x

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 19 Juli 2022 09:06 WIB

Dua Cinta di Puncak Jaya

Novel ini berkisah tentang seorang laki-laki tanpa sengaja masuk dalam gerakan perempuan Papua merdeka yang ingin kembali menemui keluarganya di tanah Jawa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Prolog

Pengunjung pusat perbelanjaan di pinggiran Kota Jayapura berhamburan. Jeritan histeris sahut menyahut memenuhi ruangan. Terdengar letusan senjata, tetapi tak seorang pun tahu dari mana asalnya. Seorang laki-laki tersungkur persis di baris antrean depan kasir. Peluru menembus jaket kulitnya, melesak merobek kulit, bersarang tepat di jantungnya.

Darah mengalir dari lukanya, membentuk lingkaran di permukaan lantai. Laki-laki itu belum meninggal dunia rupanya. Setelah memandang ke arah Rio, telunjuk kanannya bergerak di atas lantai, mungkin membentuk huruf, mungkin juga angka dengan darahnya sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rio berdiri tegang. Tak bisa bergerak, meski ia tahu petugas kasir, dan orang-orang yang antre di belakangnya sudah menyingkir. Mereka bergerombol di beberapa bagian ruangan toko. Ketika ia hendak beranjak pergi, tiba-tiba seorang perempuan bergerak mendekati, dan menyelipkan lipatan kertas ke saku celananya. Lalu, berlari ke arah jejalan pengunjung. Belum sempat ia memanggil, perempuan itu telah menghilang dari dari pandangan matanya.

Keributan masih terus mewarnai pusat perbelanjaan itu. Orang-orang berlarian mencari selamat. Di bagian dalam supermarket, seorang laki-laki tampak bersembunyi di samping rak buah-buahan dengan tangan menyilang di wajah. Rio melihat seorang perempuan menggendong anak laki-laki di sebelah kanan tubuhnya, dan menggandeng anak perempuan dengan tangan kirinya. Anak itu sesekali terangkat, kakinya tak menginjak tanah, sesekali menapak kembali. Layaknya terbang.

Orang-orang berebut jalan, berjubel di pintu keluar utama. Semua ingin duluan, mereka berdesakan di pintu yang tak seberapa lebar. Kendaraan roda dua, roda empat, dan orang-orang saling berebut hendak melewati pintu gerbang. Akhirnya, tak ada yang bisa bergerak maju dan mundur. Para pengendara saling caci untuk mendapatkan jalan. Brak …, terdengar suara keras. Seorang laki-laki pembonceng motor memukulkan tongkat besinya ke atap sebuah sedan.

Warga di sekitar pusat perbelanjaan berbaris-baris di tepi jalan, kanan dan kiri. Mereka saling berbincang dengan orang yang berdiri di sebelahnya. Suara raungan kendaraan keamanan bersahut-sahutan ditingkahi suara ambulans yang siap membawa jenazah ke rumah sakit. Sepasukan tentara dan polisi berjaga-jaga, sebagiannya memasang garis polisi. Tak ada lagi yang bisa memasuki pusat perbelanjaan, dan warga yang masih di dalam gedung harus segera meninggalkan tempat.

Sebagian orang tampak enggan keluar gedung, sepertinya masih hendak tahu yang akan terjadi. Namun, pihak berwenang memaksa mereka keluar dengan mendorong semua pengunjung yang masih bergerombol-gerombol. Mereka keluar dengan mengomel, dan pandangan marah, merasa terganggu kepentingannya.

Setiap kali terjadi pembunuhan, selalu saja orang terbawa kembali pada berbagai peristiwa kekerasan di Papua. Tak pernah ada yang bisa memastikan pembunuhan karena motif politik, dendam pribadi dan kelompok, atau tindakan kriminal murni. Suasana akan terasa mencekam sampai berhari-hari, ada ketakutan terjadi balas dendam, mereka yang sama sekali tak bersalah sangat mungkin menjadi korban. Ketakutan ini cukup beralasan, santer terdengar pembunuhan di pusat perbelanjaan di Jayapura itu ada hubungannya dengan pembunuhan yang terjadi di kabupaten Keerom.

Rio sudah sering membaca cerita pembunuhan di Tanah Papua, peluru-peluru dan anak-anak panah yang selalu meminta korban jiwa, tak peduli asal sukunya, tak peduli profesinya, dan tak peduli latar belakang sosialnya. Tak urung,  Rio tetap saja bergetar, ada rona memucat di wajahnya, dalam peristiwa nyata di depan mata, bagaimana orang tiba-tiba jatuh ke lantai terbujur kaku, tak lagi berdetak jantungnya. Sebutir peluru panas atau anak panah tajam menembus jantungnya.

Setiap kali Rio mengingat penembakan di Mal, menyembul urat-urat di wajahnya, dan membasah keringat. Ia merasa memiliki amanat memahami, dan menyampaikan pesan dalam kertas. Dalam keputusasaan, ia menggerakkan telunjuknya mengikuti coretan-coretan dalam lembaran kertas. Entah sudah berapa kali mengulanginya, sampai tiba-tiba melintas dalam bayangan, gerakan itu sama persis dengan gerakan telunjuk laki-laki korban penembakan di Mal. Rio menduga, gerakan berbentuk simbol dan huruf acak itu merupakan kode rahasia, tetapi entah kepada siapa, dan untuk apa?

Kepada David, Rio pernah menanyakan mengenai keberadaan simbol-simbol dalam gerakan di Papua. Kode-kode rahasia sebagai model komunikasi antar kelompok, sehingga pihak lain tak mengetahuinya. Ini semacam sandi, dalam tradisi kekuasaan masa lampau. Di Jawa, misalnya, setelah Pangeran Diponegoro kalah dalam Perang Jawa, para pengikutnya menanam dua pohon sawo kecik di depan rumah sebagai tanda sama-sama pengikut Pangeran Diponegoro.

David tak pernah memberikan jawaban pasti. Alih-alih menjelaskan, ia malah terkesan menghindar dari pertanyaan-pertanyaan itu. Lama tak menjawab, ia bergegas masuk kamar indekos, dan keluar dengan segepok dokumen, sebagiannya tulisan dan sebagian lain audio-visual tersimpan dalam flash disk. Lalu memberikan dokumen itu kepada Rio, dan mengatakan, “Coba ko baca dan lihat video-video itu dulu.”

Rio menengadahkan kepala, seakan ingin menembus atap rumah kontrakan, dan mengajukan puluhan pertanyaan kepada penguasa langit. Kulit di keningnya tampak membentuk kerutan-kerutan, seperti sedang berpikir keras tentang apa yang terjadi pada dirinya, dan apa yang akan menimpanya kemudian hari. Lelah menunggu, dan petunjuk itu tak juga hadir. Jangankan isyarat langit, mimpi pun tak pernah menghampiri dalam tidurnya.

Ia duduk di teras rumah kontrakan. Wajahnya terlihat kusut dan lelah. Tangannya memegang kertas berisi simbol-simbol itu. Lembaran kertas itu tanpa ia sadari telah menempatkan dirinya menjadi buronan pihak keamanan dan buronan orang-orang yang ingin merdeka. Celakanya, Rio tetap belum bisa memecahkan simbol dalam selebar kertas itu.

“Saya tahu pasti kertas ini sangat berharga. Saya akan menjaga dan mengantarkan kepada perempuan yang telah memercayakan kertas itu kepadaku”.[]

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler