x

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Kamis, 30 Juni 2022 20:24 WIB

Cerpen: Mati Sunyi

Cerpen-komunikasi. Tidak ada pembaca tidak ada cerpen, demikian pula sebaliknya. Tak ada seni tontonan, kalau publik tak ada, juga sebaliknya. Kreativitas, bersama membuka gerbang edukasi. Salam baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nilai masih bisa di perdebatkan di lingkar aksioma kuantum skala luas, rumus alfabetis angka siluman, sekalipun, berkelipatan kabut misteri. Ketika senyawa tak sepakat lagi dengan uji coba kesamaan bentuk uraian isotop, sekalipun unsur atom-nya berbeda muatan jumlah proton berbanding sejajar dengan unsur neutron.

Ketika imajinasi melambungkan diri kelangit neurologis nyaris melewati ambang batas kekuatan daya instalasi saraf-optik pengindraan berkesinambungan dalam etos kulminasi rata-rata berjenjang, pencerapan sensoris saraf, dalam hitungan jungkir balik pun tetap fokus-terbaca. 

Melihat gagasan serupa ataupun tidak, pada telaah sensoris mungkin terasa kegamangan struktur perbedaan itu. Pengindraan mampu memberi sinyalemen kebenaran ataupun kesalahan, kebohongan, kepura-puraan, ketulusan juga di antaranya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lantas tugas frekuensi eksterior, menyampaikan catatan berita itu, disimpan interior. Langkah kemudian, nurani mencatat tak terhingga hingga saat tertepat, memicu daya ledak dalam tubuh. Akibat perbuatan anonim. Mungkin, ruang gravitasi akan mengguncang karma.

Siksa tubuh menjadi siksa batin bolak-balik tanpa terasakan. Ketika nurani telah terkunci, wawasan gelap gulita, terpicu orasi-oral, batuk-batuk, dehem-dehem, sulit bernapas, tercekik berondongan kalimat, kata tanpa acuan. 

Karma, membidik tepat sasaran, dari puncak komedi ke puncak tragedi atau sebaliknya pula. Kelapapuan diguyur pemanis tetap terasa kelapa. 

***

Dia selalu memandang ke batas kaki langit, mungkin di sana ada harapan, belum terselesaikan atau tertinggal, bisa juga, atau sengaja dilupakan. 

Enggan mengingat keindahan itu, keburukan itu, kebohongan itu, kesia-siaan itu, kepandiran itu, hal mengenaskan, mengunci hatinya.

Berbagai kemungkinan, barangkali bisa saja, pada hal hidup, setelah mati atau pada hal mati setelah hidup, kalau mungkin.

"Aku tidak mampu!" Geram. 

"Aku lengah." Sesal termuskil. 

"Seharusnya, aku. Mati. Bukan kamu."

***

"Aku durhaka sejagat. Melupakan kasihmu. Aku sombong, mentang-mentang. Aku melupakan, tidak sengaja. Maafkan. tidak bermaksud tidak mengingatmu."

"Aku, sibuk, amat rumit. Sulit menjelaskan, tak berani menemuimu. Sadar betul, sungguh. Aku bersalah." 

"Aku berniat hidup lagi. Mengembalikan semua hal menjadi baik banget."

"Boleh enggak ya. Apa masih bersedia." 

Kapan ya hidup lagi. Janji deh, 'kan kuberikan cinta kusyuk', beneran. Sumpah."

***

"Aku sudah bilang hati-hati."

"Kamu bilang gas pol."

"Iya. Tapi bukan jadi begini." 

Keduanya memandangi sosok tubuh mereka, terbujur morat-marit. 

"Masih sekarat."

"Ini akibat kita..."

"Melanggar larangan."

"Tempe sudah jadi tahu." Menghela napas.

Sekonyong-konyong keduanya sirna di sedot badai hitam.

***

"Ssst! Mereka datang. Ssst!"

"Oh! Bukan untuk kita."

"Hihihi, untuk persoalan lain, kasus lain."

"Ssst! Mereka belok ke rumah itu."

"Bagaimana membedakan dua sosok ini." 

"Mana aku. Mana kamu. Gitukan?"

"Ssst! Mereka berbalik, ke arah kita."

"Ssst!" Serentak. 

***


Jabodetabek Indonesia, JunI 30, 2022.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler