x

Sheila

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 27 Juni 2022 23:23 WIB

Reuni Sori Siregar: Pergulatan Hidup Gadis Remaja

Novel ini berkisah tentang perjuangan hidup seorang gadis remaja di kota besar. Aneka pekerjaan dan berbagai pengalaman dilalui. Bagaimana dia bisa keluar dari kemelut kehidupan dengan mempertahnakan standar moralnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ini kisah perjuangan hidup dan pergulatan batin seorang gadis remaja. Kisahnya dimulai pada hari pertama Liani, seorang gadis cantik yang baru saja lulus SMA, bekerja sebagai seorang penjaja barang dari rumah ke rumah. Dia sudah melewati masa pendidikan, masa praktek, dan inilah hari pertama dia diterjunkan ke lapangan menjajakan dagangnnya berupa metega, sabun mandi, dan pasta gigi. Statusnya di perusahaan adalah buruh lepas harian. Ia hanya akan menerima komisi dari barang yang laku dijual.

Liani bukan dari keluarga berada. Karena itu dia tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi seperti ketiga sahabatnya, Mariam, Tina dan Inke. Ayahnya, seorang sopir bus yang baru saja mengalami musibah. Bersama lima belas rekannya, ia dipecat karena melakukan pemogokan kerja. Sudah tiga bulan ayahnya menganggur. Ibunya  berjualan di warung kecil di samping rumah. Liani anak satu-satunya di keluarga itu.

Dia tahu, sebagai penjaja dengan status buruh harian lepas, “Masa depan tidak pasti. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus bekerja. Harus,” katanya. Ketika ayahnya masih bekerja sebagai supir, sebenarnya juga tidak pernah menjanjikan apa-apa soal kelanjutan pendidikannya. Padahal dia sangat menantikan itu dari mulut ayahnya. “Lalu, setelah ayah dipecat dengan tidak hormat, masih layakkah aku mengharapkan sesuatu darinya?” katanya lagi. “Tidak. Aku tidak akan sekejam itu. Memamg aku adalah anak satu-satunya dalam keluarga. Pantas untuk mendapatkan kemanjaan. Tetapi kemanjaan itu sendiri tidak dapat memaksaku untuk menuntut sesuatu yang tidak dapat dipenuhi oleh ayahku yang sangat kucintai itu.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika dia berangkat untuk memulai tugasnya, ayahnya mendakapnya lama sekali. Sambil menepuk-nepuk pundaknya, ayahnya kemudian melepaskan dekapannya. Ayahnya tersenyum. Senyum itu terasa mengiris. Mata ayahnya yang merah menggenggam duka. “Buatlah yang terbaik yang bisa kau lakukan,” kata ayahnya tersendat. Kata-kata itu terasa perih di hati Liani. Dia tidak menjawab dan hanya mengangguk.

                                                                                ***                                          

Kini mulailah perjalanan hidup baru bagi Liani. Bersama keenam gadis penjaja lain, dia diantar dengan mobil van untuk didrop di satu titik. Dari sana mereka berpencar dan mulai menjajakan dagangannya, dari rumah ke rumah.

         “Gugup?” tanya Ratna, seorang seorang gadis penjaja yang hari itu juga merupakan tugas pertamanya. Liani menggeleng sambil tersenyum.

          “Gadis cantik seperti kau memang sering sungkan untuk kerja begini,” sambung Fatimah, gadis yang dianggap paling berhasil selama praktek di lapangan. Fatimah paling tua di antara mereka. Usianya sekitar 24 atau 25 tahun. Fatimah sering memberi dorongan semangat dan keberanian selama mereka praktek. Fatimah juga yang sering memperingatkan Liani agar berhati-hati dengan godaan laki-laki iseng. “Tapi semua itu tergantung kita,” kata Fatimah. “Kalau memang mau jual murah, ya laris. Ujian akan banyak sekali, karena itu iman harus tebal.”

             “Rasanya kok seperti pasukan terjun payung yang akan dijatuhakan di kubu pertahanan musuh ya?” kata Eli menimpali. Semua tertawa. Mobil van berhenti di bawah sebatang pohon yang rindang. Para penjaja  kemudian berpencar untuk menjajakan dagangannya.

                                                                               ***

Selanjutnya adalah kisah pergulatan batin Liani, tentang pekerjaaanya, tentang ayah dan ibunya, dan lain-lain. Lalu tujuh bulan lebih sebagai penjaja, ia mulai bosan. Ia memberanikan diri menemui Sudirja, wakil kepala penjualan, untuk mendapatkan posisi yang lebih baik di kantor. Ternyata gagal. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti. Sementara ayahnya, setelah tujuh bulan menganggur, kini sudah mendapat pekerjaan baru sebagai supit truk yang mengangkut bahan-bahan bangunan. Dua bulan mengangur, Liani mulai mencoba melamar menjadi sekretaris. Beberapa lamaran yang dia kirimkan tak ada yang membalas. Dua kantor yang dia datangi juga tidak menerimanya. Akhirnya di kantor ketiga yang ia ketuk, Liani –anehnya-- langsung diterima. Ia menjadi sekretaris direktur, seorang perempuan, Ibu Emmy, yang usianya sekitar 45 tahun.

               Di tempat baru ini semuanya berjalan lancar. Bahkan Liani sangat disayang oleh Ibu Emmy. Liani  dibantu melanjutkan pendidikan sampai selesai di jurusan bahasa/sastra Inggris IKIP. Kini ia bergelar doktoranda. Bahasa Inggrisnya semakin lancar. Jabatannya naik menjadi penasehat/staf ahli di perusahaaan ekspor-impor itu. Bahkan ia diminta kesediannya untuk diangkat sebagai anak. Sempat terjadi perselesihan di antara mereka ketika Ibu Emmy melarang Liani terlalu dekat dengan Ednanto. “Tidak seorang pun boleh merampasmu dariku,” jerit Ibu Emmy. Tapi Liani memberontak. Ia meninggalkan Ibu Emmy berbulan-bulan. Tapi kekerasan hatinya luluh ketika mendengar Ibu Emmy sakit. Liani menjenguknya, dan dengan tulus meminta maaf.

          “Anakku, anakku, akhirnya kau kembali,” bisik Bu Emmy ke telinga Liani. Ibu Emmy mengucapkan sesuatu, tatapi Liani tidak mendengar apa-apa. Hanya dengus nafasnya yang semakin keras, semakin keras.

            Liani tersentak.  Ibu Emmy merangkulnya dan nafasnya yang tersengal-sengal menyentuh leher Liani. Dengan mata terpejam dalam pengembaraan singkat tadi, membuat Liani lupa  akan keadaan sekeliling. Akhirnya Liani memberontak.

             Intinya, Liani tidak menyukai peristiwa itu. Ia meninggalkan kamar tidur mewah  yang memberikan pengalaman menakutkan itu. Dia berjanji untuk tidak masuk ke sana untuk kedua kalinya. Juga tidak akan menginjakkan kaki lagi di istana mewah itu. Sejak itu Liani tahu bahwa Ibu Emmy menjalani hidup dalam “dua  dunia”. Itu sebabnya suaminya juga meninggalkan Ibi Emmy.  Liani dan Ibu Emmy masih sempat bertemu di kantor. Bahkan Ibu Emmy menawarkan agar ayah Liani juga bekerja di kantornya. Tapi keputusan Liani sudah bulat. Dia mengundurkan diri dari perusahaan Ibu Emmy.  Liani menganggur lagi.

                                                                 ***

Ketika menganggur itu, Liani banyak merenung. Tentang ambisinya, tentang kecantikannya, tentang pekerjaan apa yang selama ini dia anggap remeh dan pekerjaan apa yang  dia anggap terhormat. “Aku memang angkuh dan terlalu memburu status,” katanya. Selama ini dia sempat berpikir bahwa pekerjaan menjajakan dagangan adalah pekerjaan yang remeh dan rendah. Sementara pekerjaan sebagai sekretaris di kantor Bu Emmy yang oleh orang lain dianggap sebagai ‘pesuruh’ malah diangapnya terhormat. “Alasanku untuk menganggap sesutu terhormat, kurang terhormat dan remeh terasa sangat naif. Hanya karena yang satu duduk di kantor ber-AC, menghadapi meja tulis, menerima dan membuat panggilan telepon, sedangkan yang lain harus berjalan di panas terik, mengetuk pintu rumah orang yang tidak dikenal dan menawarkan barang-barang yang belum tentu disukai oleh orang yang ditamui.”

Di hari-hari pertama sebagai penganggur itu dia memang sering berpikir tentang status terhormat lainnya seperti pramugari udara, foto model, artis, peragawati, dan wartawti. “Hanya jalan ke sanalah yang belum terbuka untukku. Satu saat kesempatan itu pasti akan menganga di depanku...” pikirnya. “Tapi, kalau pun salah satu kesempatan itu membuka dirinya, apa yang bisa kutawarkan? Kecantikan ini? Ah, barangkali aku tidak secantik yang dikatakan kawan-kawanku. Atau mungkin sedikit lebih cantik dari mereka. Lalu, kalau aku cantik, apakah itu bisa menjadi jaminan? Apakah kecantikan akan dapat menolongku?”

***

Selanjutnya, ada cerita tentang Liani yang melamar kerja di perusahaan percetakan yang baru didirikan Sudirja, mantan wakil kepala bagian penjualan ketika dia masih berkerja sebagai penjaja.  Tapi Liani ahirnya tidak berminat lagi ketika tahu bahwa saham di perusahaan itu separuhnya dimiliki oleh Ibu Emmy. Lalu ada kisah tentang ayahnya yang kembali menganggur dan mulai berniat untuk berwiraswasta.

Liani kembali mencatat jenis-jenis pekerjaan yang akan dilamarnya, seperti bertugas di apotek, di toko buku, di toko pakaian, di perusahaan taksi atau kantor lainnya. Dia tidak  mau mencatat nama-nama bank, hotel, atau perusahaan asing, karena baginya pekerjaan di situ memerlukan keahlian khusus. Tapi dia juga tidak ingin lagi menjadi  model, aktris, peragawati atau poramugari udara. Sebab jalan ke sana tidak jarang diwarnai dengan noda-noda hitam. Bekerja di klub malam atau bar jelas tidak masuk hitungannya. Karena dia buka tipe wanita yang siap untuk menerima kehidupan di sana. “Jalan lurus dan terang masih banyak dan aku harus berani melaluinya tanpa ragu-ragu. Tekadku hanya satu, kalau aku bekerja, pekerjaan itu kuperoleh bukanlah karana belas kasihan, atau kecantikan yang kumiliki, tetapi semata-mata karena kemampuanku memberikan jasa sesuai dengan pendidikan yang kumiliki. Di mana pun dan kapan pun, aku harus senantiasa bertolak dari sana,” katanya.

Juga cerita tentang pertemuannya secara tak sengaja dengan Bistok, teman SMA yang kini berjualan sandal dan sepatu. Oleh Bistok dia disarankan untuk melamar di perusahaan Telepon Service, perusahaan yang memberikan jasa membersihkan telepon di kantor-kantor. Bistok  membaca iklan lowongan  itu dari sebuah koran. Benar, akhirnya Liani bekerja di perusahaan tersebut. Di sini pengalaman tak enak juga dialmi Liani. Ketika sedang membersikan telepon di ruangan bos sebuah kantor, Liani diperlakukan kurang patut. Bos kantor itu bahkan berusaha mencium Liani dengan paksa. Liani memberontak dan mengayunkan dengkulnya ke bagian bawah perut sang bos. Liani akhirnya memutuskan berhenti bekerja dari perusahaan itu. Dia menganggur lagi.

                                                                       ***

Singkat cerita, pada hari Minggu, ketiga temannya --Mariam, Inke, Tina--  datang mendadak ke rumahnya. “Kita bersyukur karena hari ini dapat berkumpul merayakan hari ulang tahun ke-20 seorang teman sejantung sehati,” ucap Mariam. Liani terharu, karena dia sendiri tidak ingat bahwa hari itu adalah hari ulang tahunya.  Mariam memberi kado cincin, sementara Tina memberi seperangkat alat-alat make-up. Pada saat itu, di saat reuni itu, Liani menceritakan semua yang dialaminya kepada sahabatnya. Mereka saling bercerita dan berpendapat tentang kehidupan yang terjadi di luar rumah. Setelah itu mereka makan bersama.

Di akhir kisah, seorang anak muda mengantarkan bungkusan ke rumah Liani. “Mesin jahit!” teriak Liani kepada ibunya. Ternyata itu adalah kado dari Inke. Liani senang dengan kado itu, tapi sekaligus terharu. “Inke lupa, Bu, kita kan tidak punya listrik.” Ibunya tertawa. Buat Liani, kado itu sangat berguna untuknya. Inke tahu dia pandai menjahit. Semua bajunya selama ini memang dia jahit sendiri di rumah tetanga. Mungkin Inke merasa itulah pekerjaan yang paling tepat untuknya. Ibunya menyarankan agar Liani menukar mesin jahit listrik itu dengan mesin jahit biasa agar bisa dipakai. Ayah Lina bukan hanya senang, tetapi juga salut kepada ketiga sahabat Liani. “Sahabat selalu akan datang di saat kita kepepet,” ujar ayahnya. “Yang mengharukan ayah bukan mesin jahit ini, tapi sikap mereka terhadapmu. Mereka anak-anak yang tidak sama kedudukan sosialnya dengan kita. Tapi buat mereka semua itu tidak ada...”

           “Dengan sebuah mesin jahit aku akan bekerja sendiri. Aku tidak perlu berkorban atau dikorbankan. Yang akan terjadi hanyalah transaksi antara seorang tukang jahit dan orang lain yang memerlukan jahitan. Aku akan menjadi majikan bagi diriku sendiri,” kata Liani. Kini Liani membayangkan, betapa idealnya jika nanti ia bisa membuka usaha butik kecil sendiri sembari kuliah. “Betapa terhormatnya.....” Liani semakin mantap dengan keputusannya. Aku harus melangkah. Sekarang juga.”  Selesai.    

***

Benar kata penerbinya --PT Variasi Jaya—dalam kata pengantarnya, bahwa novel ini tidak banyak menceritakan gerak fisik manusia, tetapi justru gerak pikiran dan hati manusia. Pikiran dan hati manusia itu sama sibuknya dan sama ramainya dengan sebuah kota atau pelabuhan. Bukankan apa yang kita lakukan adalah hasil dari apa yang kita pikirkan? Novel ini, kata penerbitnya lagi, menceritakan tentang pikiran dan watak manusia, baik yang terpuji maupun yang buruk. Menceritakan segala suka duka yang dialami anak manusia dalam mempertahankan hidup, khususnya di kota Jakarta. Banyak bekal yang harus kita persiapkan pada saat kita mulai terjun ke masyarakat, Kita memang sering menemui hal-hal di luar jangkauan pikiran kita, yang bisa menbuat kita frustasi, kecewa, marah atau apatis. Bagaimana harus keluar dari kemelut perasaan seperi itu?

                                                                        ***     

Sejak awal saya merasakan bahwa Liani, meski dalam usia yang masih muda, memiliki standar moral yang baik. Itu terlihat misalnya dalam kalimatnya ketika ia memulai sebagai penjaja: “Aku ingin menempuh jalan yang lurus dalam perjalanan hidupku. Aku tidak ingin tergelincir. Dengan menjadi gadis penjaja, aku tidak ingin menjajakan diriku. Yang kujajakan hanyalah barang-barang yang kubawa....”

Senada dengan yang di atas, di bagian lain, ia berkata: “Lima bulan lebih sebagai penjaja, menemui berbagai watak manusia, membuatku muak pada pekerjaan ini. Sebagian besar orang yang kutemui menganggap kami perempuan murahan, bukan hanya pemuda-pemuda iseng yang kebetulan sedang di rumah, tetapi juga ibu-ibu yang mulai kempot dan bandot-bandot yang sejak pensiun selalu berada di rumah. Aku tidak ingin diperlakukan sebagai perempuan murahan. Sekadar gangguan yang wajar, aku tidak keberatan. Tapi kalau sampai mengajak ke hotel, bah, aku jijijk mendengarnya. Apalagi laki-laki yang menawarkan ajakan itu lebih tua usianya dari ayahku. Dan dalam menghadapi itu semua aku harus pula bersikap manis, menolak dengan halus.”

Rasanya saya tidak perlu lagi menjelaskan betapa pentingnya – dan juga apa perbedaannya-- norma moral di antara norma lain seperti norma sopan santun, norma hukum, dan norma agama. Kita semua sudah tahu. Juga tidak perlu berpanjang-panjang lagi tentang makna kerja bagi manusia. Cukup singkat-singkat saja, bahwa bekerja merupakan ungkapan keberadaan manusia. Melalui kerja manusia mengembangkan dan memajukan dirinya, sekaligus membangun kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Kerja merupakan simbol sosialitas manusia. Kerja menyatukan umat manusia (Hannah Arendt). Kerja juga membebaskan manusia dari ancaman alam dan mengatasi kelemahan kondisi fisiknya berhadapan dengan  alam. Ini berarti bekerja juga mempertahankan hidup (Mari Lindman). Karena manusia bukan hewan yang “asal bekerja”, maka kerja selalu melibatkan cita, karsa dan rasa. Jadi kerja adalah ungkapan yang khas manusia. Kerja merupakan sarana humanisasi (John Locke). Artinya dengan bekerja, manusia tidak hanya mengembangkan diri secara personal, tetapi juga menciptakan integrasi sosial.

Lalu, karena Liani banyak sekali menyebut soal aneka profesi, ada baiknya kita tengok sekilas juga pengertian kata tersebut. Kata “profesi” umumnya dikaitkan dengan pekerjaan yang dilakukan dalam bidang tertentu dengan mengutamakan kemampuan fisik dan intekektual, yang tujuannya untuk memperoleh penghasilan atau pendapatan. Profesi adalah kedudukan atau posisi yang menuntut latihan atau keterampilan tertentu, sehingga dipercaya oleh orang yang membutuhkannya.

Ada beberapa ciri profesi, misalnya, memiliki cakupan ranah pekerjaan yang khas, definitif, dan sangat penting serta dibutuhkan masyarakat. Ciri lain, profesi umumnya memperoleh pengakuan dan penghargaan yang layak baik secara sosial dan secara legal. Setiap profesi biasanya memiliki kode etik profesional yang telah disepakati dan selalu dipatuhi para anggotanya, dan beberapa ciri lainnya. Intinya profersi berbeda dengan pekerjaan pada umumnya dan juga berbeda dengan hobi.

Profesi membutuhkan komitmen moral yang tinggi. Komitmen moral ini kemudian dikuatkan dalam bentuk kode etik, yang merupakan etika terapan. Ia dihasilkan berdasarkan penerapan nilai atas suatu profesi. Isi kode etik adalah aturan-aturan yang harus dijalankan oleh setiap orang yang mengemban satu profesi tertentu. Ia menjadi rambu-rambu moral bagi profesi. Ia juga melindungi profesi dari gangguan masyarakat sekaligus melindungi masyarakat dari akibat penyalaguaan profesi.

Menurut Sonny Keraf, setidaknya terdapat 4 (empat) prinsip etika profesi yang berlaku hampir untuk semua jenis profesi. Pertama, prinsip tanggung jawab. Seorang profesional harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaaanya dan terhadap hasilnya. Seorang profesional dari dalam dirinya sendiri dituntut untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil maksimum, dan mutu terbaik. Seorang profesional bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya.  Ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditumbulkan baik  disengaja atau tidak.

Kedua, Prinsip keadilan. Prinsip ini menuntut seorang profesional tidak merugikan hak dan kepentingan pihak lain, khususnya mereka yang dilayaninya dalam rangka profesinya. Dalam menjalankan profesinya mereka juga tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapa pun. Ketiga, prinsip otonomi. Ini adalah prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Ini merupakan konsekuensi dari hakekat profesi itu sendiri. Sebab hanya kaum profesional yang ahli dalam bidangnya yang bisa bekerja dengan baik. Tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksnaan profesi tersebut.  Tentu saja prinsip ini dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut, serta dampaknya terhadap kepentingan masyarakat. Keempat, prinsip integritas moral. Seorang profesional harus juga orang yang memiliki integritas pribadi atau moral yang tinggi. Ia memiliki komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya, dan juga kepentingan masyarakat. Jadi ini adalah tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri, yakni bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baik serta  martabat profesinya

Akhirnya, kalau toh harus memberi sedikit “catatan” pada novel ini, Sori Siregar agak  “terpeleset” di bagian akhir cerita. Pada bagian 4 (empat) diceritakan bahwa Liani sudah tamat kuliah dari IKIP jurusan sastra Inggris. Ia mendapat gelar doktorandus. Tapi pada bagian 10 (hlmn 111) Liani menyebutkan dirinya masih lulusan SMA. Kemudian di bagian akhir cerita (bagian 12) Liani dikisahkan masih bercita-cita untuk melanjutkan kuliah sambil membuka usaha jahit-menjahit. Tapi, sudahlah, kita lupakan itu. Mungkin karena tiap bagian dalam novel ini ditulis dalam perbedaan waktu yang cukup jauh sehingga bisa terjadi hal semacam itu. Dalam riwayat kepengarangannya, selama 18 tahun Sori Siregar hanya menulis cerpen. Baru pada 1978 ia mulai menulis novel. Sedangkan novel Reuni ini ditulisnya pada tahun 1980.

 

  • Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni.

                

####

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler