Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) memberi tanggapan terkait polemik buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) SMP kelas VII terbitan tahun 2021. Polemik muncul terkait kesalahan pemahaman dan penjelasan "Trinitas" dalam keterangan agama Kristen Protestan dan Katolik di buku tersebut. Demikian dilansir berbagai media.
Buku PPKn yang diniatkan dijadikan sebagai buku teks utama tersebut ditulis sebagai oleh tim yang pakar di bidangnya. Dalam Kata Pengantar disebutkan bahwa Pusat Kurikulum dan Perbukuan mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan buku ini mulai dari penulis, penelaah, reviewer, supervisor, editor, ilustrator, desainer, dan pihak terkait lainnya.
Buku PPKn tersebut ditulis berdasarkan Kurikulum Merdeka yang pertama kali diluncurkan Kemendikbudristek pada 2021. Pada tahun tersebut, kurikulum dan buku akan diimplementasikan secara terbatas di Sekolah Penggerak. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1177 Tahun 2020 tentang Program Sekolah Penggerak.
Nirkeliru Konsep
Buku teks utama sebagai bahan ajar merupakan buku yang dijadikan sebagai acuan wajib di sekolah-sekolah. Itu sebabnya, buku utama, berisi sejumlah materi yang mengacu kepada Kurikulum yang berlaku, sesuai jenjang pendidikan.
Tak kalah penting dalam kaitan ini adalah penunjukan tim yang mencakup sejumlah pakar. Komposisinya biasanya berpedoman dengan perimbangan antara praktisi dan akademisi.
Praktisi adalah mereka pengajar yang berpengalaman dan mengampu mata pelajaran tertentu. Walaupun dapat diberikan catatan, belum semua pengajar yang berpengalaman di atas 10 tahun akan menjamin mampu menulis buku pelajaran sebagaimana diharapkan.
Pelibatan kalangan akademisi diharapkan dapat memberikan peta jalan atau peta konsep yang harus ditulis penulis praktisi sesuai dengan jenjang pendidikan dan Kurikulum yang berlaku. Kolaborasi ini dalam tim tampak ideal.
Ideal yang dimaksud adalah semua substansi materi yang ada pada Kurikulum yang berlaku dapat teratasi. Teknis dan akademis menjadi “manis” saat ditulis menjadi buku pelajaran. Termasuk dalam hal ini menyangkut konsep-konsep penting menyangkut disiplin ilmu.
Penyusunan buku akan menjadi “sempurna” karena setelah tersusun menjadi teks buku, diserahkan kepada empat anggota tim lainnya. Siapakah mereka? Mereka adalah penelaah, reviewer, supervisor, dan editor.
Meminimalkan kesalahan baik dari segi konsep, materi, dan bahasa dilakukan pada sesi ini. Apabila ada catatan dari penelaah dan supervisor teks, maka segera dikembalikan kepada penulis untuk dilakukan perubahan sesuai masukan.
Di meja editorlah, sebuah buku difinalkan. Editor yang profesional tidak hanya memeriksa kesesuaian materi dengan Kurikulum. Tak kalah pentingnya, adalah menelisik keterbacaan.
Sering sebuah buku bagus isinya, tetapi kurang dipahami oleh peserta didik dan pendidik atau guru. Ini lebih disebabkan, keterbacaan sesuai jenjang pendidikan dari buku tersebut kurang diindahkan oleh editor. Di tangan editorlah kemasan yang “sempurna” dan menjadikan buku tersebut terpakai para pelajar tanpa menimbulkan polemik.
Itu sebabnya, dengan penyusun buku yang terdiri atas tim yang profesional dan ditulis secaraverlapis sebagaimana dipaparkan, kita dapat menuntut buku terbitan Kemendikbudristek nircela. Lebih khusus lagi, nirkeliru dari sisi konsep.
Tim Pusat Perbukuan selalu menyusun teks utama setiap mata pelajaran ada dua buku. Pertama, buku teks untuk peserta didik yang disebut Buku Pegangan Siswa. Kedua, buku teks untuk guru yang disebut Buku Pegangan Guru.
Buku Pegangan Siswa berisi materi yang berkaitan dengan kelas dan mata pelajaran. Sedangkan Buku Pegangan Guru berisi penjelasan teknis pembelajaran yang hendaknya dipedomani guru, terutama dalam menggunakan Buku Pegangan Siswa.
Di sekolah, kedua buku tersebut harus dipahami oleh para guru. Tanpa pemahaman bisa terjadi keliru konsep bukan tersebab buku teks utamanya, tetapi malah dari gurunya.
Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.