x

Intoleransi Tidak Mendapat Tempat di Indonesia

Iklan

MUHAMAD SAINI

Mahasiswa FKIP UNEJ, Ketua PMII FKIP UNEJ
Bergabung Sejak: 16 Juni 2022

Selasa, 5 Juli 2022 15:43 WIB

Memahami Konsepsi Toleransi ala Gus Dur di Tengah Gempuran Intoleransi


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir-akhir ini media pemberitaan mainstream dipenuhi kabar tentang organisasi Khilafatul Muslimin, organisasi yang disinyalir mempunyai orientasi berdirinya khilafah. Bangsa Indonesia yang bersepakat menjadi negara demokrasi dengan bentuk pemerintahan republik mengalami perjalanan yang begitu panjang dalam melawan gerakan berdirinya negara Islam (khilafah). Sejak awal berdirinya negara ini sudah ada perdebatan bahkan ada gerakan untuk menjadikan negara Islam. Padahal, bangsa ini merupakan bangsa yang terdiri beberapa agama dan banyak kebudayaan yang sudah terbentuk sejak dulu. Bahkan, sebelum Islam datang ke Nusantara ini. 

Beberapa organisasi yang sempat kita tahu seperti, Negara Islam Indonesia (NII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan lain sebagainya menjadi bukti bahwa konsep dan gerakan negara Islam selalu muncul di negara ini. Sampai saat ini gerakan itu tetap ada, bahkan semakin masif di tengah keadaan negara yang mulai mengalami gonjang-ganjing. Berangkat dari argumentasi tersebut, penulis merasa perlu memahami dan menjalankan konsep toleransi untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Penulis memandang bahwa konsep toleransi yang cocok dijalankan di negara ini yaitu konsep toleransi milik Gus Dur. Beliau dikenal sebagai pembela minoritas, sebagai bapak pluralisme. Secara pemahaman keagamaan ia tidak bisa diragukan lagi. Selain memang keturunan salah satu ulama ternama (KH. Hasyim Asy`ari), juga dalam pendidikannya sejak kecil telah bergumul dengan pemahaman-pemahaman agama (Islam). Presiden ke-4 itu tidak hanya memahami penuh tentang agama, namun ia juga memahami teori-teori sosial, pun selesai dalam memahami kebudayaan. Mantan ketua PBNU itu juga dikenal sebagai pembaca dan penulis yang luar biasa. Gagasan-gagasannya dituangkan dalam bentuk buku, essay, dan artikel-artikel yang termuat dalam media. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada hal yang menarik dari perjalanan Gus Dur. Pada saat beliau menempuh pendidikan di Yogyakarta, ia tinggal di kediaman seorang anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah. Menariknya adalah Gus Dur sebagai cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tentu sejak kecil dididik dengan tradisi NU yang notabeni secara tradisi berbeda dengan Muhammadiyah. 

Perjalanan intelektual yang begitu panjang dari seorang Gus Dur, maka tidak berlebihan ketika kita menyematkan bahwa gagasannya layak digunakan untuk pedoman hidup kita dalam bermasyarakat di negara ini, khsususnya hidup secara berdampingan dengan orang yang memiliki perbedaan dengan kita, baik dalam pemahaman, agama, ras, budaya, dan lain sebagainya. 

Konsep Toleransi menurut Gus Dur 

Menurut KH. Abdurrahman Wahid, toleransi merupakan tindakan yang menekankan bagaimana berperilaku dalam kemajemukan. Gagasan beliau berangkat dari nilai keagamaan, bahwa rahmatan lil `alamin dipahami sebagai rahmat bagi seluruh makhluk, tidak hanya manusia. Gus Dur memandang bahwa Islam adalah pelindung bagi seluruh makhluk. Pemahaman Gus Dur ini juga berangkat dari sebuah hadis yang di riwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Hakim yang dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: “Sayangilah orang yang ada di bumi, maka akan sayang pula mereka yang ada di langit kepadamu”. Hadis tersebut bermakna tentang persaudaraan yang sangat luas. Hal tersebut dilanggengkan oleh sikap toleran sesama manusia. Gus Dur memposisikan toleransi dalam berfikir dan bertindak.

Lalu bagaimana Gus Dur memberikan pandangan tentang negara Islam, khususnya ketika harus ditegakkan di negara Indonesia ini ? 

Anak dari KH. Wahid Hasyim ini mengintegrasikan konsep toleransi dan kebangsaan. Dalam konteks kebangsaan, Gus Dur berpandangan bahwa toleransi harus menciptakan kehidupan bangsa yang damai, setara, dan berkeadilan. Menjaga persatuan bangsa adalah hal yang utama. Bagi Gus Dur, mendirikan Negara Islam bukan merupakan hal yang wajib dalam berbangsa, khususnya di negara yang plural ini. Nilai-nilai Islam lebih cocok dan bagus dimasyarakatkan. Dalam artian, nilai seperti; rahmat bagi seluruh makhluk, kemanusiaan, keadilan, toleransi, dan lain sebagainya diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat daripada melembagakan Islam dalam bentuk negara, namun nilai-nilai keislaman seperti yang disebutkan tidak berjalan dalam kehidupan bermasyarakat.

Waallahu'alam

Ikuti tulisan menarik MUHAMAD SAINI lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler