x

Iklan

Fajrianto Rahardjo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Januari 2022

Kamis, 14 Juli 2022 15:38 WIB

Potret Buram Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Dalam negara hukum (rechtsstat) yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, partisipasi masyarakat dalam pembentukan produk hukum menjadi hak mutlak warga negara dan harus diwujudkan. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah menumpuknya produk hukum di negeri ini disertai partisipasi warga yang memadai? Bagaimana tujuan dan implementasi di bentuknya produk-produk hukum yang menumpuk tersebut? Apakah instrumen hukum yang dibentuk mampu menyelesaikan masalah kenegaraan? Atau malah menambah persoalan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita bersepakat bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Hal itu tertuang dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Meskipun tidak semua elemen masyarakat di Indonesia mengikrarkan diri untuk menyatakan hal itu, kedudukan UUD 1945 yang merupakan norma hukum tertinggi dalam herarki peraturan perundang-undangan tetap perlu dihargai dan diakui, sebagai bentuk kecintaan serta penghormatan terhadap perjuangan para pahlawan bangsa (founding fathers) dalam merebut kemerdekaan.

Menyatakan diri sebagai negara hukum, berarti harus siap menerima konskuensi yang dianutnya. Implikasi negara hukum, membawa suasana bernegara penuh dengan kekakuan dan pembatasan. Karena pada prinsipnya, negara hukum menuntut agar seluruh aspek dan dinamika kehidupan harus berdasarkan hukum yang berlaku (hukum positif), termasuk dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan.

Jadi, tidak mengherankan jika pabrik industri hukum di Indonesia yang dalam hal ini tertuju pada pemerintah (eksekutif) dan DPR selaku legistlatif massif dalam memproduksi produk hukum di setiap tahunnya. Sejak satu periode masa pemerintahan jokowi tahun 2014-2019, terdapat 10.180 regulasi yang diterbitkan (databoks, 21/1/2020). Sedangkan secara kumulatif, hingga tahun 2022 jumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini mencapai 42.016 (peraturan.go.id).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fokus Bahasan

Fokus bahasan yang penulis ingin sajikan dalam tulisan ini bukan mempersoalkan mengenai ketidaksesuaian Indonesia apabila dijadikan sebagai rechtsstaat, pun bukan pula mengkritik mengenai menumpuknya produk hukum di Indonesia yang merupakan implikasinya. Tetapi, titik bahasan utama yang penulis ingin telisik adalah terkait bagaimana tujuan dan implementasi di bentuknya produk-produk hukum yang menumpuk tersebut. Apakah instrumen hukum yang dibentuk mampu menyelesaikan masalah kenegaraan? atau malah sebaliknya menambah persoalan?

Jika menilik teori hukum yang sering dikumandangkan oleh para akademisi dan mahasiswa hukum yang di adopsi dari Gustav Redbruch, terdapat tiga tujuan utama mengapa hukum itu lahir, yaitu untuk mencapai keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kebermanfaatan (zweckmabigkeit) yang menyasar seluruh elemen masyarakat (Muhammad Erwin, 2012: 123).

Namun, demikiankah fakta produk hukum yang ada? Berkaca pada produk hukum di Indonesia, teori Gustav Redbruch benar. Benar dalam artian bahwa produk hukum yang diciptakan membawa banyak kebermanfaatan, keadilan dan kepastian pada kalangan masyarakat kelas atas untuk terus meningkatkan taraf kehidupannya, tetapi tidak untuk kalangan masyarakat kelas bawah yang rentan dan termarjinalkan.

Ketika kalangan kelas atas (kapitalis) menuntut agar proses investasi dipermudah untuk kepentingan akumulasi kekayaan (capital), pabrik industri hukum terlihat mudah menyerap tuntutan yang kemudian diwujudkan dengan mengeluarkan produk hukum yang sunyi akan partisipasi dan senyap akan keterbukaan (transparansi).

Tidak cukup sampai disitu, jaminan keamanan dan perlindungan investasi juga turut diperkuat dalam muatan materi produk hukum yang dibentuk. Disisi lain, alat kelengkapan negara seperti oknum TNI-POLRI dijadikan tameng penghadang seluruh tuntutan dan aspirasi masyarakat yang terdampak oleh aktivitas investasi. Tindakan kriminalisasi dan diskriminasi terhadap masyarakat terdampak yang meminta belas kasih terlihat legal dilakukan untuk mempermulus laju investasi. Disini, istilah hukum di Indonesia tebang pilih, tumpul ke atas dan tajam ke bawah terbukti.

Selain contoh diatas, kesenjangan hukum (legal gaps) di kalangan masyarakat kelas bawah dan kelompok rentan akan mudah ditemukan dalam berbagai produk hukum yang berlaku saat ini, baik di tingkat nasional maupun lokal. Menurut siaran pers Komnas Perempuan di tahun 2021 tentang Percepatan Penanganan Kebijakan Diskriminatif Demi Pelaksanaan Mandat Konstitusional, sejak tahun 2009 terdapat 421 kebijakan hukum yang diskriminatif di Indonesia (komnasperempuan.go.id, 1/12/2021).

Pada aspek produk hukum yang akan datang (ius constituendum), salah satu tipe hukum represif (hukum kekuasaan) yang perlu dikawal lebih lanjut adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), karena memuat banyak ketentuan yang krusial dan mengancam nilai demokrasi. Mulai dari pembatasan hak kebebasan masyarakat dalam mengeluarkan pendapat terhadap penyelenggaran pemerintahan, pembatasan kebebasan berekspresi, hingga intrik contemt of court yang mengancam kebebasan pers. Dalam studi hukum tata negara, potret hukum semacam ini dikenal dengan autocratic legalism.

Mengutamakan Partisipasi Publik

Hemat penulis, salah satu causa maraknya produk hukum yang menindas di Indonesia tidak lain karena kurangnya partisipasi masyarakat untuk dilibatkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Berkaca pada beberapa tahun terakhir, pabrik industri hukum bagaikan kilat dalam menciptakan produk hukum dalam ruang yang gelap.

Keterlibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang terasa sangat dibatasi dengan berbagai cara baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tidak memiliki akses dalam proses pembentukan undang-undang, sehingga undang-undang yang dihasilkan tidak jarang terlihat menindas dan diskriminatif.

UU perubahan UU KPK, UU MK, UU Cipta Kerja, hingga UU Ibu Kota Negara (UU IKN) terbilang cukup untuk dijadikan bukti bagaimana hilangnya akses masyarakat dalam pembentukan produk hukum.

Pelibatan masyarakat dalam pembentukan produk hukum adalah faktor penting kesuksesan pelaksanaan suatu kebijakan hukum. Bukan karena ketentuan tersebut merupakan instrumen legal-prosedural, tetapi karena masyarakat adalah pihak yang sangat memahami kondisi nyata dan selaku sabjek yang akan menghadapi dampak dari pelaksanaan suatu peraturan yang hendak diciptakan. Jika pembentukan produk hukum tertutup dan nihil partisipasi masyarakat, maka tujuan dibentuknya hukum tersebut menjadi patut untuk dipertanyakan.

Ketentuan urgensi peran dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan hukum sebenarnya telah menjadi kalusul yang hampir usang untuk diteriakkan. Meskipun telah diatur dalam peraturan spesifik (lex specialis) yang mengatur tentang pembentukan produk hukum, namun pada tataran implementasi sangat sulit untuk ditemukan.

Pasal 96 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah jelas menyatakan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”.

Dalam penjelesan yang lebih lanjut, Pada halaman 393 Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dikatakan bahwa penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara bermakna (meaningful participation), tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga prasyarat utama, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah dan DPR untuk memenuhi aturan main negara hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketentuan UU 13/2022 dan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 sebagaimana yang telah dijabarkan diatas telah tegas mengamanahkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan hak yang tidak bisa dibatasi, harus dilindungi dan diwujudkan.

Meminjam pernyataan Buvitri Susanti (Kompas, 7/72022), “Jangan takut dengan partisipasi. Partisipasi akan menjadi saluran politik yang baik sehingga ”kegaduhan” yang muncul adalah keramaian pendapat yang justru penting dalam demokrasi”.

Ikuti tulisan menarik Fajrianto Rahardjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler