Anakmu bukan anakmu
Bambang Udoyono, penulis buku
Your children are not your children (Khalil Gibran)
“Anakmu bukanlah anakmu” Demikian kata Khalil Gibran. Seperti biasanya Kata mutiara sastrawan besar itu indah dan penuh makna. Kita masih membahas karya Khalil Gibran, seorang seniman dan penulis kondang asal Lebanon. Tentu saja dia sedang memakai gaya bahasa kiasan yang terbuka terhadap tafsiran. Mungkin anda sudah punya perkiraan. Mari kita bahas.
Tapi sebelumnya mari kita baca kalimat di atas dalam sebuah bait puisinya.
Inilah puisinya
Your children are not your children
Anakmu bukanlah anakmu
They are the sons and daughters of life longing for itself
Mereka adalah anak kehidupan
They come through you but not from you,and though they are with you, yet they belong not to you
Mereka datang melalui kamu tapi bukan berasal dari kamu, dan meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu
You may give them your love, but not your thoughts
Kamu bisa memberi mereka cintamu, tapi tidak pikiranmu
For they have their own thoughts
Karena mereka punya pikiran sendiri
You may house their bodies, but not their souls, for their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot visit, not even in your dreams
Kamu bisa menempatkan raga mereka di rumah, tapi tidak jiwa mereka, karena jiwa mereka tinggal di masa depan, yang tidak bisa kamu kunjungi, tidak juga dalam mimpimu
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
Kamu bisa berupaya menjadi seperti mereka, tapi jangan membuat mereka menjadi seperti kamu
For life goes not backward, nor tarries with yesterday
Karena kehidupan berjalan ke depan, tidak ke belakang, tidak juga terikat dengan masa lalu.
Anak dan ortu dipengaruhi lingkungan sospolbud
Saya menafsirkan Gibran memakai kiasan tersebut untuk menggambarkan bahwa anak anak kita sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, politik, dan budaya jamannya yang bisa sangat berbeda dengan setting orang tuanya. Akibatnya pemikiran anak anak bisa sangat berbeda dengan orangtuanya. Di sinilah kehebatan sang pujangga besar. Meskipun hidup di awal abad ke duapuluh, dia mampu membaca trend perubahan sosial politik budaya yang makin cepat.
Apalagi sekarang di abad ke duapuluh satu, perubahan sosial budaya politik dan iptek berjalan semakin cepat. Terjadi akselerasi perubahan yang membawa akibat besar berupa terasingnya orang tua dengan anak anaknya.
Saat ini generasi baby boomers mempunyai anak anak generasi milenial. Di antara keduanya ada tembok yang memisahkan. Tembok sosial, budaya dan iptek. Ambil contoh soal pakaian. Buat anak milenial gaya busana anak muda dasawarsa 1980’an nampak aneh dan lucu. Gaya rambut gondrong bapak mereka ketika SMA nampak aneh dan menggelikan. Apalagi celana panjang cut bray yang bisa menyapu lantai. Belum lagi pemikiran mereka yang sudah menjadi
warga dunia, meskipun secara formal mereka warga Indonesia.Pemikiran mereka sudah tidak lagi dibatasi oleh batas negara. Tepat sekali kata Kenichi Ohmae tentang “borderless world‛ (dunia tanpa batas)
Anak warga dunia ortu warga kota
Di sinilah potensi masalahnya. Mereka adalah warga dunia, warga abad ke duapuluh satu, sedangkan banyak anggota generasi baby boomers masih menjadi terbelenggu dengan setting sosial budaya abad keduapuluh. Banyak yang masih menjadi warga sebuah kota saja, bahkan warga sebuah RT atau RW. Wawasannya tidak lebih jauh dari batas kotanya. Pikiran kedua generasi ini bisa tidak nyambung. Tidak sedikit orang tua yang mengeluh anaknya susah dinasehati. Anaknya mau menuruti saran temannya tapi tidak mau mendengar saran orang tuanya, dsb. Itulah cerminan misunderstanding tadi.
Saling belajar
Pertanyaan besarnya, bagaimana cara mengatasinya?
Secara singkatnya ya kedua pihak perlu saling belajar dan berkomunikasi. Tidak mudah memang ‘membangun jembatan di atas jurang yang sudah menganga lebar’. Bacaan sangat penting buat semuanya. You are what you read, kata orang Barat. Anda dibentuk oleh bacaan anda. Maka bacalah banyak buku soal parenting dll.
Traveling
Dalam bahasa sehari hari ada frasa ‘kurang piknik’ untuk menggambarkan orang yang sempit wawasannya. Ada benarnya memang. Makanya sediakan waktu dan dana untuk meluaskan wawasan. Secara berkala rencanakan untuk bepergian ke kawasan lain, bukan sekedar untuk melihat alam yang cantik, tapi melihat budaya lain. Gunanya untuk meluaskan wawasan tadi.
Dengan kegiatan wisata rutin dengan dipandu oleh seorang professional tour leader maka anda akan mendapatkan perspektif baru, anda akan diperkaya dengan insight baru. Jadi anda tidak akan seperti katak dalam tempurung.
Tunjuannya mendapat cara pandang baru
Henry Miller yang mengatakan bahwa “One’s destination is never a place, but a new way of seeing things” (Tujuan seseorang itu bukan tempat, tapi cara pandang baru). Tidak salah ketika St Augustine mengatakan “The world is a book. Those who do not travel read only one page”. Artinya dunia ini adalah sebuah buku. Mereka yang tidak bepergian hanya membaca satu halaman saja. Maka marilah kita ‘membaca’ dunia ini.
Mari kita perluas wawasan kita agar bisa memahami lebih baik generasi milenial. Demikian juga generasi milenial sama sama belajar.
Ringkasan
Orang tua sekarang kebanyakan termasuk generasi baby boomers. Mereka adalah produk lingkungan sospolbud masa lalu. Meskipun sebagian sudah berpendidikan tinggi, mereka tidak bebas dari bentukan lingkungan tersebut. Sedangkan anak anak mereka adalah produk lingkungan sospolbud yang berbeda. Terciptalah tembok penghalang. Maka harus ada upaya dari kedua pihak. Keduanya harus belajar komunikasi agar nyambung. Banyak membaca dan traveling agar wawasan makin luas. Tujuan traveling bukan hanya tempat tapi mendapatkan cara pandang baru kepada dunia dan segala permasalahannya.
Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.