagian partainya Megawati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat Presiden RI dijadikan anak buah oleh pemimpin partai politik yang adegannya terdeskripsi dalam video yang sudah tersebar dan ditonton oleh rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ada pertanyaan: Apakah NKRI menjadi bagian kekuasaan partai pemenang Pemilu? Atau partai pemenang Pemilu bagian dari NKRI?

Mengapa Ketua Umum Partai sampai memiliki hak prerogatif seperti Presiden? Siapa yang mencetuskan ide itu? Hak prerogatif adalah hak khusus atau hak istimewa yang ada pada seseorang karena kedudukannya sebagai kepala negara, misalnya memberi tanda jasa, gelar, grasi, amnesti.

Menyedihkan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat ada pihak yang mengirimkan video ke saya via medsos tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) duduk di hadapan Megawati, sementara Puan Maharani malah asyik membuat selfie di momen tersebut, sebagai rakyat jelata, saya sedih.

Saya pun langsung menjelajah ke dunia maya dan nyata, mencari informasi dan apa tanggapan masyarakat atas peristiwa ini. Hasilnya, dalam beberapa hari ini, berbagai pihak mulai dari netizen, warganet, elite partai, media massa, hingga pihak yang dikenal sebagai buzzer pun, bersuara atas tindakan tak etis Megawati kepada Presiden dan tindakan Puan yang malah bangga menyebarkan aib presiden di media sosial.

Maaf, bila ada pihak yang menganggap peristiwa itu bukan aib dan pelecehan terhadap Presiden RI, saya tetap menghargai sebagai sebuah perbedaan cara pandang dan penafsiran.

Namun, apa pun alasannya, gambar yang tersaji dalam peristiwa tersebut, tetap dapat ditafsir sebagai hal tidak etis. Faktanya, dapat dilihat dan dibaca apa tanggapan rakyat Indonesia terhadap peristiwa tersebut.

Bila momen tersebut bukan untuk konsumsi publik pun, posisi duduk yang menggambarkan antara bos dan bawahan, tidak seharusnya terjadi, karena bagaimana pun kedudukan Jokowi adalah Presiden RI. Ini peristiwanya malah sengaja dipertontonkan ke publik oleh Puan.

Kendati Presiden Jokowi adalah kader partai, tetapi Bapak Jokowi kini menjadi orang nomor satu di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Presiden dari seluruh rakyat Indonesia, wajib dihargai, dihormati, dan sewajibnya dijaga martabatnya oleh partainya sendiri.

Tetapi faktanya, ada dua perempuan, dalam momen tersebut, yang satu berposisi sebagai Bos atau Ratu, memperlakukan Presiden sebagai anak buah. Sementara anaknya yang digadang-gadang mau diusung menjadi Presiden di Pemilu 2024, malah asyik selfi. Yang satu kedudukannya Ketua Umum partai dan mantan Presiden RI, yang satu Ketua DPR RI. Apa kira-kira yang ada dalam pemikiran Megawati dan putrinya, ya?

Malah, momentum tersebut, juga disiarkan oleh Puan Maharani dalam media sosialnya lengkap dengan komentarnya.

Apa yang terjadi dalam momen tersebut, sebagai rakyat jelata, saya sedih atas sikap Megawati dan Puan. Apakah karena kedudukannya sebagai Ketua Umum Partai, dan kadernya duduk jadi presiden, lalu tetap harus memperlakukan presiden sebagai anak buahnya?

Sebagai rakyat dan warga negara yang benar, Megawati harus sadar diri. Jokowi kini adalah Presiden RI, Megawati dan Puan Maharani adalah rakyat yang sama seperti rakyat Indonesia lainnya. Harus tahu adab, sopan-santun, etika, tata krama, dan tidak melecehkan Presiden.

Tidak punya juru nasihat?

Sepertinya, Megawati sebagai Ketua Umum Partai dan Puan Maharani sebagai putrinya yang juga Ketua DPR RI, tidak memiliki pendamping yang bertugas menjadi juru penasihat baik dalam etika kepartaian mau pun untuk etika kehidupan nyata. Sehingga, sampai momen yang memperlakukan Presiden Jokowi sebagai bawahan, tak ada yang berani menegur atau menasihati.

Sebelum momen menjadikan Jokowi sebagai bawahan, yang sepertinya juga disengaja untuk disebar luaskan oleh Puan Maharani agar rakyat tahu bahwa Megawati adalah penguasa tertinggi partai pemenang pemilu dan Jokowi adalah anak buahnya, Megawati dan Puan juga sudah berkali-kali melakukan sikap, baik dalam perbuatan/ucapan yang tidak nyaman diterima oleh rakyat Indonesia, baik dalam kesempatan resmi mau pun tak resmi dan menjadi polemik serta memperkeruh suasana di Republik ini.

Apakah drama politik saja?

Meski berbagai pihak banyak yang berpikir bahwa momen Jokowi dijadikan bawahan menjadi bagian dari drama dan skenario politik, bila Presiden RI diperlakukan tidak selayaknya oleh rakyat jelata, mengapa tidak ada sikap dari pemerintah dan parlemen atas kejadian tersebut?

Sikap dan perlakukan Megawati kepada Presiden RI, tidak bisa dibenarkan. Sikap Megawati yang seolah jadi Ratu di negeri ini, juga wajib ada yang menegur dan mengingatkan. Terlebih, dalam kaitannya dengan narasi Calon Presiden untuk 2024, Megawati dan Puan selalu bicara hak prerogatif.

Atas kondisi ini, rasanya NKRI ini ada di dalam partai Megawati yang jadi Ratunya. Bukan partai Megawati yang ada di dalam NKRI.

Hak, prerogatif sepertinya menjadikan Megawati plus Puan, lupa diri, lupa memijak bumi, hingga ujungnya momentum menjadikan Presiden RI adalah bawahan Ketua Umum Partai, adalah adegan yang disengaja agar rakyat tahu, penguasa di NKRI adalah Megawati karena anak buahnya jadi Presiden.

Hapus hak prerogatif

Sikap dan tindakan Megawati mau pun Puan, yang seolah menjadi penguasa tertinggi di NKRI dengan menjadikan Presiden adalah bawahannya, adalah akibat dari hak prerogratif yang diberikan partai, sehingga hak prerogatif itu terus menjadi senjata dalam setiap langkah dan kesempatan Megawati, terutama dengan terus memberikan ancaman demi ancaman kepada para kadernya yang tidak mengikuti titahnya.

Terkait hak prerogatif ini, ternyata saya kutip dari Liputan6.com 12/3/2005) ada sejumlah sesepuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menyatakan keberatan dengan beberapa kebijakan di PDIP. Salah satunya tentang hak prerogatif yang dimiliki ketua umum Dewan Pimpinan Pusat PDIP.

Keberatan ini ternyata sudah disuarakan sejak tahun 2005. Artinya sudah 17 tahun keberatan tentang adanya hak prerogatif Ketum Partai ini diungkapkan. Keberatan ini pun disampaikan usai Megawati tidak lagi menjadi Presiden RI. Megawati adalah Presiden Indonesia yang kelima, menjabat sejak 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004.

Menurut Abdul Madjid, salah satu sesepuh PDIP, hak prerogatif ketua umum PDIP harus dihapus. Dalam sebuah acara, Sabtu (12/3/2005), Madjid beralasan, hak prerogratif bisa menghambat demokratisasi di tubuh partai banteng bermoncong putih. Saat itu, Madjid juga meminta hasil kerja Megawati sebagai Ketua Umum PDIP dievaluasi dalam Kongres PDIP di Bali akhir Maret 2005.

Sudah 17 tahun berlalu, mengapa usul Madjid tak berlaku? Dan, dengan hak prerogatif abadi yang juga menjadi Ketum Partai abadi yang disandang Megawati, maka Megawati boleh menjadikan Presiden Jokowi anak buahnya. Sementara Puan bertugas menyebarkan informasi kedudukan bos dan anak buah itu ke rakyat NKRI yang seolah menjadi bagian partainya Megawati.

Akibat hak prerogatif, sepertinya membuat Megawati jadi tidak memijak bumi. Selalu mengawang dan terbang dan bisa berbuat dan bertindak sesuka hatinya.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler