Oleh Adrianus Safarin
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan salah satu partai tertua di Indonesia. Sejarah pembentukannya tidak terlepas dari kehadiran Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan oleh mendiang Soekarno. PNI bergabung dengan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.
Partai gabungan tersebut kemudian dinamakan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Konflik internal yang tak terselesaikan dan konflik dengan pemerintahan Soeharto, mengokohkan posisi Megawati sebagai pilihan paling tepat karena dianggap mewarisi karisma Soekarno, mendiang ayahnya untuk memimpin PDI, yang kemudian menjadi PDI-P. Nasionalisme, demokrasi, dan pluralitas idea, juga menjadi elemen subtansial yang turut berdialektika dalam pembentukan karakter PDIP.
Melihat sejarah pembentukan PDIP, suksesi kepemimpinan partai idealnya adalah suksesi tiga komponen penting tadi yakni nasionalisme, demokrasi, dan pluralitas idea. Namun yang sering terjadi adalah suksesi struktural administrasi, suksesi keluarga dan bisnis. Suksesi yang terakhir inilah yang membuka lahan subur bagi politik dinasti.
Politik dinasti (dynasty politics) secara sederhana dapat diartikan sebagai praktik kekuasaan dimana anggota keluarga (sanak family) diberi dan/atau mendapat posisi dalam struktur kekuasaan, jadi kekuasaan hanya terbagi kepada dan terdistribusi dikalangan kerabat, keluarga sedarah. Politik seperti ini sudah tidak asing lagi dan sudah menjadi tradisi di Indonesia, mulai dari Seokarno, SBY, dan Surya Paloh juga mulai mengambil ancang-ancang suksesi leadership ke anaknya meski masih menunggu moment yang tepat.
Beberapa hari lalu, PDIP melakukan Rapat kerja Nasional II (Rakernas II). Publik menunggu penuh penasaran, siapa yang akan dipilih PDIP maju untuk Pilpres 2024. Rasa penasaran itu terpendam cukup lama mengingat serunya persaingan wacana politik antara Puan atau Ganjar. Dalam beberapa survei terakhir di lapangan, persentasi pemilih Ganjar berada jauh di atas Puan. Namun alibi politik sebagian besar pendukung PDIP adalah mereka tidak butuh tokoh popular seperti Ganjar, popularitas bukanlah syarat mendapatkan dukungan partai, tetapi integritas dan kinerja.
Pertanyaanya adalah, lalu sejauh mana integritas dan kinerja Puan? Atau justru alasan integritas dan kinerja hanyala alibi politik demi suksesi kempimpinan yang syarat dinasti. Sederhananya adalah loyalitas para pendukung PDIP terhadap Megawati kini merembes ke suksesi loyalitas ke Puan. Puan adalah anak kandung Megawati, terlepas dari kemampuanya untuk dapat mentrasfer, mengakaderisasi dan melanjutkan ide-ide nasionalime, demokrasi, dan pluralitas idea.
Bagaimanapun juga, dalam konteks ini, integritas PDIP sebagai ujung tombak demokrasi di Indonesia betul-betul diuji. Apakah akan memutuskan atau memilih sebuah kader/capres berdasarkan pertimbangan rasional demokrasi, aspirasi masyarakat dan rekomendasi seluruh anggota, atau berdasarkan pertimbangan suksesi kekuasan, hubungan keluarga dan kekerabatan. Keputusan Megawati tentunya akan menentukan arah dan kualitas PDIP sekaligus menguji kembali nalar demokrasi para elite politik dan masyarakat Indonesia. Mari kita nantikan!
Ikuti tulisan menarik Andree Sunsafarin lainnya di sini.