x

Proses pengisian BBM di SPBU Cikini, Jakarta, Selasa, 14 April 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Iklan

Ali Mufid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Maret 2022

Sabtu, 2 Juli 2022 15:51 WIB

Aplikasi MyPertamina Kurang Responsif, Masyarakat Mengeluh

MyPertamina banyak dikeluhkan pengguna. Diharapkan kebijakan ini jangan sampai pincang hanya karena kekurangan analisis dampak sosial yang kurang mendalam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pertamina meluncurkan aplikasi MyPertamina. Baru saja launching, banyak user yang mengeluhkan penggunaan aplikasi ini untuk membeli BBM bersubsidi. Mulai dari keluhan aplikasi yang kurang responsif hingga scan saat payment dinilai kurang optimal. Lantas sejauh mana kampanye aplikasi ini akhirnya bisa merata di seluruh Indonesia?

Setiap kebijakan pemerintah mestinya dilandasi atas kepentingan publik. Hal itu bertujuan untuk memudahkan masyarakat saat menggunakan metode pembayaran secara digital. Seperti saat mengisi BBM subsidi di SPBU. Masyarakat banyak mengeluhkan adanya pola pembayaran seperti ini. Mulai dari hal teknis hingga efektifitas saat menggunakannya di SPBU.

Sebagai informasi, bahwa saat ini masyarakat bisa mendownload aplikasi MyPertamina di smartphone lewat Google Play Store bagi pengguna Android dan App Store untuk pengguna iPhone. Setelah download, user akan diarahkan untuk melakukan registrasi data diri. Kemudian aktifkan LinkAja agar bisa melakukan pembayaran cashless.

Setelah itu saat user mengisi BBM, tunjukan QR Code yang berada di aplikasi lalu klik "Bayar" untuk konfirmasi pembayaran. Setelah itu masukan PIN LinkAja dan klik "Continue". Setelah itu user akan menerima notifikasi bahwa transaksi telah berhasil dilakukan. Secara umum, metode seperti ini sering dilakukan masyarakat saat ini di beberapa platform.

Kendati sudah menjadi hal lumrah, namun bukan berarti tanpa kekurangan. Beberapa pengguna aplikasi mengamati tak semua masyarakat bisa melek aplikasi ini. Di masyarakat pedesaan misalnya, selama ini mereka membeli BBM secara konvensional. Transformasi metode pembayaran ini praktis menuntut pembeli agar segera adaptasi ke cara digital. Selain itu apakah masyarakat menengah kebawah seluruhnya telah menggunakan ponsel pintar?

Di pedesaan, kita seringkali menjumpai pembeli dengan sepeda motor antik. Mereka berasumsi bahwa yang terpenting kendaraan itu bisa menunjang untuk mencari nafkah. Jangankan untuk membeli sepeda motor baru hemat BBM, membeli ponsel pintar saja banyak yang tidak mampu. Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ponsel pintar untuk kegiatan belajar mengajar anaknya selama proses pendidikan kita masih daring.

Selain itu kekurangan digitalisasi pembayaran ini rawan terjadinya penyelewengan data pengguna. Padahal disisi lain, kebijakan ini bertujuan untuk mengontrol agar BBM bersubsidi tepat sasaran. Seperti apakah mekanisme kategori pengguna yang layak mendapatkan BBM bersubsidi? Kemudian apa dasar dari kategori itu sehingga masyarakat termasuk penerima manfaat? Tentu hal ini memerlukan jam kerja panjang untuk menganalisa kategori tersebut agar tidak terjadi penyelewengan manfaat.

Belum lagi persoalan antrian panjang di SPBU. Ini bukan persoalan metode pembayaran melainkan tingkat pengguna kendaraan bermotor di Indonesia sangatlah tinggi. Jika aplikasi tidak didukung dengan kecepatan kerja sistem, maka wacana memangkas antrian panjang di SPBU hanya isapan jempol belaka.

Mestinya sebelum kebijakan ini diberlakukan Pertamina, alangkah lebih baiknya bisa menganalisa lebih mendalam tentang kondisi ekonomi masyarakat yang tidak sama antara daerah satu dengan daerah lainnya. Daya beli masyarakat juga berbeda tergantung status sosial masyarakat. Sehingga diharapkan kebijakan yang baik ini jangan sampai pincang hanya karena kekurangan analisis dampak sosial yang kurang mendalam.

Ikuti tulisan menarik Ali Mufid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler