x

ilustrasi: Fanni Herman Photography

Iklan

jihan ristiyanti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 April 2022

Minggu, 10 Juli 2022 11:50 WIB

Tak Perlu Kau Ketuk, Pintu Itu Telah Terbuka Untukmu

Kau dan aku adalah sepasang asing yang tiba-tiba merekat. Tanpa bertanya, kupersilahkan kau masuk ke dalam ruang-ruang kamarku. Aku tak tahu buah tangan apa yang kau bawa. Sebilah pisau terselip di pakaianmu. Kau bisa saja menusukku atau membuatkan sarapan yang lezat untuk kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagian 5,

Senin, hari yang sibuk untuk banyak orang. Begitu juga dengan Maria. Hari ini, ia memiliki janji wawancara dengan beberapa narasumber. Salah seorang di antaranya, psikiater di salah-satu rumah sakit daerah. Pertemuannya, untuk membahas tingkat depresi anak di usia sekolah.

Sial, saat ia tergopoh-gopoh. Kunci motornya terjatuh. Ceroboh, sifat yang lekat dengan gadis ini. Setelah bolak-balik mencari dan tak kunjung menemukan. Maria menghela nafas. Ia memutuskan merampungkan deadline berita. Meninggalkan Yamaha Jupiter Biru terparkir di rumah sakit.

Dengan muka lesu dan agak kesal. Ia berjalan menuju warkop terdekat. Mengisi baterai ponsel yang hampir mati. Sembari mengetik berita, mata Maria menilik notifikasi whatsapp. Tak ada pesan masuk dari lelaki itu, terhitung selepas kepulangan mereka dari pantai.

Sementara, sengit terik matahari mulai redup. Kemacetan tampak memadati jalan raya. Semua berita telah terkirim. Saatnya, Maria bergabung dengan kemacetan. Menikmati debu kota dan bisingnya kendaraan. Ia masih memikirkan lelaki itu. Maria tak ingin momen kemarin berakhir sekadar kenangan.

Akhirnya, gadis itu memberanikan diri mengirim pesan. Ia mengajak Arsyad kembali bertemu. Barangkali, pesan itu adalah hasil ketikan yang ke seratus kali. Yang berakhir dengan tanda kirim dan hati was-was. Dasar Maria, orang bilang, jatuh hati membuatmu acapkali bersikap  bodoh dan sembrono. Ia tak peduli, apa yang akan difikirkan Arsyad, yang Maria tahu, ia ingin bersua dengan wajah itu lagi.

Hari yang Ditunggu

Mereka kembali bertemu, kali ini tempat yang mereka sepakati adalah kota kelahiran Maria. Senyum sumringah tiba-tiba menghiasi wajah gadis itu. Maria dan Arsyad bertemu di salah-satu kedai. Mereka mengobrol panjang lebar. Sesekali diam masih menyergap.

Dalam hati, Maria bertanya-tanya. Tak tahukah lelaki ini akan perasaan yang coba ia sembunyikan? Kenapa ia berkenan kembali bertemu, jauh-jauh dari kotanya? Apakah ia juga menyimpan rasa yang sama? Atau sekadar sikap pertemanan.  Otaknya bekerja keras, dipenuhi dengan pertanyaan tentang lelaki itu.

Minggu demi minggu terlewati. Keduanya kini sering mengatur waktu temu. Percakapan mulai menghiasi hari-hari keduanya. Arsyad selalu menjemput Maria, saat mereka hendak keluar. Meski begitu, gadis itu sedikit terganggu. Arsyad enggan menjemputnya di rumah. Ia lebih suka menunggu di depan gang. Yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah Maria.

Tapi, Maria juga maklum. Bukankah mereka baru saja kenal dan dekat? Kali ini, ia mencoba berdamai dengan dirinya dan menganggap itu hal yang baik-baik saja. Ia tak ingin berdebat dengan lelaki itu hanya karena masalah ini. Maria menghargai usaha Arsyad yang menembus kemacetan dan debu kota. Hanya untuk bertemu dengannya. Ia senang. Perlahan-lahan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunnya pun mulai terkikis.

Kini tangan Maria selalu menggenggam jemari Arsyad. Kebiasaan baru yang tak pernah ingin ia sudahi. Ia selalu merasa aman dan hangat bersama dengan lelaki itu. Tawa selalu menyeliputi keduanya. Maria tak lagi ragu memeluk punggung lelaki itu.

Aku menyukai segala sesuatu tentang mu, tatapan matamu, tawamu, caramu membuatku tertawa. Semua yang lekat padamu adalah magnet bagiku, Maria.

Suatu waktu, saat mereka kembali pulang dari Malang. Arsyad memberikan sebuah goody bag. Berisikan desain vector wajah Maria yang telah dibingkai dalam pigura. Hadiah kecil yang sontak membuat Maria senang. Sayangnya, gadis itu tak pandai mengungkapkan perasaannya. Ia letakkan bingkai foto itu di dinding kamarnya. Di  aturnya posisi pigura pada sudut yang mudah ia lihat. 

Jarak di antara mereka mulai terkikis. Tapi, meski keduanya semakin dekat, tak jarang mereka berselisih paham. Maria sendiri tak tahu  apa yang mereka selisihkan. Pernah suatu waktu, Arsyad tak ada kabar hampir satu minggu. Gadis itu sedikit resah, aneka pertanyaan kembali mengganggunya. Lagi, siapa yang tak kesal, jika orang yang dekat denganmu tiba-tiba hilang tanpa kabar. Sementara, beberapa kali ia justru membuat stori di sosial media miliknya.

Meski kesal, Maria tak tahu harus apa. Ia bertanya pada dirinya, apa ia membuat kesalahan? Gadis itu benar-benar suka membebani dirinya dengan sesuatu yang tak perlu. Karena gusar, ia memutuskan mengirim pesan kepada lelaki itu. Maria bertanya, kenapa laki-laki itu tak ada kabar. Ia katakan, bahwa ia rindu. Tapi, Maria justru dibuat kaget dengan respon Arsyad. Lelaki itu malah menertawakannya. Setidaknya, itulah kesan yang ditangkap Maria dari percakapannya dengan Arsyad via Whatsapp.

Gadis itu kembali murung. Ia lebih kesal lagi, saat melihat vidio di lini stori media sosial milik Arsyad. Ada tangan perempuan yang sedang memegang robot kecil. Dilihat dari tangkapan visual dan kualitas vidionya. Maria tahu, rekaman itu diambil secara langsung, bukan hasil download dari google atau semacamnya. Ini mungkin terlihat aneh, jika kamu melihat dari pikiran yang jernih. Kau akan berujar, itu hanya vidio biasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi yang menjadi soal bukan pada stori yang diunggah Arsyad. Melainkan siapa yang melihat. Iya, Maria. Gadis yang mulai dekat dengannya, yang diam-diam menyimpan harapan lebih pada lelaki itu. Terlebih, Maria tahu. Meski Arsyad sering memberi perhatian padanya, lelaki itu tak juga memberi kepastian pada hubungan mereka.

Tak ada perempuan yang tidak menyukai kelemah-lembutan, tutur kata yang baik lagi penuh kasih. Tapi lebih dari itu, percayalah mereka lebih menyukai status yang pasti dari sebuah hubungan. Karena itu menentramkan hatinya.

Maria menahan diri sampai tengah malam, sebelum akhirnya ia menelepon Arsyad. Tanpa basa-basi, Maria bertanya. Tangan perempuan siapa yang berada di lini storinya? Sekali lagi, ia terkejut dengan jawaban Arsyad. Lelaki itu justru mempertanyakan sikap Maria. Mereka berbicara sebentar, sebelum akhirnya Arsyad mematikan telepon.

"Eh, sebentar ya. Aku matikan dulu. Habis ini disambung lagi, " tutur Arsyad dari seberang telepon.

Maria hanya mengangguk dan menutup telepon. Jam berputar. Hari sudah pagi, Maria tertidur saat menunggu telepon lelaki itu. Tapi, tak ada satu panggilan atau pesan darinya. Maria bangun dan ingin menertawakan dirinya, kenapa dia menunggu telepon lelaki itu? Sial, bukan tawa yang keluar. Melainkan cucuran air yang entah dari mana tiba-tiba membanjiri pipinya.

Pagi ini, suasana hatinya benar-benar tidak baik. Tapi ini bukan hari Minggu, tidak ada waktu untuk bersikap cengeng. Surat kabar Jawa Pos membuka awal paginya. Sebelum ia kembali bergulat dengan berita.

Bersambung

Ikuti tulisan menarik jihan ristiyanti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB