x

KisahRumah Tangga

Iklan

Miri pariyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Kamis, 28 Juli 2022 19:04 WIB

Bertemu di Persimpangan Jalan

“Bukankah rumah adalah tempat berteduh yang paling nyaman, lalu mengapa kamu berlari? Mencari tempat yang paling rindang dibanding rumahmu sendiri?”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti biasa, ritus pagiku duduk di teras rumah sambil menyeduh kopi dan membaca buku kesukaanku. Banyanganku pagi ini, seperti biasanya, ternyata tidak. Suara barang berjatuhan hingga suara teriakan mengusik gendang telingaku. Heran tak berkesudahan, ternyata suara itu berasal dari rumahku sendiri. Ayah dan bunda seperti orang asing yang dipaksa hidup dalam satu atap.

Tak mengerti apa yang membuat mereka bertengkar hingga aku tak mengenal mereka sebagai pasangan yang berkerjasama melahirkanku ke dunia. Jauh di lubuk hati yang mendalam sebenarnya, aku tidak mengingikan peristiwa itu terjadi. Namun, siapa aku yang mampu mengontrol mereka? Toh, aku tetap seperti anak kecil di mata mereka, yang masih belum merasakan pahit manisnya kehidupan, walaupun umurku sudah 18 tahun.

Ayah, tiba-tiba keluar dengan penuh amarah, dia meninggalkanku sendiri, tanpa kecupan dahi yang biasanya ayah berikan ketika berpergian. “Ya, Tuhan apa yang terjadi pada mereka,” gerutuku dalam hati, rasanya campur aduk perasaan ini dan tak bisa tuk menahan tagisan itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sedangkan bunda, menangis di dalam kamar, barang-barang pun berserakan. Tak kuasa menghampiri bunda. Aku berdiri dan hanya menatap keadaan rumah yang tak lagi ada tawa, senyum atau pun kebahagiaan lainnya. Semua berubah, air mata pun berjatuhan tanpa suara mengikutinya. Kamu tau seperti apa? Seperti tertusuk duri mawar.

Mawar yang ditanam lalu mekar, seperti rumah ini yang dibangun dengan fondasi cinta mereka, lalu dimusnahkan oleh mereka sendiri. Itulah yang ku rasa. Teriak sekencang-kencangnya hal inilah menjadi keinginan untuk melampiaskan ketakutan, kegundahan, hingga kemarahan. Aku mengigit bantal tuk menahan melakukan itu. “Ada apa dengan keluargaku?”

Tak terasa air mata ini membasahi seluruh wajah hingga tak ada lagi air mata yang bisa ditetaskan kembali. Aku kembali melihat kondisi bunda. Ternyata sama saja, bunda tetap berbaring, namun tak ada lagi sesegukan tangisan yang terdengar. Semoga bunda terlelap dan memimpikan kebahagian hingga menenangkannya.

“Kembalilah ayah,” itulah pintaku padanya. Menghubungi ayah nomernya pun tak aktif. Cacing dalam perutku meminta haknya, namun ku lihat seisi dapur, ternyata bunda tak memasak apa pun, kulkaspun tak ada isinya hanya air dingin. Aku cari hingga mendapat makanan tuk memulihkan energiku yang cukup terkuras. Ternyata, aku hanya menemukan dua mie goreng di atas lemari. Tetap ku lahap mie itu sebab lapar sudah tak bisa tertahan lagi.  Sampai habis pun makanan ini, ayah tak kembali. Sudahlah, mungkin ayah maupun bunda, memang butuh jeda untuk memulihkan kondisi itu.

Pagi hari, mata bunda yang membengkak besar, membuat wajah penuh kesedihan, dan bunda menyuruhku membeli sayur di Pak Anton. Tak biasanya bunda menyuruhku membeli sayur. Berjalan perlahan meninggalkan rumah, tatkala baru tiba, seseorang tetangga berujar “Ayahmu masih belum kembalikah?” sulit tuk mendengar ocehan itu, aku harus jawab apa, ternyata aku paham mengapa bunda memintaku pergi. Tak apa-apalah aku yang menanggung sakit jangan bunda. Dengan tegar aku tersenyum dan sulit untuk berkata “Belum”. Tapi, bagaimana aku dapat mengontrol itu semua “toh”, hidupku memang bertetangga tak bisa ku merahasikan itu, sedangkan gemuru suara mereka sampai terdengar di sebelah tetangga pula.

Segeralah aku tinggalkan kerumunan itu, walaupun aku tau bunda dan ayah menjadi buah bibir tetangga. Aku menarik napas tuk berusaha baik-baik saja di depan bunda. Tidak ada yang dapat mengontrol persepsi mereka, yang dapat kita lakukan adalah tuk bersikap baik-baik saja. Menyakitkan, bukan?

Bunda terlihat cerah dibandingkan tadi pagi, itu cukup membuatkan lebih tenang. Dia memasak tanpa banyak ucap, tidak seperti bisanya. Usai memasak dia memanggil untuk mengajak makan bersama, namun dia hanya memasak satu piring nasi goreng dengan forsi lebih banyak. “Ayo makan,” ujarnya. Lalu, aku menjawab “Kita berdua makan satu piring?” dia hanya menjawab dengan anggukan.

“Nak, kalau ayah dan bunda pisah, apa yang kamu setuju?”

Rasanya tercabik-cabik mendengar itu, rasanya ingin ku hentikan percakapan itu. Apa yang terjadi? Apa ini jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah mereka? Apa dengan cara cerai adalah pilihan terbaik? Tagisku ingin pencah, tapi “sial” kenapa tak bisa menangis, napasku tak kerontrol, suara denyut jantung semakin kencang.

Perlahan ku letakan sendok dan aku bilang “Butuh waktu tuk menjawab itu,” berlari ke kamar sambil menetaskan air mata, tak sanggupku mendengarkan ucapan itu. Aku masih hidup, tapi dipaksa unuk mati sedini mungkin. Mati akan impian, harapan, dan kisah cinta.

“Nak, nak,” sahut ibu

Tak tegaku mendengarnya tapi tak kuasa untuk membukanya. Aku butuh jeda untuk memikirkan hal itu. Aku butuh jeda untuk menerima itu.

“Bisakah bunda menjelaskan,”

Rumah ini tak lagi menjadi surga, ingin berlari mencari tempat lebih rindang hingga memberikan kenyaman bagiku. Bagaimana dengan janji ayah dan ibu untuk menemani tumbuh-kembang diriku? Lalu, aku bersama siapa? Haruskan aku memilih salah satu dari mereka? Jika ‘iya”, ajari aku untuk bersikap adil jika mana harus memilih salah satu dari mereka. Kalaupun “tidak” memilih keduanya, ajari aku tuk tak membenci mereka. Ajari aku tuk tak mengenal kata benci namun kasih. Agar kelak jika aku tak lagi dapat cinta kasih mereka, aku dapat mencintai orang lain tanpa menghakimi takdir yang menghampiri diriku ini. “Oh, tuhan apa yang terjadi? Mengapa aku? Dan mengapa harus aku,”

Sungguh, keputusan itu tanpa pertimbangan dariku. Ayah dan bunda resmi bercerai dengan dalih tak lagi cocok. Mereka sampai detik ini pun tak pernah menjelaskan kepadaku sebab-musebab dari pilihan itu,  aku dipaksa menerima kenyataan pahit itu. Bagiku pula, dimana imajinasiku selalu  terbang tinggi akan harapan dan impian itu, sudah tak lagi berani untuk melakukan itu. Aku takut dengan masa depan. Siapa yang ingin menerima diriku ini? Bagaimana dengan persepektif anak broken home di mata masyarakat ataupun teman-tamanku?

Pilihanku tinggal bersama nenek yang sudah ku anggap sebagai ibu sendiri. Sedangkan, ayah dan bunda hidup dengan kehidupan sendiri-sendiri. Walupun aku tau bahwa kejadian itu, menciptakan rasa lapar akan sentuhan, perhatian, dan cinta kasih. Aku sulit untuk bergaul sebab trauma yang mendalam.

Memang permasalah keluarga paling pelik sampai bisa menghebuskan dan mengaburkan masa depan. Siapa yang percaya soal itu? Tentu bagi seseorang sebangsa mereka. Sedangkan, orang hanya cakap menilai. Bahkan sampai mengutuk mereka sama seperti orang tuanya. Penilaian itu sudah ku terima, kelihataan sekali dengan budaya kita ini yang mahir dalam menilai. Aku dapat merima kepahitan itu, namun bagaimana menumbuhkan kepercayaan atas diri ini?

Lalu, dimana tempat untuk mengadu dan bersandar. Tempat itu telah dibombandir, bekasnya tidak lagi kasih. Namun, aku enggan menghapus jejak yang kadang kala rindu tak berkesudahan, tapi apa daya?

Yang kupikirkan, apakah bisa bangkit tanpa ada naungan tempat untuk berteduh? Setelah badai usai, dan tubuh ini remuk? Bagaimana mengatur waktu agar tak cepat bergerak? Agar dapat menerima segala takdir yang menghampiri diriku ini? Sungguh, sebenarnya aku tak ingin bermimpi seperti dahulu kala tuk mendapatkan kebahagian itu. Percuma, Toh, juga tidak ada yang percaya denganku. Sudah anak broken home, perempuan lagi.

Ciutku semakin tinggi, “Oh, tuhan, apa yang terjadi? Mengapa aku juga terlalu cepat menghakimi diriku sendiri? Tidak, tidak, boleh begini?” Kamu harus melihat perempuan setengah baya yang sudah kau anggap seperti ibuku sendiri. Dia amat baik dan memberikan penuh kasih untuk dirimu sendiri. Bahkan, apapun yang kamu minta, “iya” beri. Sudahlah, jika aku tak bisa hidup untuk diriku, setidak-tidaknya aku bisa hidup atas namanya yang telah memberi kasih.

Mengapa aku takut bermimpi? Tidak boleh, aku menghakimi diri ini atas segala takdir yang telah menimpaku. Aku harus hidup serta bertemu orang-orang tuk menjadikannya guru, lalu merangkai kisah dengan keindahan itu, agar kita dapat bertemu di persimpangan jalan dan memilih jalan mana akan ditempuh.

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Miri pariyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB