x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Sabtu, 30 Juli 2022 15:17 WIB

Bahasa Mati Tercecer Berpuing

Sebuah catatan dalam proses mengingat kembali perjalanan masa kanak-kanak di dalam ruang noir sebagai corpus et poetica pada dunia komputer dan tempa artifisial untuk suatu awal tahun dengan kalender yang lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun berlalu dengan begitu cepat. Hari ini, Sabtu, pada tanggal 30 Juli 2022, menjadi hari pertama dalam memulai awal di tahun baru bagi sebagaian besar masyarakat Jawa dan penganut agama Islam. Satu Suro atau satu Muharram, suatu legenda yang telah menjadi ingatan bagi siapapun tentang perjalanan esoterik dan bersifat mistikal. Simbol perempuan dan lelaki menjadi muara ilmu pengetahuan yang tidak pernah menentukan kisah paling absolut selain menentukan “tamat” yang tercatat di dalam literasi, hingga di dunia perfileman.

Saya personal, menyimpan legenda “suro” sebagai suatu proses refleksi tentang rahasia, kompleks, dan kepedihan mendalam. Ada perjalanan yang hendak disimpan rapat-rapat pada layar lain, pada “Malam Satu Suro”. Tentu saja, kehadiran karakter tidak lebih menjadi cara membaca konflik sosial hingga proses merefleksikannya ke dalam budaya yang mengungkap psikososial tentang muasal. Di mana yang paling rumit dari segala kisah perjalanan manusia adalah proses kognisi individu sebagai mahluk personal sekaligus sosial.

Hal ini telah membawa saya pada jalan panjang hidup yang dipenuhi oleh kesedihan. Jalan panjang “spiritual” tentang proses kelahiran, kehidupan, kematian, bukanlah catatan perjalanan yang mudah dipahami tanpa terpeleset ke lorong-lorong terkelam. Masa pandemi secara nyata telah menjadi ingatan paling mendalam tentang proses "embrio", dan belum menentukan kata "pasti"  selain kembali membaca dalam cermin sebab-akibat bagi tuntunan memandang masa depan. Dasar desain tentang harapan akan masa depan.

Begitu banyak kosakata bahasa literasi yang mengubah formatnya, yang terkesan begitu tergesa, pun terkesan bergerak terlalu cepat. Pergerakan ini saya pahami saat melihat welfare masyarakat di negara saya masih mengalami proses sosial yang tidak sederhana dalam menata ulang peta urban untuk suburban. Satu negara yang belum menginjak usia seratus tahun atas kemerdekaannya, satu negara yang masih tumpang tindih dalam memilih antara sejarah serta mitosnya, satu negara yang saya maknai serupa bayi batita dalam menatap dunia paska kelahirannya.

 

And then it started, like a guilty thing

Upon a fearful summons. I have heard

The cock, that is the trumpet to the morn,

Doth with his lofty and shrill-sounding throat

Awake the god of day; and at his warning,

Whether in sea or fire, in earth or air,

Th' extravagant and erring spirit hies

To his confine; and of the truth herein

This present object made probation.

[The Tragedy of Hamlet, ACT I. Scene I, Shakespeare]

 

Seluruh kata telah membeku dan menyimpul "bonang" pada setiap dinding-dinding kamar di dalam keterakan linimasa. Hanya dalam rahasia “jawa/jawas/jawad”, saya terapung menggigil pada satu-satunya makna, satu-satunya tanya, satu-satunya keresahan tentang damainya rumah. Namun, saya sadar, bahwa rumah impian serta perdamaian hanya tercipta di perfileman, juga cerita pendek atau novel popular. Satu-satunya cara bertahan harapan hidup, menyusunkannya kembali tentang ingatan yang tersembunyi di balik tajamnya saraf otak di antara pena serta keyboard.

Mungkin yang ilusif cenderung memohon koyak lain tentang bagaimana menjalani hari-hari. Tetapi, dendang rembang hingga malam dalam jamaknya embun yang pada akhirnya berguguran hanyalah tradisi yang bersifat paling personal bagi perjalanan mahluk hidup atas individualitasnya di planet Bumi. Sedangkan perjalanan kebudayaan akan terus bergerak pada hilir yang takkan berhenti selain istirahat dan menunggu.

Distopia telah menjadi kenangan tentang linimasa di masa kanak-kanak saya. Sedangkan, semarak fenomena atas linimasa antara tahun tujuh puluhan hingga delapan puluhan kembali dibangkitkan. Hanya saja, di dalam lingkungan masyarakat utopia menatap realita hidup, amuk menyusun kembali tentang makna rasa dan budi memintal pengalaman tubuh sewujud anyaman meta-anatomi yang telah tercerai-berai. Kini, kita semua telah dikembalikan, dibenturkan pada pilihan untuk melakukan “reinstall” dengan satu-satunya penghancuran sekaligus penerimaan atas evolusi "nyawa".

Jawa bukanlah tentang ras suku bangsa sebagai manuskrip absolut dari para peneliti kebudayaan dengan dasar “cardinal directions” atas geografi dunia. Jawa bagi saya, menjadi wujud penyatuan “gnomes” yang menyusun penciptaan intuisi intelegensia mahluk hidup (manusia) untuk menjalani suatu proses panjang meditatif sebagai kontemplasi memaknai transmigrasi-migrasi tentang gerakan alam yang bebas sekaligus teracak, tanpa menuntut tujuan yang bersifat hitam-putih selain abu-abu, dan mengajak saya menerima gelombang penyatuan sebagai sistem Berpikir Jaringan, dan melebur, sebelum memasuki abad ke duapuluh satu.

 

berjalan menyusuri tepian

trotoar telah menjelma sunyi

dari kisah-kisah gelisah jalan

ada lelah menuntut merebah

di bawah neon-neon asing

menatap pilar-pilar metal

dalam karnaval berwarna

semacam pewayangan

yang tertikam jeritan

untuk hancurnya penantian

pada rindu yang menyimpang

sementara aku memintal

reruntuhan buah pinus

mimpi perahu layar

[buanaBudi, 30 Juli 2022]

 

Pada akhirnya, ingatan masa kanak-kanak atas perjalanan skenografi layar dari balik kisah “Malam Satu Suro” telah menjadi proses pembacaan diri yang paling personal, tentang satu prinsip sirkuit menyusun suatu “remorse code” dalam melihat-mengenali-memulai dengan dasar kreatif yang telah terlupakan, untuk bahasa yang telah mati, bahasa tubuh dari diri sendiri. Linimasa atas tubuh kanak-kanak sebelum hancur dan memulai linimasa lain yang kita kenal sebagai linimasa dewasa.

Ini hanyalah tentang kisah lain dari suatu penantian, dan yang pada akhirnya, kembali diruntuhkan ke dalam kepedihan dengan indahnya labirin impian, sebelum hidup dan apung menuju kedalaman samudera bagaikan kosong galaksi dengan koral-koral yang telah lama meninggal.

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler