x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Jumat, 29 Juli 2022 15:03 WIB

Menelusuri Polemik dibalik Pengesahan Daerah Otonom Baru Papua


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Papua sebagai provinsi paling timur di Indonesia hingga saat ini belum lepas posisinya sebagai provinsi yang penuh konflik. Baku tembak antara Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan aparat keamanan, terutama dari pihak TNI, memang belum menemukan titik terang dari rekonsiliasi antara kedua belah pihak dan permasalahan di tanah Papua tersebut masih berkutat pada dua hal utama, yaitu masalah separatisme dan marginalisasi terhadap kesejahteraan masyarakat Papua.

Permasalahan yang sejatinya berlangsung sejak Irian Jaya (nama sebelumnya dari Papua) bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1969 memang terdapat berbagai pernyataan dari para ahli sejarah bahwa dalam Penentuan Pendapat Rakyat proses referendum yang dilangsungkan tidak representatif, karena hanya sebagian orang Irian Barat yang diperbolehkan ikut referendum. Dan pemilihannya pun juga dipaksa untuk memilih Irian Barat bersatu dengan Indonesia. Hal tersebut di satu sisi tidak mencerminkan asas self-determination, dan hal ini turut menjadi latar belakang dari berdirinya Organisasi Papua Merdeka untuk memberontak terhadap Pemerintah Republik Indonesia demi kemerdekaan bangsa Papua.

Semenjak Orde Baru sendiri, pemerintah selalu menggunakan pendekatan keamanan untuk menangani konflik di Papua melalui penerjunan pasukan TNI/POLRI secara masif di Papua. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin situasi keamanan di Papua serta mempersiapkan aparat keamanan dalam menghadapi separatis, baik itu dari OPM, KKB, dan lain sebagainya. Pendekatan ini memang sudah memicu polemik sejak awal dikarenakan mencirikan kebijakan militerisitik yang dilakukan oleh Soeharto. Dan penempatan aparat keamanan juga menimbulkan korban jiwa yang besar terutama dari masyarakat yang tidak bersalah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masa Orde Baru kemudian berganti menuju Reformasi pada tahun 1999, terdapat beberapa perubahan yang dilakukan pemerintah terkait penanganan konflik Papua dan pendekatannya pun tidak hanya melalui keamanan saja, namun juga menggunakan dua pendekatan di luar hard power yaitu pendekatan ekonomi sebagai pendekatan yang paling sering digunakan dalam penanganan konflik Papua pada era Reformasi. Pendekatan ekonomi sendiri sudah dilakukan sejak Presiden Habibie hingga Presiden Jokowi dengan berbagai paket kebijakan pembangunan dan pemberian subsidi bahan kebutuhan pokok untuk masyarakat di Papua. Juga beberapa kebijakan ekonomi oleh pemerintahan Jokowi terhadap konflik Papua sebagian besar berorientasi pada pembangunan infrastruktur dan pelaksanaan Otonomi Khusus untuk meningkatkan konektivitas penyaluran barang dan sekaligus memberikan kewenangan lebih luas bagi masyarakat dan pemerintah daerah di Papua untuk membangun kesejahteraan daerahnya.

Kendati demikian, pendekatan militer sejatinya masih berlangsung hingga saat ini dan Jokowi juga tidak sepenuhnya melepaskan eksistensi aparat keamanan di Papua untuk menghadapi kelompok separatis yang masih bercokol di tanah Papua, yang satu sisi membuat konflik kembali runyam dan lebih kompleks. Insiden penembakan demi penambakan antara anggota TNI dengan KKB seperti di Intan Jaya tahun 2021 kembali terjadi dan warga sipil terpaksa harus melarikan diri dari wilayah tersebut atau bahkan menjadi korban dari konflik tersebut, yang mana sebagian besar aktivis mengecam konflik tersebut dikarenakan konflik ini sengaja diciptakan untuk mengamankan kepentingan bisnis mereka di wilayah tersebut dan hal ini juga berpotensi akan mengulang kembali tragedi pelanggaran HAM di Papua, tidak hanya dari KKB namun juga dari TNI.

Salah satunya tertuju pada keberadaan blok pertambangan mineral di Intan Jaya, dimana penambangan Blok Wabu saat ini sebagian besar dikuasai oleh Luhut Binsar Pandjaitan dan kepemilikan ini memicu polemik sebagai akibat dari kepentingan ekonomi-politik dibalik operasi tersebut dan investigasi oleh Haris dan Fatia yang viral beberapa waktu lalu cukup menjadi gambaran bahwa konflik di Papua tidak lepas dari kepentingan elite politik di Jakarta dan penanganan konflik yang selama ini dilakukan tidak cukup menyelesaikan akar permasalahan di Papua.

Berita terbaru yang terdengar oleh publik terkait penanganan konflik di Papua tertuju pada wacana pemekaran wilayah baru Papua yang sudah lama digaungkan oleh Pemerintah dan DPR, dimana wacana tersebut memang telah berhembus diantara masyarakat sejak April lalu.  Pemekaran ini sebagian besar ditujukan untuk mempermudah distribusi ekonomi di wilayah dan sekaligus memperkecil potensi konflik antara TNI dengan KKB hingga OPM, demikian pernyataan resmi dari beberapa anggota DPR.

Tepat pada tanggal 30 Juni lalu, DPR telah mengesahkan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru yang mengatur terkait pemekaran wilayah Papua dan bersamaan dengan pengesahan undang-undang tersebut, terdapat tiga provinsi baru yang dimekarkan yaitu Papua Selatan dengan ibukotanya terletak di Merauke, Papua Tengah dengan ibukotanya terletak di Nabire, dan Papua Pegunungan dengan ibukotanya terletak di Jayawijaya. Pengesahan undang-undang ini kemudian menjadikan tiga wilayah tersebut sebagai provinsi baru di Papua dan akan ada perubahan yang harus disesuaikan terkait keberadaan provinsi baru tersebut, seperti penambahan anggota DPR, pembentukan pemerintah daerah baru, penetapan Daerah Pemilihan baru untuk Pemilu 2024, dan lain sebagainya.

Sebagian besar pejabat publik mengklaim bahwa pembentukan DOB ini akan meningkatkan indeks kesejahteraan di Papua, dimana Puan dan Mesakh Mirin menyatakan bahwa pemekaran ini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dikarenakan pembagian distribusi sumber daya ekonomi akan berjalan secara lebih mudah. Dengan pelaksanaan tata kelola pemerintah dibawah kerangka Otsus, maka pembangunan masyarakat di wilayah baru tersebut dapat dipantau langsung oleh pemerintah pusat dan pemerintah baru memiliki kewenangan lebih luas dalam melakukan pembangunan tersebut sehingga kedepannya kesejahteraan masyarakat akan terjamin secara merata kepada seluruh masyarakat Papua.

Kendati demikian, meski para legislator dan beberapa elemen masyarakat menyetujui adanya pemekaran wilayah baru di Papua tersebut, pengesahan DOB ini tidak lepas dari kontroversi dari berbagai aspek, dimana polemik tersebut setidaknya terangkum dalam empat permasalahan utama yang bersifat aktual dan potensial sepanjang pengesahan UU DOB tersebut. Pertama merujuk pada pengesahan undang-undang yang berlangsung secara sporadis, dimana pengesahan undang-undang DOB yang dilakukan oleh DPR kembali mengulang paradigma yang sama sejak tahun 2019. Cepat, terburu-buru, nir-partisipasi, dan bernuansa oligarkis menjadi karakter utama dari pengesahan undang-undang oleh pemerintah akhir-akhir ini.

Pengesahan DOB terhitung hanya menghabiskan sekitar dua bulan sejak pembahasannya oleh DPR, kurang lebih sama dengan waktu pengesahan UU IKN beberapa waktu lalu. Proses yang cepat ini justru membawa moral hazard lebih besar dikarenakan dalam peraturan tersebut pasti ada kepentingan terselubung yang dibawa oleh para legislator dan ruang partisipasi masyarakat cenderung ditutup melalui keterbatasan waktu dari pembahasan undang-undang ini, sehingga DOB ini seolah hanya menjadi “stempel” kepentingan elite parlemen dan tidak mewakili aspirasi asli masyarakat Papua

Kedua ialah potensi perluasan konflik dari adanya DOB di Papua, dimana pemekaran wilayah baru yang dilakukan oleh pemerintah pusat semata hanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan fakta di lapangan mengenai relasi ekonomi-politik elite pejabat dibalik konflik Papua, terutama mengenai kepemilikan tambang dan relasinya dengan anggota DPR. Pemekaran tersebut juga semata-mata dilakukan untuk mengamankan eksploitasi sumber daya di wilayah tersebut demi kepentingan mereka.

Tidak hanya pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh pemerintah mengenai pemekaran wilayah ini, Theo Hesegem sebagai aktivis HAM di Papua turut memamparkan bahwa pengesahan DOB ini tidak lepas dari manipulasi data terkait sikap masyarakat Papua dalam pemekaran wilayah dengan adanya pernyataan bahwa “80% masyarakat Papua setuju akan pemekaran wilayah di Papua” dan dengan pemaksaan kehendak yang tidak partisipatif ini juga menurutnya akan memberikan keleluasaan bagi OPM untuk menyerang pemerintah dikarenakan tidak pernah diajak dialog oleh pemerintah mengenai soal ini. Tidak terlibatnya OPM dalam dialog pemekaran sebelumnya kemudian juga dapat dimanfaatkan oleh mereka untuk menarik dukungan dari masyarakat yang kecewa akan pemerintah dan dukungan tersebut juga nantinya dapat menjadi senjata untuk melawan balik aparat TNI/POLRI – terutama di wilayah baru yang masih belum memiliki administratif yang jelas -- sehingga konflik di Papua akan semakin sulit diredam dan potensi pengerahan aparat keamanan yang besar justru akan berdampak buruk pada perlindungan masyarakat di Papua.

Ketiga ialah dugaan suap DOB yang baru viral di media massa akhir-akhir ini, dimana dugaan supa tersebut dilakukan oleh beberapa elite pemerintah daerah untuk meloloskan pembentukan DOB dan pemekaran wilayah baru di Papua. Sedari awal, memang banyak pihak akademisi dan pemerhati isu hak asasi manusia menyadari terdapat dugaan suap yang dinyatakan secara implisit oleh Bupati Merauke melalui pengakuannya dalam memberikan sejumlah uang untuk menciptakan skema perubahan otsus beserta meloloskan Papua Selatan sebagai provinsi baru.

Tidak hanya dari pengakuan dari Romanus Mbaraka selaku Bupati, dugaan korupsi tersebut juga bermula dari laporan Forum Masyarakat Anti Korupsi Papua terkait video viral mengenai pernyataan Romanus tersebut. Beredarnya video mengenai tindakan Romanus dalam menyuap anggota DPR untuk meloloskan kembalinya kewenangan pemekaran Papua ke pemerintah pusat dan pernyataan kepada publik disatu sisi juga menjadi blunder bahwa pembentukan DOB sendiri nyatanya tidak lepas dari korupsi didalamnya dan pemekaran tersebut hanya semata-mata dilakukan untuk menjalankan kepentingan elite pusat dan daerah, terutama terkait wilayahnya.

Kendati untuk saat ini dugaan suap tersebut masih dalam proses verifikasi oleh KPK, namun apabila dugaan tersebut benar adanya sebagai tindakan korupsi, maka proses legislasi DOB memang sudah cacat sejak awal dikarenakan selain tidak melibatkan lembaga perwakilan Papua seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) dan lain sebagainya. Pembentukan DOB tidak lepas dari pemaksaan kehendak para elite politik untuk keuntungan pribadi dan sekaligus mengorbankan kepentingan masyarakat yang seharusnya didahulukan. Selain itu, dengan perwujudan DOB yang akan segera dibentuk oleh pemerintah dalam beberapa waktu mendatang, maka bukan tidak mungkin konflik di Papua hanya akan berjalan semakin parah dan ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap itikad pemerintah dalam penanganan konflik akan semakin pudar hingga nantinya bisa berakibat fatal terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB