Aku tak habis pikir, mengapa engkau berbuat seperti itu? Melanggar batas norma, adab, dan kodrat sebagai kaum hawa. Apa sebenarnya yang hendak engkau maui? Adakah kekurangan dari lelaki kesatria yang telah menyuntingmu? Memang, masih merasa kurangkah engkau? Dijadikan sebagai permaisuri dari sang kesatria, punya jabatan dan kedudukan, terhormat di mata orang sekitarmu, bahkan di mata orang seantero jagad. Tak berlebihanlah kiranya anggapan itu. Karena, nyatanya memang begitu.
Semua orang, tak secuilpun menyangkal, tak terkecuali aku. Bila engkau memang dikaruniai Tuhan berparas ayu, teramat ayu. Berkulit mulus halus, bertubuh molek yang nyaris sempurna, meski tiada manusia yang bisa dikata sempurna, raga maupun perilakunya. Lelaki manapun, akan terkesima ketika menyaksikan dan memandang wujud sosok ragamu. Dan, itupun hanya akan pada batas terkesima, sebagai kaum adam yang normal, bernorma dan beradab. Sebab, akan menyadari keberadaanmu yang telah memasuki ranah janur melengkung, dan beranak pinak pula. Akan menjadi beda, manakala memandangmu hanya dengan mata kepala, bukan dengan mata hati nan jernih yang hanya melahirkan pikiran kusut, lalu berandai-andai dalam gelombang frekuensi negatif di bawah standar nol. Nafsu mbeling pasti akan mengusik lantaran hanya sebatas dari mata kepala.
Mungkin engkau belum sampai pada pautan pemikiran, bahwa hidup ini akan selalu bertumpu kepada sebab akibat. Akibat yang diterima manusia saat ini, adalah takkan jauh dari sebab yang pernah dijalani. Mungkin saja engkau belum sampai ke sana, beripikir jauh, sejauh nun jauh di ujung bumi, untuk menjadi manusia insan kamil. Menjadi sang permaisuri dari lelaki kesatria yang nyata telah mumpuni sebagai bapak, jendral, guru dan sahabat bagi keluarga batihmu, dirimu dan anak-anak buah hatimu ...
Dar ... dor ... dar ... dor ...
Berujung pada korban yang semestinya tak perlu terjadi, bila bukan lantaran ulahmu, perilakumu yang menyimpang nyata. Menyimpang dari norma kepatutuan layaknya permaisuri, belahan jiwa sang kesatria, ibu dari anak-anakmu. Tragedi, berbuah korban kematian yang tak seharusnya. Lentera kasih sebagai ibu bagi anak-anakmu, garwa bagi sang perwira yang mengayomimu, tercederailah sudah. Aibmu terendus, tak disangka dinyana, yang tertutup oleh busana mahkota kehormatanmu sebagai sang permaisuri.
Tersingkaplah tabir tirai yang selama ini engkau jadikan tebeng untuk menyembunyikan perilaku nista aibmu, bermain petak umpet dengan sang prajurit muda yang biasa mengawalmu, melindungimu kemana saja engkau melenggang. Aroma birahi nakalmu, membius lelaki prajurit muda pengawalmu. Gejolak birahi nakalmu yang tak tertahankan karena keakuanmu, disambut oleh sosok jiwa muda yang tak kuasa menolak akan rasa ingin tahu untuk mengalaminya, nikmatnya mencuri kesempatan di saat sempit, di ruang sempit. Terpenuhilah maumu, birahi nakalmu. Kata berjawab, gayungpun bersambut. Klop!
Sang lelaki kesatriamu pun jadi murka lantaran telah mengendus apa yang telah engkau lakukakan bersama sang lelaki prajurit pengawalmu, yang tak lebih dari bagian dari orang yang dipercaya oleh lelaki kesatriamu. Bapak, jendral, guru bagi keluarga batihmu. Ini harus disudahi! Tak boleh dibiarkan berlarut, keterlaluan! Begitu, murkanya sang lelaki kesatriamu. Naik darah berpitam, akal sehatpun tak kokoh lagi, lunglai, bermuntahlah amarah. Tragedi sebab dari ulah laksana buah apel yang sudah tak ranum lagi, tak bisa dihindari, sebagai cara untuk menyudahi di kala emosi sang lelaki kesatria yang tak terkendali. Hanya satu kata yang ada dalam benaknya, sudahi ..! Dengan cara, habisi! Demi sebuah kehormatan dan harga diri bagi sang lelaki kesatriamu yang terusik dan tercabik-cabik karena ulahmu, birahi nakalmu.
Senja yang terlarang, tragedi dari pikiran lelaku menyimpang
Sang permaisuri yang telah menanggalkan jati diri pribadi
Menerobos batas pagar ayu, meluapkan nafsu birahi nakal yang mengharu biru
Lalu, direkalah jalannya kisah agar tak merebakkan aroma aib
Yang dipicu oleh karena ulah sang tambatan hati belahan jiwa
Namun sayang, reka kisah yang dikumandangkan oleh sang juru wicara
Tak kuasa mengelabui sebuah logika, dan berujung pada janggalnya warta bagi khalayak yang mendengar dan menyimaknya ...
Senja yang terlarang, kisah pilu tragis yang meradang
Menggoyang seantero negeri, menghentak penghuni ibu pertiwi yang tengah lelap dalam lena.
Kota Malang, Juli hari kedua puluh, Dua Ribu Dua Puluh Dua.
Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.