x

Iklan

Masdariah Tammuwali

Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Desember 2021

Jumat, 8 Juli 2022 08:17 WIB

Dilema Guru Lulus Seleksi PPPK

Pengumuman kelulusan bagi peserta PPPK guru untuk tahap 3 sudah keluar. Guru honorer dan guru Swasta yang passing grade pada seleksi tahap 2 secara otomatis langsung mendapatkan formasi, ini memberi rasa suka cita bagi sebagian guru yang mendapatkan formasi sesuai dengan harapannya. Namun tak ayal ini juga menimbulkan dilema bagi sebagian lainnya yang mendapatkan formasi yang di luar dugaannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pagi ini bu Vita (Nama samaran) membuka pesan WhatsApp-nya, dominan pesan yang masuk adalah ucapan selamat atas kelulusannya pada penerimaan guru tahap  3 yang baru saja di umumkan oleh pemerintah.  Bu Vita membalas semua pesan itu dengan ucapan terima kasih namun terlihat wajahnya kurang bersemangat.

Bu Vita adalah salah seorang guru swasta bersertifikat pendidik yang lulus passing grade pada tahap 2 namun belum mendapatkan formasi sehingga harus menunggu terbukanya formasi pada tahap 3. Dan pada pengumuman di tahap 3 tersebut sistem mengatur peserta yang lulus secara otomatis menempati formasi yang lowong karena tiadanya pendaftar yang lulus pada formasi tersebut pada seleksi tahap 1 dan seleksi tahap 2 beberapa waktu lalu.

Pada awalnya Bu Vita mendaftar formasi guru Bahasa Inggris pada sebuah sekolah SMK Negeri yang letaknya di kota kabupaten tempatnya berdomisili.  Dan  pada saat pengumuman hasil seleksi keluar nilainya masuk kategori passing grade bersama beberapa teman dan rekan dari sekolah lain, karena  temannya  memiliki nilai yang lebih tinggi otomatis kesempatan itu tak jatuh padanya. Sehingga dia menjadi salah seorang calon ASN PPPK yang menunggu formasi yang akan terbuka pada tahap 3 tersebut. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah beberapa bulan menunggu akhirnya saat yang dinantikan itu pun tiba.  Namanya mendapat formasi dan penempatan pada suatu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggalnya, meskipun masih dalam wilayah satu propinsi.   Penempatan dan formasi yang otomatis dilakukan oleh sistem tak memberi peluang untuk memilih bagi para calon ASN PPPK lulus passing  grade tahap 3 tahun ini.  Dan itu terasa seolah-olah mengatakan, “take it or leave it”.

Nah disinilah dilema itu muncul,  karena di satu sisi harapan untuk menjadi  ASN PPPK telah terwujud,  namun disisi lain itu tak memberinya pilihan selain harus “boyongan” ke tempat yang baru.  Dengan segala “kerempongannya”,  mencari  tempat tinggal yang baru, dan mengurus kepindahan sekolah bagi anak-anak tentu membutuhkan waktu dan persiapan yang matang serta biaya yang tidak sedikit.  Hal ini menjadi sesuatu yang terasa berat, terlebih saat ini dunia pendidikan sedang sibuk-sibuknya menghadapi tahun ajaran baru yang sudah di depan mata. 

Ini membuat Bu Vita berpikir keras untuk memutuskan apakah akan mengambil kesempatan menjadi seorang yang berstatus ASN PPPK atau membatalkannya?  Jika  beliau mengambil opsi kedua yaitu membatalkan lalu melanjutkan kariernya sebagai guru sekolah swasta yang selama ini dijalaninya, maka risikonya adalah beliau akan mendapatkan sanksi berupa larangan untuk ikut seleksi penerimaan ASN pada kesempatan berikutnya di tahun-tahun yang akan datang.

Lain lagi kisah Bu Leiny (juga nama samaran), situasinya sedikit berbeda, beliau adalah seorang guru swasta yang juga lulus seleksi PPPK tahap 2 yang langsung mendapatkan formasi pada sekolah yang didaftarnya,  yakni sebuah sekolah Menengah Kejuruan Negeri “papan atas” di daerahnya. Namun ada satu hal yang luput dari perhitungannya, yaitu  ketersediaan jumlah jam mengajar  pada mata pelajaran yang linear dengan sertifikat profesinya, tidak cukup untuk dibagi rata dalam jumlah jam mengajar minimal  bagi semua guru pengampu mata pelajaran itu. Dan manajemen sekolah lebih memprioritaskan untuk mencukupkan jumlah jam mengajar bagi guru yang sudah lebih dahulu bertugas di sekolah itu, sehingga dia mendapatkan jam mengajar yang tidak mencukupi persyaratan minimal untuk mencairkan tunjangan profesi guru. 

Salah satu jalan keluar bagi kasus Bu Leiny adalah dengan menambah jumlah jam mengajar pada sekolah lain, namun itu akan terbentur pada aturan yang membatasi jumlah jam mengajar di luar sekolah induk.  Dan itu akan secara otomatis terbaca dan saling terkoneksi pada dapodik masing-masing sekolah yang terkait dengan itu.

Untuk saat ini jumlah jam yang bisa diakomodir atau terbaca pada sistem adalah maksimal 6 jam pelajaran bagi guru non induk.  Artinya untuk bisa memenuhi persyaratan 24 jam mengajar untuk pencairan tunjangan profesi guru, maka minimal harus mendapatkan 18 jam mengajar pada sekolah induknya. Solusi lain untuk masalah ini adalah dengan memberikan jabatan yang ekuivalen dengan jam mengajar.  Jabatan itu antara lain ; sebagai wakil kepala sekolah, ketua program keahlian dan kepala laboratorium.  Ketiga jabatan ini ekuivalen dengan 12 jam mengajar pada dapodik.  Namun, ini juga bukanlah hal yang mudah untuk di dapatkan pada sekolah besar dan mapan, terlebih jika kita adalah seorang guru yang baru bergabung di sekolah itu.  Jadi untuk saat ini Bu Leiny berada dalam situasi di mana tunjangan profesi yang selama ini diterimanya selama ini sebelum menjadi guru ASN PPPK, terancam tidak cair untuk semester ini.

Bagi bu Vita dan bu Leiny keduanya memutuskan  akan tetap menjalankan tugasnya sebagai guru ASN PPPK dengan sebaik-baiknya, karena  apapun itu ‘semangat dan bakti terbaik tetaplah untuk negeri yang besar ini. 

Ikuti tulisan menarik Masdariah Tammuwali lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu