x

Gaya remaja di kawasan Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta, Ahad, 17 Juli 2022. Fenomena Citayam Fashion Week oleh remaja SCBD (Sudirman, Citayam. Bojonggede, Depok) yang viral di Media Sosial merupakan istilah bagi para remaja yang berpenampilan modis dan nongkrong di kawasan Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta. TEMPO/M Taufan Rengganis

Iklan

Fadhel Fikri

Co-Founder Sophia Institute Palu, serta pegiat filsafat dan sains.
Bergabung Sejak: 20 Desember 2020

Minggu, 31 Juli 2022 07:02 WIB

Citayam Fashion Week; Simbol Anak Muda yang Muak Pada Para Sultan, Barang Branded dan Crazy Rich

Citayam Fashion Week adalah simbol pemberontakan dan sikap anak muda jalanan yang muak pada dominasi crazy rich yang suka pakai baju mahal, barang branded dan sultan-sultan yang suka pamer kemewahan. Tidak hanya cara pakai baju, cara berbahasa mereka juga sangat jauh dari gaya bahasa yang sedang ngetren saat ini. Mereka bicara tidak sarat dengan penggunaan bahasa Inggris ala anak Jaksel. Mereka percaya diri menggunakan bahasa Betawi rendahan. Sebagian dari mereka mengaku hanya bersekolah sampai SMP.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di Citayam Fashion Week (CFW), anak-anak ABG -yang sebagian merupakan anak jalanan dari berbagai daerah penyanggah di sekitar Jakarta- telah berhasil secara simbolik menaklukkan angkuhnya Jakarta dengan sub-kultur gaya hidup orang kaya nya. Inilah yang dilakukan anak-anak muda di Citayam Fashion Week yang selama ini dianggap udik, kampung

Banyak pihak kagum dengan fenomena Citayam Fashion Week atau SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong gede, Depok). Suka atau tidak suka sebutan Citayam Fashion Week mengingatkan kita akan peristiwa lawatan rombongan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, beberapa waktu yang lalu yang dengan para artis/influenter, katanya “bertujuan mulia” yaitu mempromosikan industri wisata Indonesia ke Eropa dengan memanfaatkan event Paris Fashion Week.

Tentu saja hal ini memakan biaya yang sangat besar yang sumbernya dari APBN yang merupakan uang pajak rakyat. Dan ternyata kemudian diketahui event yang mereka adakan terpisah dari event besar bermerk Paris Fashion Week. Peristiwa ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penyebutan SCBD dalam Citayam Fashion Week adalah sebuah satire. Karena SCBD sebetulnya adalah kawasan elit “Sudirman Central Business District” di Jakarta yang identik dengan kalangan kelas atas. Di sana semua jasa dan barang disediakan serta outfit yang dikenakan passti mahal dan bisa dibeli oleh orang-orang kaya.

Mereka di CFW yang sebagian mengaku putus sekolah dan mengamen serta bekerja seadanya di jalanan mengenakan busana yang mungkin sebetulnya apa adanya yang mereka miliki. Mungkin mereka beli dari pasar dengan harga sekitar Rp20-200 ribuan dan sebagian menggunakan merek-merek terkenal tapi palsu.

Sementara di televisi dan sosial media, para sultan yang para artis selebrity dan crazy rich sedang sibuk memamerkan betapa mahalnya outfit mereka yang serba branded dengan harga sangat mahal (ingat, ada seorang yang mengaku crazy rich yang mengenakan kaos seharga Rp 300 juta dan dia bilang kalau harga 300 juta itu murah, si crazy rich ini kemudian terkena kasus penipuan investasi dan saat ini sedang ditahan polisi).

Anak-anak muda di Citayam Fashion Week ini menunjukkan gaya mereka berpakaian, ketidakpedulian mereka terhadap tren, mengenakan baju apa adanya yang mampu mereka beli, sambil tetap bergaya sebagai anak muda sesuai dengan apa yang mereka punya.

Jadi mengapa gaya busananya tabrakan, ini karena hanya itu yang mereka punya. Namun mereka mengenakannya dengan keluguan, tetap ingin bergaya dan kebebasan yang jauh dari pertimbangan norma yang dimiliki kelas menengah, tentang pantas atau tidak, branded atau tidak, mahal atau murah, bergengsi atau tidak.

Karena hidup di jalanan, mereka mungkin juga sangat jarang nonton TV atau sosmed dari para orang kaya, terbukti dari ketidaktahuan Roy (salah satu anak dari Sudirman tersebut) di suatu acara di TV, ketika ditanya tentang siapa bapak dari El (yang adalah anak kedua dari musisi Ahmad Dani).

Jadi mereka menciptakan tren-nya sendiri. Tidak hanya soal brand, cara berpakaian mereka juga tidak peduli dengan baju-baju yang lagi tren, salah satunya yang berasal dari Arab, yang gaya busana-nya menutupi tubuh perempuan, dan menggambarkan perempuan baik-baik dengan imaji tertentu itu.

Para ABG perempuan dengan santai mengenakan tank-top dan atau kaus yang memperlihatkan perut dan pusarnya, tanpa mengenakan penutup kepala.

Muak dengan Kultur Dominasi Crazy Rich

Tidak hanya cara pakai baju, cara berbahasa mereka juga sangat jauh dari gaya bahasa yang sedang ngetren saat ini, yang sarat dengan penggunaan bahasa Inggris ala anak Jaksel yang identik dengan anak orang kaya dan terdidik.

Mereka juga dengan percaya diri menggunakan bahasa Betawi rendahan, udik dan sama sekali tidak seperti orang terdidik, seperti Mandra di sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Dan memang sebagian dari mereka mengaku hanya bersekolah sampai SMP, bahkan gak lulus. Begitu juga cara bergaul.

Keberagaman gender juga mereka terima dengan santai. Ada ABG laki-laki yang dengan santai menyatakan bahwa dia sedang mencari cowok di situ. Mereka juga tidak mengenal tren gaya bergaul sebagaian kelas menengah yang memisahkan remaja laki-laki dan perempuan. Mereka bergaul seadanya. Dan ada si ABG laki-laki yang “melambai” bergaul dengan riang gembira dan bebas berekspresi di ruang SCBD tersebut tanpa tekanan.

Dan ternyata kita tahu jika mereka ini tidak “sendiri”, ada pegiat sosmed yang terdiri dari anak-anak muda yang sering mewawancarai mereka dan memposting di berbagai platform sosmed dan kemudian terbukti viral.

Saya menduga di balik mereka ini adalah para anak muda pegiat sosmed yang sebenarnya sudah muak dengan dominasi culture kelas atas yang angkuh, seperti para crazy rich.

Atau saya curiga istilah Citayam Fashion Week, semula adalah ungkapan kegerahan dari kelompok metropolis kelas menengah atas yang terganggu dengan kehadiran para ABG berpenampilan amburadul, wajah lusuh (karena bekerja di terik matahari tanpa skin care mahal) dan jauh dari aroma parfum mahal seperti mereka. Penampilan ini bertentangan dengan stasiun Sudirman yang sangat metropolis dan modern, simbol sempurna dari gaya hidup Jakarta.

Namun mereka kesulitan menghalau para ABG yang sedang nikmat dengan ruang publik yang dapat mereka jangkau ini. Maka istilah Citayam Fashion Week digunakan oleh si kaya yang sedang terganggu, sebagai sindiran atau kebalikan untuk dibenturkan dengan simbol kemewahan yang mereka puja selama ini, dari Paris, Milan, Tokyo Fashion Week itu.

Budaya Pemberontakan Terhadap Dominasi Tunggal

Dalam sejarah budaya pop, hal ini pernah terjadi, kita tentu ingat dengan gaya hippie anak muda di Amerika dan Eropa Barat pada tahun 1960-an. Mereka mengenakan busana dan gaya hidup yang sangat berbeda dengan tren kelas mapan pada saat itu.

Begitu juga dalam gaya hidup, generasi bunga pada saat itu mempromosikan semangat perdamaian anti perang dan anti kekerasan (konteksnya perang dingin dan perang Vietnam), memuja cinta dan keintiman, anti kemapanan, muak dengan keserakahan dan keangkuhan kelompok kaya, cinta pada lingkungan (back to nature), pertemuan budaya Timur-Barat, dan vegetarian karena isu perlindungan terhadap hak binatang.

John Lenon dengan lagu Imagine-ya dan Joan Baez kemudian menjadi salah satu ikon kaum hippies yang sangat terkenal .

Kemudian kita tahu bahwa gaya busana hippie menjadi tren bukan hanya di kalangan komunitasnya saja, tetapi telah menjadi budaya pop yang digemari masyarakat secara luas. Bahkan kemudian dikooptasi oleh kelompok bisnis kaya raya yang keserakahannya ditentang oleh kaum hippies itu sendiri.

Citayam Fashion Week mengingatkan kita pada perlawanan terhadap dominasi kultur, penyeragaman dan kebosanan pada budaya yang seolah dimiliki oleh kuasa tunggal: crazy rich.

Ikuti tulisan menarik Fadhel Fikri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB