x

cover buku Rekonsiliasi Islam, Demokrasi dan Barat

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 26 Juni 2022 12:09 WIB

Rekonsiliasi Islam, Demokrasi dan Barat Ala Benazir Bhutto

Apakah Islam, demokrasi dan barat bisa seiring jalan membangun peradaban manusia ke depan? Benazir Bhutto memberi jawab melalui buku ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Rekonsiliasi Islam, Demokrasi & Barat

Penulis: Benazir Bhutto

Penterjemah: Annisa Rahmalia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2008

Penerbit: Bhuana Ilmu Populer

Tebal: viii + 355

ISBN: 979-798-803-6

Di saat banyak orang meragukan Islam, demokrasi dan barat bisa beriring jalan, Benasir Bhutto menyuarakan pendapatnya. Argumen-argumen yang dibangun oleh Benasir Buttho sangat menarik untuk didiskusikan. Apalagi ia memakai banyak contoh negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Islam di buku ini.

Buku karya Benasir Buttho ini terbit setelah dia mati tertembak. Meski demikian, sebenarnya buku ini sudah selesai dia susun. Benasir menulis buku ini saat ia menjadi tahanan rumah ketika ia kembali ke Pakistan pada tahun 2007. Itulah sebabnya buku ini diawali dengan satu bab yang menggambarkan kepulangannya ke Pakistan yang menyebabkan kerusuhan dan membawanya ke dalam tahanan rumah. Kepulangannya ke Pakistan telah membuat ia terbunuh.

Benazir Bhutto sangat yakin bahwa Islam, demokrasi dan Barat bisa berseiringjalan dalam membangun peradaban manusia. Melalui buku ini Benazir mengungkapkan pandangannya tentang konflik yang terjadi antara Islam, demokrasi dan Barat.

Benazir mengulas bahwa perdamaian, persahabatan dan demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan Islam mempromosikan hidup yang saling berbagi dan dijalankan secara demokratis. Benazir mengutip beberapa ayat yang ada di Quran tentang Islam yang damai dan bisa bersanding dengan komunitas dunia lainnya.

Lantas mengapa antara Islam, demokrasi dan Barat seakan takseiringjalan? Benazir mengungkapkan bahwa dua masalah utama adalah fundamentalisme dalam agama dan kediktatoran (hal 18). Tumbuhnya fundamentalisme dan kediktatoran sering didukung oleh kepentingan ekonomi dan politik Barat. Kasus-kasus campur tangan Barat dalam perkembangan demokrasi tidak hanya terjadi di negara-negara Islam atau negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Campur tangan Barat juga terjadi di Amerika Latin, seperti Argentina, Nicaragua dan negara Maerika Latin lainnya (hal. 156).

Di Bab II, Benazir membahas mendalam tentang dua isu tersebut dan kelindannya dengan kepentingan Barat. Ia memberikan berbagai contoh kasus dimana negara-negara Islam dan negara-negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam berupaya untuk membangun demokrasi. Namun seringkali proses tersebut terdistraksi karena campur tangan Barat. Beberapa contoh yang diulas oleh Benazir diantaranya Iran (hal. 100), Aljazair (hal. 110), Libya (hal. 111), Tunisia (hal. 112), Maroko (hal. 112), Mesir (hal. 113), Afghanistan (hal121), Lebanon (hal. 131), Yordania ( hal. 136). Benazir secara khusus juga menganalisis kasus Indonesia yang dianggapnya berhasil dalam mengembangkan demokrasi (hal.147).

Secara khusus Benzir menganalisis Pakistan yang belum bisa menjadi negara demokrasi. Menurutnya, Pakistan mempunyai rintangan-rintangan untuk menjadi negara demokrasi sejak awal. Kematian Bapak Pendiri Pakistan Muhammad Ali Jinnah adalah salah satu penyebab awal. Berbeda dengan India yang dipimpin oleh Jawaharlal Nehru dalam proses demokratisasinya, Pakistan harus ditinggalkan oleh Sang Pendiri sejak awal. Kematian Ali Jinnah menyebabkan Pakistan kehilangan orientasi membangun demokrasi. Masalah kedua yang menjadi penyebab Pakistan belum bisa menjadi negara demokrasi adalah adanya pertikaian internal antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur yang kemudian menjadi negara terpisah – Bangladesh. Pertikaian ini menyerap banyak energi dan mengundang rejim militer yang diktator menguasai negara.

Setelah menganalisis secara mendalam baik secara ideologi maupun pengalaman praktis, Benazir memberikan solusi supaya Islam, demokrasi dan Barat bisa seiringjalan. Alih-alih mempercayai prediksi Huntington bahwa akan terjadi benturan peradaban (clash of civilization), Benazir menawarkan konsep rekonsiliasi.

Benazir menawarkan rekonsiliasi di internal Islam sendiri. Semestinyalah aliran-aliran dalam Islam bisa saling menghargai tanpa saling memerangi. Rekonsiliasi internal ini akan membuat Islam menjadi kekuatan yang besar untuk membangun peradaban manusia ke depan (hal. 304). Benazir juga menyoroti pentingnya Islam memperhatikan kepemimpinan perempuan. Satu lagi yang dibahasnya adalah pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan. Benazir berpendapat bahwa Islam tidak bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Sikap anti ilmu pengetahuan harus dikikis supaya Islam bisa berkontribusi dalam perkembangan umat manusia ke depan. Ia menyetujui pendapat Nurcholis Majid yang menyarankan untuk pembaruan teologi Islam yang lebih berorientasi kepada masa depan (hal. 306).

Selanjutnya Benazir mengemukankan bahwa demokrasi adalah satu-satunya cara bagi umat manusia, khususnya umat Islam untuk membangun masa depan. Sebab demokrasi bisa menggantikan kediktatoran dan otoritarianisme. Jika kediktatoran dan otoritarianisme dikalahkan maka bisa menekan kekuatan ekstremisme dan militansi (hal. 313).

Benazir percaya bahwa pertumbuhan ekonomilah sarana untuk membangun demokrasi. Melalui pertumbuhan ekonomi akan tumbuh kelas menengah yang mendorong demokrasi (hal. 314). Kelas menengah yang tumbuh di berbagai belahan dunia akan secara bersama-sama membangun demokrasi yang menjadi jalan bagi kehidupan manusia yang lebih baik.

Tentang pembangunan ia menyampaikan bahwa sebaiknya ada model Marshall Plan gaya baru yang menekankan kepada pembangunan yang berorientasi kepada orang kecil: “gandum, buku sekolah, obat-obatan, alat tulis dan sepatu murah” harus diadakan untuk semua manusia (hal. 336).

Sayang sekali dalam buku ini Benazir tidak memasukkan faktor China dalam analisisnya. Ia sangat kuta membahas Islam, demokrasi dan Barat. Sayang sekali salah satu kekuatan yang juga sangat berperan ke depan, yaitu China belum dianggap faktor penting dalam buku ini. Mungkin karena pada tahun 1997 China masih belum dianggap punya peran besar bagi peradaban manusia?  685

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler