Pernah merasa disindir ketika kumpul dengan teman-teman? Namanya sindiran, biasanya bernada menyakitkan. Bikin baper. Akan tetapi, ya sudahlah.
Ketika di kampus, usai Ujian Akhir Semester, entah memang dikompakkan entah kebetulan, begitu datang kok ya mereka bilang begini: “Nah, cuma teman kita yang satu ini, yang bisa dapat A. Kita-kita ... “ sambil tertawa, padahal tak ada yang lucu, “dapat nilai C aja udh hebat!”
Baperkah? Sebaiknya segera memastikan diri, bahwa ucapan adalah doa. Itu sebabnya, apapun bentuk perundungan yang diberikan oleh teman-teman kampusnya, adalah bentuk doa juga.
Doa yang bagus malah, buat yang dirundung. Oleh karena tak keliru, dengan menyegerakan, mengucapkan “aamiiin dan terima kasih.”
Bersangka Baik
Ilustrasi tersebut menggambarkan, sikap bersangka baik dengan peristiwa yang dialami. Dalam Islam, sikap semacam itu dinamakan husnudzon atau ḥusnuẓan. Secara bahasa, ḥusnuẓan berarti “berbaik sangka”.
Bagir (2022) mengatakan 'ibad Ar Rahman ketika ada orang yang mencaci atau memakinya tidak membalas dengan cacian dan makian. Namun. justru menyikapinya penuh ketenangan dan menyampaikan kata-kata yang baik kepada mereka.
“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS Al Furqan ayat 63)
Husnuzan hendaknya menjadi sebuah landasan pokok bagi siapa pun dalam berpikir positif atas segala peristiwa yang dialami. Sikap bersangka baik akan melahirkan keyakinan bahwa segala kenikmatan dan kebaikan yang diterima manusia berasal dari Allah, sedangkan keburukan yang menimpa manusia disebabkan dosanya.
Tidak seorang pun bisa lari dari takdir yang telah ditetapkan Allah. Tidak ada yang terjadi di alam semesta ini, melainkan apa yang Dia kehendaki.
Berbaik sangka, khususnya baik sangka terhadap segala ketentuan Allah sehingga manusia dapat senantiasa berpikir positif ketika ditimpa kenikmatan maupun kesusahan di dalam hidup.
Dalam Alquran Surat Al-Hujurat ayat 12, kewajiban berḥusnuẓan ditunjukkan dalam bentuk perintah untuk menghindari sikap su’uzzan, yakni sebagai berikut.
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah prasangka buruk terhadap orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa yang harus dihukum. Janganlah kalian menyelidiki dan mencari-cari aib dan cela orang-orang Muslim, dan jangan pula kalian saling menggunjing yang lain.
Apakah salah seorang di antara kalian senang memakan bangkai saudaranya yang mati yang kalian sendiri sebenarnya merasa jijik? Maka bencilah perbuatan menggunjing, karena perbuatan menggunjing itu bagaikan memakan bangkai saudara sendiri.
Peliharalah diri kalian dari azab Allah dengan menaati semua perintah dan menjauhi segala larangan. Sesungguhnya Allah Mahaagung dalam menerima pertobatan orang-orang yang mau bertobat, lagi Mahaluas kasih sayang-Nya terhadap alam semesta”.
Kaitannya dengan ilustrasi pada awal tulisan ini, yuk kita belajar bersangka baik! bagaimana kiatnya?
Pertama, niatkan bahwa apa pun peristiwa yang dialami selalu membawa nilai positif. Dengan demikian, kita terhindar dari provokasi diri. Bentuknya, setiap tindak dan ucapan yang diterima dari pihak lain disikapi dengan lapang dada.
Kedua, karena bawaannya selalu berpositif, manfaat yang berbalik kepada sikapnya pun positif pula. Padahal orang lain mungkin ada hasrat ingin merundung dan menjatuhkan, mencerca dan mencaci maki.
Coba saja jika kita sejak awal sudah berprasangka buruk, pasti yang kita alami jauh berbeda. Kita akan sakit hati, sakit jiwa, depresi dan akhirnya stres. Istilah Generasi Z dalam menyikapi perundungan dalam sikon apa pun, selalu woles.
Mampukah? Mampu jika niat dan mampu mengubah diri, dengan sikap yang selama ini menjerumuskan diri selalu menderita. Dengan niat, semua bisa dilakukan. Semoga!
Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.