Romantika Pak Ogah di Jalanan

Rabu, 6 Juli 2022 06:34 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Profesi sebagai relawan pengatur lalu lintas alias Pak Ogah makin diminati. Reaksi beragam muncul dari masyarakat. NBanyak yang menerima kehadiran mereka, termasuk polisi lalu lintas. Pak Ogah yang bekerja dengan benar, justru bisa membantu tugas pak polisi.

Buih keringat mengalir deras di pelupuk dahi. Semangat membara menyertai dirinya saat memecahkan hiruk pikuk kemacetan yang terjadi di persimpangan jalan. Kedua tangannya dilambaikan dengan bebas penuh arahan. Matanya sigap mendeteksi laju kendaraan dari segala arah. Suaranya lantang setengah teriak guna memberi arahan. “Iya, terus, terus!” begitulah kira-kira arahan darinya.

Sosok tersebut adalah Pak Ogah, sebutan masyarakat untuk orang-orang biasa yang berprofesi mengatur lalu lintas suatu jalanan. Mereka tersebar di beberapa titik yang berpotensi macet, seperti di persimpangan jalan dan jalur putar balik kendaraan. Mereka mengatur lalu lintas dengan tujuan mendapat imbalan berupa uang seikhlasnya dari pengendara. Biasanya target mereka adalah pengendara kendaraan roda empat. Imbalan seikhlasnya dari para pengendara tersebut membuat profesi Pak Ogah semakin diminati. Pak Ogah sudah menjadi jalan pintas bagi masyarakat dalam mencari nafkah selain menjadi tukang parkir gaib.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Saya dulu bekerja menjadi supir bus Pusaka (bus antarkota Tangerang─Bogor). Namun karena ada pandemi Covid-19, saya diajak bos saya mengatur jalanan di sini,” ujar Ajat (70), salah satu Pak Ogah di persimpangan daerah Parung, Bogor, Jawa Barat. Bermodal topi dan peluit, ia mengatur kacaunya jalanan di bawah teriknya matahari dengan harapan pulang membawa nafkah untuk keluarga. Ia mengakui pendapatan hariannya sekitar ± Rp50.000,-. Badannya yang tak lagi gagah membuatnya menjadi Pak Ogah dengan sistem shifting. “Biasanya mulai dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang. Kemudian saya istirahat lalu mulai lagi dari jam 1 siang sampai jam 3 sore, gantian sama teman saya,” ucapnya menjelaskan jam kerjanya.

Fenomena Pak Ogah yang semakin merajalela pun menuai berbagai tanggapan dari masyarakat. Salah satunya adalah Ayu (48), pedagang makanan dekat persimpangan Parung yang bertanggapan bahwa dia tidak terusik dengan kehadiran Pak Ogah selama tidak ada pemaksaan meminta uang. Menurutnya hal tersebut bisa dimaklumi karena menjadi Pak Ogah merupakan salah satu bentuk mencari nafkah yang halal. “Saya biasanya sering kasih uang walau tidak seberapa ke mereka (“Pak Ogah”). Hitung-hitung sedekah,” tuturnya.

Selain di persimpangan, banyak juga Pak Ogah di jalur putar balik di sekitar daerah Parung. Mereka berpenampilan bermacam-macam, mulai dari yang menyerupai polantas hingga sederhana memakai kaus oblong dan celana pendek. Keahlian mereka dalam mengatur lalu lintas didapat secara otodidak karena langsung terjun ke lapangan. Beragam usia dan latar belakang namun satu alasan menjadi Pak Ogah, yaitu ekonomi.

Menanggapi banyaknya Pak Ogah yang ada di Parung, Unit Polantas Parung tidak mempermasalahkan kehadiran mereka. Mereka yang notabene memang bertugas mengatur lalu lintas justru merasa terbantu. Salah satu petugas Unit Polantas Parung mengatakan, “Kami justru merasa terbantu dengan kehadiran mereka asalkan kinerja mereka bagus dan tidak asal-asalan dalam mengatur lalu lintas”. Beliau mengungkapkan bahwa dirinya tidak segan menegur dan mengusir Pak Ogah yang malah mengakibatkan kemacetan.

Latar belakang ekonomi menjadi faktor utama ekspansi Pak Ogah di wilayah Parung, Bogor, Jawa Barat. Tak heran itu adalah jalan pintas bagi banyak orang. Kehadiran mereka bermanfaat bagi banyak pihak selama melakukan tugasnya dengan baik dan benar. Semoga kehadiran mereka membuka mata pemerintah tentang keadaan rakyatnya yang sesungguhnya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Syahra Maharani Putri

Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler