(Bagian 1)
Dimana bias sebuah polemik? Ketika masing-masing pihak melontarkan idenya dengan khas yang mungkin tak terbantah, muncul mahluk bernama bias. Topik membelok di kelokan nan elok. Sosok pengopini mulai ditelisik. Kalau ada kaitan dengan topik, itu cuma dijadikan sebagai serempetan.
Belajar dari Kasus PR Matematika
Ini kasus lama yang sempat viral. Delapan tahun lalu, pada 2014, pada kasus Habibi, siswa kelas II SD yang belakangan bikin heboh lantaran PR yang pengerjaannya dibantu oleh kakaknya - mahasiswa Jurusan Teknik Mesin – disalahkan oleh guru SD-nya.
Perdebatan soal pekerjaan rumah (PR) mata pelajaran Matematika, tepatnya tentang operasi perkalian yang diposting oleh akun Muhammad Erfas Maulana.
Diberitakan sebelumnya, persoalan dimulai dari posting Muhammad Erfas Maulana, mahasiswa Teknik Mesin Universitas Diponegoro. Erfas yang membantu adiknya mengerjakan tugas matematika memertanyakan alasan guru menyalahkan jawaban sebuah soal.
Dalam soal tugas itu, guru meminta adik Erfas untuk menyatakan 4+4+4+4+4+4 dalam operasi perkalian. Adik Erfas menuliskan jawaban bahwa 4+4+4+4+4+4 = 4x6.
Jawaban itu, menurut Erfas, seharusnya benar. Namun, ternyata sang guru menyalahkan. Menurut guru, jawaban yang seharusnya adalah 6x4.
Celoteh Pengopini
Yuk, kita baca para pengopini berceloteh baik lewat twiter, blog, facebook maupun media massa cetak.
Profesor Matematika dari fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB), Hendra Gunawan saat itu menyoroti dari sisi penyajian soal. Hendra menuturkan, penjumlahan berulang memang diajarkan lebih dahulu daripada perkalian. Namun, soal yang diberikan guru Habibi, jelas memperlihatkan bahwa perkalian dianggap sebagai 'singkatan' dari penjumlahan berulang.
"Padahal, penjumlahan berulang bisa dipandang sebagai metode atau cara untuk menyelesaikan persoalan perkalian. Karena itulah, sebelum belajar perkalian, penjumlahan berulang diperkenalkan terlebih dahulu. Tujuannya, ketika anak belajar perkalian, senjatanya sudah ada," tutur Hendra.
Dalam konteks ini, kata Hendra, guru seharusnya memulai dengan soal perkalian. Lalu, meminta anak untuk menyelesaikannya dengan menggunakan penjumlahan berulang.
Dosen Matematika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Rizky Rosjanuardi menjelaskan pokok permasalahan Habibi dengan dua sudut pandang, antara konsep dan konteks. Secara garis besar dapat dipahami pengertian konsep berkaitan terkait sesuatu yang abstrak. Namun secara ilmu matematika, konteks menjadi hal yang jauh lebih penting.
Dia mencontohkan 4 X 6 dengan soal cerita. Secara konsep diartikan bahwa ada empat orang membawa enam kantong kresek, hal tersebut berbeda dengan konteks yang diartikan bahwa ada enam orang membawa empat kantong plastik.
Menurutnya, permasalahan perbedaan tempat antara 4 dan 6 di soal siswa kelas II SD bukan hal yang urgen. Menjadi serius ketika guru memberikan pemahaman kontekstual terhadap konsep matematika anak SD.
(Bersambung)
Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.