x

Tan Malaka. Foto: Wikipedia

Iklan

Ricko Blues

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Jumat, 22 Juli 2022 07:39 WIB

Selama 20 Tahun Berkelana, Tan Malaka Akhirnya Pulang ke Indonesia (Bagian 2)

Selama kurang lebih 20 tahun hidup di pengasingan, Tan akhirnya kembali ke tanah airnya dengan mengunakan kapal tongkang. 10 juni 1942, ia menginjakan kaki di tanah Medan dengan nama samaran Legas Husein. Dari Medan ia menyusup ke Padang sebagai Ramli Husein dan masuk pulau Jawa melalui Lampung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Periode Jawa

Ia tiba di Jakarta pada Juli 1942 dan tinggal di wilayah Rawajati sambil menulis Madilog dan ASLIA. Inilah periode tenang Tan di mana ia lebih banyak mencermati kehidupan masyarakat sekitar dan menulis buku. Ia bangun pada pukul 6 pagi dan mulai menulis hingga pukul 12 siang. Kadangkala ia berjalan kaki menuju ke perpustakaan dan museum sekadar mencari referensi untuk mahakaryanya Madilog. Di perpustakaan Gambir, Jakarta ia bertemu dengan seorang budayawan Jawa, Dr. Purbacaraka dan konon dari dialah Tan menemukan kata ‘Murba’, yang kelak menjadi nama partai yang ia dirikan di Indonesia.

Pada 1943, berkat masukan dari Dr. Purbacaraka pula, Tan akhirnya bekerja sebagai kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten menggunakan nama Ilyas Hussein. Di Bayah, Tan Malaka menjadi saksi betapa bengisnya penderitaan dan duka nestapa para romusha. Di tempat ini pula, dalam sebuah seminar, Tan atau Hussein yang bertugas menyiapkan makanan dan minuman dalam seminar, membantah pidato Soekarno dalam sebuah sesi tanya jawab. Presiden pertama RI itu belum mengetahui kalau pria lusuh yang membantah pidatonya adalah Tan Malaka, penulis buku Naar de Republiek, yang karyanya sudah ia baca dengan kagum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari Banten, Tan mulai terlibat dalam organisasi dan berbagai aktivitas pergerakan pemuda. Orang-orang mulai mencari tahu siapa sebenarnya pria cerdas dan berani bernama Hussein ini; mereka yang penasaran termasuk Soekarni dan Chaerul Saleh, dua pemuda yang juga menculik Soekarno-Hattta ke Rengasdengklok. Mereka curiga Hussein bukan ‘orang biasa’. Hingga pada akhirnya Tan pun membongkar identitasnya yang sebenarnya. Pertama-tama ia memberitahukan kepada karibnya, Ahmad Soebardjo. Kejadian ini berlangsung di rumah Soebardjo beberapa hari setelah proklamasi. Ia kaget melihat Tan yang duduk di sudut ruangan.

“Wah, kau Tan Malaka,” katanya. “Saya kira sudah mati. Sebab saya baca di surat kabar bahwa kau disebut korban dalam kerusuhan Birma, ada lagi kabar bahwa kau ada di Yerusalem, dan dikatakan mati dalam kerusuhan Israel.”

Tan lalu menjawab sambil tertawa dalam bahasa Belanda, “ Onkruid vergaat toch niet” yang berarti ‘alang-alang tak akan musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya.”

Dari perkenalan ini, Tan jelas ingin sekali ingin terlibat secara langsung dalam kemerdekaan. Ia tidak ingin bekerja secara ilegal lagi, “sampai sekarang saya bekerja incognito (tidak resmi) di bawah tanah. Sekarang Indonesia sudah merdeka, saya ingin hidup dan bergerak di atas tanah. Saya ingin menemui dan mengenal pemimpin-pemimpin Indonesia.”

Dengan demikian, semua orang pun akhirnya tahu kalau Hussein adalah Tan Malaka, tokoh yang sangat populer di Indonesia pada masa pra-kemerdekaan. Tulisan-tulisannya memberi inspirasi kepada para tokoh pergerakan dalam berjuang merebut kemerdekaan.

Kabar kembalinya Tan Malaka ini juga sampai ke telinga Soekarno dan Hatta. Soekarno meminta Sayuti Melik menjembatani pertemuan keduanya. Dari pertemuan inilah lahir ‘wasiat’ Soekarno yang kontroversial itu. Ia memberi sebuah testamen politik kepada Tan Malaka untuk memegang tongkat revolusi (memimpin Indonesia) bila keadaan darurat menimpa Soekarno dan Hatta.

Menurut S. K. Trimurti, istri Sayuti Melik, testamen politik yang tidak disetujui banyak kalangan ini akhirnya dimusnahkan oleh Soekarno sendiri pada tahun 1964.

Tan Malaka mulai tampil terbuka. Ia adalah salah satu toko penting yang menggerakan pemuda menggelar rapat raksasa di lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Harry Poeze berhasil mengungkap keterlibatan langsung Tan Malaka ini melalui foto-foto sejarah dalam rapat akbar itu. Soekarno tampak berjalan beriringan dengan seorang pria paruh baya yang lebih pendek darinya. Pria itu mengenakan topi (atau helm) tambang, berbaju kemeja, celana pendek. Tidak lain lagi pria itu adalah Tan Malaka.

Pada 1 Januari 1946, Tan menggalang kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto untuk mengambil alih kekuasaan dari tentara sekutu. Pada 17 Maret 1946, Tan dan Soekarni ditangkap di Madiun karena Persatuan Perjuangan dituduh hendak mengkudeta pemerintahan Soekarno-Hatta. Penahanan Tan dan kawan-kawannya ini banyak diprotes masyarakat terutama dalam kalangan pers. Banyak tokoh juga tidak sepakat hingga mereka bertemu Soekarno dan menuntut pemerintah membebaskan Tan Malaka dan kawan-kawan seperjuangan.

Sejak itu, Tan dan Soekarni hidup dari penjara ke penjara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Juni 1948, keduanya dipindahkan ke penjara Magelang. Di sinilah Tan menulis buku otobiografinya sendiri berjudul Dari Penjara ke Penjara yang dipublikasikan sebanyak tiga jilid. Dari buku inilah banyak orang pun tahu perjuangan Tan Malaka sejak awal. Pada 16 September 1948 keduanya dibebaskan dan segera mendirikan partai Murba di Yogyakarta pada 7 November 1948. Partai Murba tetap bertahan bahkan ketika Tan Malaka dinyatakan hilang. Banyak kalangan menilai hilangnya Tan Malaka telah melemahkan partai itu.

bersambung...

Ikuti tulisan menarik Ricko Blues lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler