x

Ilustrasi Persekonglolan Politik. Ilustrasi oleh Gerd Altmann dari Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 1 Juli 2022 08:41 WIB

Ketika Konflik Kepentingan Dianggap Lumrah

Mereka bukan tidak memahami bahwa keputusan dan tindakan tertentu yang mereka ambil dalam kapasitas sebagai pejabat publik sangat rentan berbenturan dengan kepentingan pribadi mereka. Mereka kerap berkelit dari kewajiban menegakkan batas-batas agar konflik kepentingan tidak terjadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Salah satu godaan kekuasaan yang menghinggapi banyak pejabat publik ialah membiarkan konflik kepentingan terjadi. Uniknya, pejabat publik dengan jenjang yang lebih tinggi enggan menegur pejabat di bawahnya yang diketahui mencampurkan urusan pribadi dan jabatannya. Mungkinkah ini karena si pejabat yang lebih tinggi tidak ingin diganggu bila suatu ketika ia juga melakukan hal serupa?

Kecenderungan untuk membiarkan konflik kepentingan itu semakin terlihat, bahkan terkesan dianggap lumrah. Sesama pejabat seolah sudah tahu sama tahu. Para pejabat publik niscaya bukan tidak tahu batas-batas antara tanggung jawab yang melekat pada jabatanya dengan urusan pribadinya. Mereka bukan tidak mampu memisahkan kedua urusan, melainkan tidak mau. Inilah godaan kekuasaan.

Di satu sisi aturan untuk mencegah konflik kepentingan susah ditegakkan, di sisi lain berharap pada perilaku etis pejabat seakan mimpi di siang bolong.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “Apa salahnya?” adalah frasa yang sering diucapkan manakala masyarakat mengritik pejabat dalam kaitan konflik kepentingan. Seolah-olah mereka tidak melihat ada kesalahan di dalam keputusan, kebijakan, ataupun tindakan dan langkah yang mereka ambil. Sementara itu, masyarakat melihat konflik kepentingan dengan terang benderang.

Ketika Anwar Usman menikah dengan adik Presiden Joko Widodo, sebagian masyarakat mengingatkan dan bahkan meminta agar Anwar mundur dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi [MK]. Pertimbangannya: pernikahan dengan adik Presiden itu berpotensi terjadinya konflik kepentingan, sebab sebagai Ketua MK, ia akan memimpin penanganan perkara yang diajukan oleh rakyat terkait dengan penyelenggaraan negara. Sebagian masyarakat khawatir bahwa Anwar tidak akan mampu bersikap netral dan adil dalam menangani perkara karena kakak iparnya, yakni Presiden Jokowi, selaku kepala pemerintahan, merupakan salah satu pihak yang berperkara.

Masyarakat tidak mempersoalkan pernikahannya dengan adik Presiden, karena hal itu merupakan urusan pribadi. Masyarakat hanya meminta Anwar untuk melepaskan jabatan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, sebab ini menyangkut kepentingan masyarakat luas. Terdapat kepentingan masyarakat yang harus dilindungi dari kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, karena Ketua MK dan Presiden kini memiliki hubungan keluarga sebagai adik dan kakak ipar. Hingga kini tidak ada tanda-tanda bahwa Anwar akan melepas jabatannya sebagai Ketua MK.

Dalam banyak peristiwa, terutama yang berkaitan dengan elite kekuasaan, potensi terjadinya konflik kepentingan kerap dianggap enteng. Dalam kasus pemecatan dr. Terawan dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia [IDI], para politisi maupun pejabat publik ramai-ramai mengecam IDI. Bahkan, sebagian mereka mengancam akan mempreteli wewenang IDI hingga membubarkan organisasi profesi ini. Terkesan sekali bahwa bukan rasionalitas yang dikedepankan oleh para politisi dan pejabat tersebut, melainkan emosionalitas yang disebabkan karena merasa memiliki relasi dengan dr. Terawan sebagai pasien dan dokter.

Dalam kasus ini, para politisi telah memanfaatkan posisinya sebagai anggota DPR maupun pejabat publik untuk menekan IDI, organisasi yang berusaha menegakkan aturan dan kode etik profesinya. Mereka menjadikan pengalaman sebagai pasien untuk mendukung dr. Terawan dan menekan IDI. Secara bersama-sama, ada kepentingan pribadi yang ditonjolkan, yang membuat para politisi dan pejabat ini tidak lagi jernih dalam melihat persoalan antara dr. Terawan dan IDI.

Mereka bukan tidak memahami bahwa keputusan dan tindakan tertentu yang mereka ambil dalam kapasitas sebagai pejabat publik sangat rentan berbenturan dengan kepentingan pribadi mereka. Mereka kerap berkelit dari kewajiban menegakkan batas-batas agar konflik kepentingan tidak terjadi. Mereka justru melihat peluang dan memanfaatkannya demi keuntungan pribadi. Semua itu dimungkinkan karena relasi-kuasa yang saling menguntungkan di antara sesama elite, politisi, dan pejabat publik. Elite kekuasaan tidak memberi teladan yang baik perihal pentingnya menjaga etika kenegaraan seperti menghindari konflik kepentingan selagi itu belum terjadi. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler