Eco Justice: Rekontruksi Pidana Korporasi dalam Penegakan Hukum Lingkungan Hidup

Jumat, 29 Juli 2022 15:04 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Relasi antara manusia dan alam memang sangat klasik untuk diperdebatkan. Karena alam dan manusia memiliki identitasnya masing-masing. Manusia dengan rasionya dapat menggunakan hukum untuk mengkooptasi dan menguasai alam. Di sisi lain, alam bisa mengunakan bahasa dan hukumnya sendiri untuk memberontak, misalnya melalui krisis sumber daya alam, bencana, dan lain-lain.

Artikel ini dimulai dengan pertanyaan, mengapa kita begitu peduli dengan alam? Meminjam ungkapan Dirk Willem Postma (2006), “because we’re human ”, ya, karena kita adalah manusia, maka sebuah keniscayaan kita peduli pada alam yang telah memberikan banyak penghidupan dan kebahagiaan.

Namun sayang, kebahagiaan manusia kini mengalami pergeseran makna seiring perkembangan zaman. Menurut pakar lingkungan Jepang Jungko Edahiro, manusia moderen cenderung menafsirkan kebahagiaan dengan gelimang harta dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, alam dikuasai dan dipaksa menjadi mesin produksi, konsumsi, dan penampung limbah. Implikasinya, hukum yang dibentuk di bidang lingkungan juga cenderung mengabaikan kepentingan alam. Hukum hanya menjadikan alam sebagai objek yang dapat dikuasai dan dimanfaatkan oleh manusia secara semena-mena tanpa peduli dengan keberlanjutan alam itu sendiri (Budi Widianarko, 2019).

Di lingkup hukum internasional tentang lingkungan, Deklarasi Stockholm 1972 khususnya pada prinsip 1 dan 2 menyatakan bahwa upaya melindungi dan memperbaiki lingkungan tidak lain ditujukan bagi kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Artinya, kepentingan itu terbatas hanya untuk manusia, bukan alam.  Sedangkan di Indonesia, meskipun UUD 1945 telah mendapatkan predikat sebagai konstitusi hijau karena keberadaan pasal 28H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4), namun jika substansi kedua pasal tersebut kembali dipahami dengan seksama, akan terlihat upaya jaminan lingkungan yang menitikberatkan kepada kepentingan manusia (bukan alam). Terlebih lagi dengan keberadaan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang cukup terang melegitimasi perusakan alam untuk kepentingan manusia.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) memang memberikan sedikit angin segar karena menganggap lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang antara semua benda dan mahluk hidup (termasuk manusia). UU ini juga menegaskan bahwa keadaan lingkungan akan mempengaruhi kesejahteraan alam, manusia dan mahluk hidup lain. Namun, tetap saja terdapat beberapa kelemahan dalam substansi UU PPLH yang cenderung tidak berorientasi pada kelestarian lingkungan, khususnya pada aspek kontruksi sanksi pidana bagi pemberangusan lingkungan yang dilakukan korporasi.

Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi tertuang dalam ketentuan pasal 116-119 UU PPLH. Tapi kontruksi sanksi pidana yang diatur belum menjamin kepastian hukum terhadap pelaksanaan tindakan pemulihan sebagai tindakan esensial yang wajib dilakukan atas kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang dilancarkan oleh korporasi.

UU PPLH masih menempatkan sanksi pidana denda sebagai satu-satunya sanksi pidana pokok bagi korporasi. Di sisi lain, pasal 119 UU PPLH yang mengakomodasi tindakan perbaikan/pemulihan sebagai sanksi tambahan mengalami beberapa kelemahan. Keberadaan frasa “dapat” dalam pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum pada tataran Ius Operandum. Hal ini meyebabkan semakin maraknya praktek perusakan lingkungan hidup yang dilancarkan oleh korporasi.

Hasil riset yang dilakukan oleh Azam Hawari dkk terhadap beberapa perkara pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dalam kurun waktu 2010-2019, menunjukan dari delapan perkara yang diteliti, hanya satu perkara yang dijatuhi sanksi pidana tambahan berupa perbaikan dan pemulihan lingkungan kepada terpidana.

Relasi antara manusia dan alam memang sangat klasik untuk diperdebatkan. Karena alam dan manusia memiliki identitasnya masing-masing. Manusia dengan rasionya dapat menggunakan hukum untuk mengkooptasi dan menguasai alam. Di sisi lain, alam bisa mengunakan bahasa dan hukumnya sendiri untuk memberontak, misalnya melalui krisis sumber daya alam, bencana, dan lain-lain.

Penegasan Konsepsi Double-Track System

Berangkat pada permasalahan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU PPLH tersebut,  maka rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup yang berorientasi pada pemulihan lingkungan hidup memiliki urgensi yang tinggi (Rob White, 2015). Salah satunya melalui penegasan penerapan Double-Track System dalam UU PPLH. Gaber dan McAnany, mengemukakan bahwa pidana amatlah penting dan tidak mungkin disingkirkan. Sebab ketiadaan sanksi pidana merupakan bentuk memanjakan pelaku (Fajrin et al., 2020). Beranjak dari pemikiran tersebut, maka muncul ide Double-Track System, yakni penerapan dua sanksi berupa pidana dan tindakan yang ditempatkan secara setara atau berimbang.

Dalam konteks penegakan hukum pidana lingkungan hidup di Indonesia, UU PPLH secara Expressive Verbis sebenarnya telah mengakomodasi konsep Double-Track System. Hal itu tertuang dalam pasal 119 UU PPLH yang memberi jalan kepada hakim untuk menerapkan penjatuhan sanksi pidana beserta tindakan secara bersamaan kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Akan tetapi, keberadaan frasa “dapat” yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 119 UU PPLH tersebut membuat hakim tidak terikat untuk menerapkannya dalam suatu putusan (Putri N et al., 2021). Dengan demikian, penerapan Double-Track System ini sangat bergantung pada pemahaman dan kebebasan majelis hakim dalam memeriksa perkara. Bahkan, pada akhirnya terdakwa jarang dikenakan pidana tambahan.

Di samping itu, perumusan jenis sanksi pidana tambahan yang tidak bersifat hierarkis semakin mempersulit penerapan sanksi pidana korporasi yang berorientasi pada lingkungan hidup sebagai korban. Ihwal inilah yang menyebabkan hakim tak jarang memilih alternatif sanksi pidana tambahan lain dan mengesampingkan sanksi tambahan berupa perbaikan/pemulihan. Padahal, lingkungan hidup yang merupakan korban yang sesungguhnya juga harus mendapatkan keadilan.

Oleh karena itu, perlu ada penegasan terhadap rekognisi konsep Double-Track System dalam tindak pidana lingkungan hidup oleh korporasi yang berorientasi pada lingkungan hidup. Caranyadengan mengubah frasa “dapat” menjadi frasa “wajib” dan menempatkan sanksi perbaikan/pemulihan secara hierarkis pada opsi pertama dalam jenis sanksi pidana tambahan pada Pasal 119 UU PPLH. Hal ini bertujuan agar ada keharusan (kewajiban) bagi hakim menjatuhkan sanksi pidana tambahan berupa perbaikan/pemulihan terhadap lingkungan hidup yang rusak/tercemar akibat tindak pidana yang dilakukan korporasi.

Penegasan konsep Double-Track System sebagai sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan pemberangusan lingkungan hidup hemat penulis sejalan dengan nafas UU PPLH yang berparadigma Green Victimology. Batasan korban atas viktimisasi lingkungan hidup dalam Green Victimology tidak hanya terbatas pada manusia yang dapat dikategorikan sebagai korban, namun juga termasuk non manusia: hawan, pohon, sungai yang kesemuanya terjalin dalam ekosistem.

Konsepsi Green Victimology juga selaras dengan pemahaman Eco Justice yang menghendaki keadilan bagi lingkungan (Environmental Justice) dengan korbannya manusia, keadilan ekologi (Ecological Justice) dengan korban khususnya lingkungan hidup diluar manusia seperti sungai dan hutan, dan keadilan spesies (Species Justice) dengan korbannya adalah hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mereka mempunyai nilai intrinsik tersendiri, sehingga merupakan entitas yang patut dihargai, dihormati dan mendapatkan keadilan seperti manusia pada umumnya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fajrianto Rahardjo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler