x

KPK

Iklan

atha nursasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Kamis, 14 Juli 2022 11:25 WIB

Ketimbang Kena Sanksi, Lebih Baik Mundur.

artikel ini ditulis dalam rangka merespon polemik salah satu pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran etik namun tidak ditindak tegas oleh dewas. alasan dewas KPK karena yang bersangkutan telah mengundurkan diri yang dibuktikan dengan Keputusan presiden. hal ini akhirnya menggugurkan penegakan sanksi etik terhadap yang bersangkutan. padahal, semestinya sekalipun ia telah mengundurkan diri, hal tersebut tidak serta merta membuatnya bebas dari sanksi etis. dengan kata lain, penegakan etik oleh dewas KPK terhadap Lili merupakan keharusan untuk menunjukan berfungsinya sistem penegakan etis di dalam tubuh KPK. selain itu, sebagai konsekuensi atas perubahan regulasi KPK, maka semestinya patut dilakukan. hal ini yang disoroti dalam artikel ini. penulis mencoba menjelaskan dan menarasikan secara lebih renyah agar dapat dibaca lebih santai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KPK yang menjadi anak kandung reformasi selalu menjadi pusat perhatian. Sebelumnya perhatian publik terhadap KPK ditujukan untuk memberi apresiasi atas sejumlah prestasi pemberantasan korupsi di tanah air, baik yang dilakukan oleh politisi, elit birokrat, pengusaha serta pihak lainnya yang terjaring dalam rantai korupsi. KPK juga berhasil mengembalikan uang hasil korupsi kepada negara dalam jumlah yang tak sedikit, tentunya. 

Sayangnya, hari ini KPK tak lagi menjadi pusat bertumpunya harapan publik, ia justru menjadi institusi yang dipenuhi kontradiksi-kontradiksi. Selain karena ia menjadi bagian dari rumpun eksekutif, perilaku para pemimpinnya yang terus menyimpang dari tugas dan fungsinya. Tak kalah menyebalkan dari laku para pimpinan KPK adalah “membangkan” terhadap prinsip etis: dari konflik kepentingan hingga mangkir dari sidang etis. Paling baru adalah kasus Lili Pintauli yang lebih memilih ke Bali menghadiri agenda putaran kedua Anti-Corruption Working Group (ACWG) G20 di Nusa Dua, Bali ketimbang mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan dewan pengawas KPK.

Tetapi apa pasalnya, bukankah kehadirannya di Bali juga penting dan merupakan tugas kenegaraan? Benarkah kehadirannya di acara ACWG G20 di Bali semata-mata karena untuk menyampaikan materi? Ataukah hal tersebut sekedar merupakan cara lain darinya untuk mangkir dari persidangan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Toh, selain Lily, masih ada empat komisioner lainnya yang bisa menggantikan dirinya untuk menghadiri agenda tersebut bukan! Apalagi hanya sekedar menyampaikan materi perihal korupsi, tak sedikit dari orang-orang KPK yang berkompeten. Dengan kata lain, mangkirnya Lily dari persidangan dan lebih memilih berangkat ke-bali secara bersamaan ia harusnya mempertanggungjawabkan perbuatannya merupakan sebuah preseden buruk bagi seorang pimpinan sekaligus menambah daftar masalah bagi KPK itu sendiri. 

 

Mundur Tak Menggugurkan Sanksi Etik.

Sebelum akhirnya mengajukan surat pengunduran diri kepada presiden, Lili kerap melakukan berbagai pelanggaran yang bertentangan dengan tugas dan fungsinya sebagai pimpinan KPK. Dirinya pernah diberi sanksi oleh dewan pengawas KPK dengan pemotongan gaji terkait penyalahgunaan pengaruh dan hubungannya dengan pihak berperkara di KPK, yakni Walikota Tanjungbalai nonaktif, M Syahrial. Tak berselang lama, ia kembali dilaporkan atas perbuatannya menerima fasilitas dan akomodasi nonton MotorGP di Mandalika pada maret 2022. Laporan tersebut ditindaklanjuti oleh Dewas KPK dengan meminta konfirmasi pihak BUMN, yakni PT Pertamina dengan beberapa dokumen terkait perkara ini. Hasilnya ditemukan, antara lain, tiket MotoGP pada Grandstand Premium Zone A-Red dan penginapan di Amber Lombok Beach Resort. pelanggaran ini sekaligus menjadi alasan baginya untuk keluar dari KPK.

Pada akhirnya Dewan Etik KPK menggugurkan sidang etik terhadap Lili atas pelanggaran yang dilakukan dengan alasan yang bersangkutan telah mengundurkan diri dari KPK dan presiden pun telah mengeluarkan Keppres atas pengunduran dirinya. Meski demikian, alasan pengguguran sidang etik oleh dewan terhadap yang bersangkutan mendapat kritik dari banyak pihak, misalnya, Zainal Arifin Mochtar, akademisi Hukum Tata Negara UGM, menurutnya, hal ini dapat diterima secara logika hukum. Namun, secara perspektif, Dewas KPK semestinya tidak melewatkan kesempatan membangun monumen penegakan etik terhadap yang bersangkutan. Seharusnya, meskipun Lili telah mundur, proses etik dapat dilanjutkan untuk memperoleh pandangan akhir dari Dewas KPK. Hal ini penting sebagai tonggak sejarah KPK dalam menegakkan pelanggaran etik. Menjadi simbol kepada publik bahwa pelanggaran etik oleh salah satu pimpinan KPK tidak dapat dibenarkan. Senada sengan itu, Kurnia Ramadhan, Peneliti-Divisi Hukum ICW menegaskan bahwa, Keppres seharusnya tidak menggugurkan sidang etik terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Lili. 

Dengan kata lain, sekalipun Presiden telah menerima dan menerbitkan Keppres atas permohonan pengunduran diri dari yang bersangkutan, hal tersebut tidak menggugurkan pelanggaran etik yang dilakukan. terlebih, yang bersangkutan merupakan salah satu panutan KPK yang seharusnya memberi contoh baik kepada publik dalam penegakan etik, justru melanggarnya secara sewenang-wenang. Artinya, dewan pengawas dapat menindak yang bersangkutan atas pelanggaran etik yang dilakukan sehingga selain menciptakan tonggak sejarah penegakan etik di KPK, tindakan tersebut juga menjadi pelajaran bagi para pimpinan lainnya di kemudian hari. Masalahnya, logika yang digunakan oleh para penegakkan Hukum kita, tak terlewatkan Dewas KPK adalah lebih baik memaklumi ketimbang menindak suatu pelanggaran, bahwa pimpinan KPK itu memahami prosedur hukum yang mengatur tentang laku dan aktivitasnya tetapi melanggarnya begitu saja hingga hal yang paling fundamental, Etika turut di cederai secara serta merta. 

Sebagai penutup, Penulis memandang bahwa, Bukankah etika jauh lebih fundamental ketimbang hukum? hukum mengatur tentang kewajiban, larangan dan sanksi, sementara etika mengatur hal-hal fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika demikian, apa gunanya hukum bagi seseorang jika laku dan aktivitasnya justru mencederai etika sebagai asas fundamental dari hukum? percayalah, orang bisa saja menguasai hukum tapi tak beretika, sebaliknya orang beretika dapat memahami hukum dan menerapkannya tanpa mencederai etika itu sendiri.

Ikuti tulisan menarik atha nursasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB