x

Demokrasi

Iklan

Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau)

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Agustus 2020

Jumat, 15 Juli 2022 07:58 WIB

Demokrasi Tanpa Nalar

Lebih dari soal kebebasan dan kesamaan politik warga negara, demokrasi menghendaki kesetaraan dan keadilan ekonomi. Bung Hatta menyebutnya “demokrasi politik dan demokrasi ekonomi” harus berjalan seiring-seimbang. Namun dalam praktik, demokrasi prosedural mendominasi, dan demokrasi ekonomi terabaikan. Inilah zaman demokrasi tanpa nalar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demokrasi macam apa yang sedang berlangsung ini? Pertanyaan yang acap muncul di benak kita kala melihat praktik demokrasi melenceng dari makna tujuannya. Demokrasi seakan jalan di tempat, prosedural pemilu saja. Padahal, gagasan demokrasi Pancasila menyoal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nyatanya, kesenjangan sosial teramat dalam, politik uang saat pemilu banyak, dan partisipasi rakyat lemah.

Demokrasi seperti itu dijalankan jauh dari nalar sehat. Apakah itu disebut sebagai negara demokratis? Sebelum lebih jauh menilai, kita perlu memahami konsep demokrasi terebih dulu.

"Demokrasi disebut juga sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat atau kekuasaan yang berada di tangan rakyat sebagaimana makna harfiahnya demos dan kratos."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Negara demokrasi, pemerintah dipilih oleh rakyat dan bekerja untuk mewujudkan cita-cita bersama, sebagai pelayan rakyat. Konsep demokrasi pertama kali dicetuskan di Athena, Yunani. Secara perlahan konsep demokrasi diterapkan di banyak Negara. Bahkan sampai saat ini sistem pemerintahan demokrasi paling populer dibanding dengan sistem pemerintahan lainnya, yakni dianut tiga perempat Negara di dunia.

Secara umum konsep demokrasi menghendaki kemerdekaan (liberte), kesetaraan (egalite), dan kekeluargaan (fraternite), serta keadilan bagi seluruh warga negara. Gagasan ini pada intinya bercita-cita memanusiakan manusia tanpa pilah-pilih.

Lebih dari soal kebebasan dan kesamaan politik warga negara, demokrasi juga mengamanatkan adanya kesetaraan dan keadilan ekonomi. Bung Hatta menyebutnya “demokrasi politik dan demokrasi ekonomi” harus berjalan seiring-seimbang.

Melihat realitas saat ini tampak praktik demokrasi lebih dominan pada demokrasi politik semata yang bertumpu pada demokrasi prosedural. Semarak saat Pemilu namun pasca pemimpin terpilih sangat ekslusif dalam penyelenggaraan pemerintahan ‒minim partisipasi dan tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Akibatnya, demokrasi kita kental dengan praktik politik uang (money politic) saat proses kampanye dan Pemilu berlangsung. Suara rakyat dibeli. Substansi pemimpin dikesampingkan. Biaya Pemilu tinggi. Akhirnya pemimpin terpilih minim kualitas, dan saat terpilih sibuk berburu rente untuk kepentingan mengembalikan modal Pemilu.

Selain itu, demokrasi ekonomi jarang tersentuh yang tampak dari lebarnya jurang ketimpangan sosial. Akses ekonomi hanya dikuasai segelintir elite penguasa (oligarki) yang mendominasi dan mengeksploitasi kaum lemah. Pada titik ini sulit rasanya berbicara hak asasi manusia, kebebasan dan kesetaraan politik tanpa adanya keadilan ekonomi. Kondisi ini seolah memperhadapkan pemerintah dan rakyat seperti musuh, tidak lagi saling mengisi; mengingkari nilai demokrasi, merugikan rakyat. Inilah zaman demokrasi krisis akal sehat.

Dinamika demokrasi yang kini sedang berlangsung inilah yang dipotret oleh Luthfi J. Kurniawan yang dituangkan dalam buku berjudul “Demokrasi Tanpa Nalar”. Penulis merupakan seorang akademisi sekaligus praktisi yang sudah sejak lama bergiat dalam gerakan sosial, sehingga membuat tulisannya tajam dan dekat dengan realita. Buku ini secara sistematis menjelaskan tiga bagian utama, yakni tentang demokrasi yang terkoreksi, menyoal cita negara kesejahteraan, dan membahas kewarasan yang tertelan kuasa. Perpaduan konsep-teori demokrasi dan refleksi-kritik atas realita politik kini diiringi tawaran solusi dan gagasan perubahan membuat buku ini penting dan berharga.

Tak hentinya penulis melahirkan karya yang memberi rasa kepedulian sekaligus mengajak-menggerakkan para pembacanya untuk terus melakukan perubahan bagi kebaikan peradaban. Apresiasi tak terhingga atas lahirnya karya ini, semoga menjadi jembatan penghubung lahirnya karya-karya berikut. Buku saku terbitan Intrans Publishing ini baik dibaca oleh semua kalangan, sebab bahasanya sederhana dan renyah dipahami, serta menggelitik. Cocok dibaca saat santai  sembari berdiskusi ditemani secangkir kopi. Selamat membaca!

Ikuti tulisan menarik Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau) lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB