x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Senin, 1 Agustus 2022 08:04 WIB

Mikroskop Darah Peta Limfoma

Membaca ulang perjalanan sebagai proses kontemplasi yang saling terkait sebagaimana siklus alam tidak memiliki keterpisahan yang benar-benar pasti. Begitulah catatan ini menjadi renungan di hari Minggu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Minggu yang cukup terik, secangkir kopi susu dalam butiran ampas mengisi rongga gigi. Bakteria.., itulah yang sedang saya pikirkan detik ini. Bakteria, tentang bagaimana mengisi perjalanan linimasa yang cenderung signifikan aktivitas walau hari memiliki namanya masing-masing. Tapi kemudian, yang menjadi pertanyaan mendasar saya: “Bagaimana kita seringkali cenderung mengingat linimasa "anak alay" yang tidak jauh berbeda dari linimasa saya saat remaja selain pada media teknologi?”

Sepertinya ruang bebas menyusun rimanya pada “realitas yang ilusif”? Namun, satu-satunya yang terlintas hanyalah “sjögren's syndrome”, tentang rusaknya mekanisme reproduksi anatomi.

O’ lengkung imajinasi, mendung melintas tangkas, dan terperosok pada suatu metamorfosis.

Ada yang hendak dikembalikan sebagai pola design, sistem "reinstall" pikiran yang berpikir. Obsesi terhadap ide-ide tertentu dipercaya mampu merealisasikan mimpi tentang “kesetaraan”. Pembacaan ini menjadi aktivitas yang menyenangkan. Saya selaku bercermin pada satu cermin yang telah retak. Namun, hal ini berdampak reaksi somatis yang bersifat “utopia” dan memiliki kecenderungan rasial hingga penolakan akan hal-hal yang tidak sesuai dengn apa yang dipercaya oleh pikiranya.

Suatu karakter akan “utopian minds” menjadi struktur melangkahkan di ruang visualisasi komputasi sebagai latihan hidup yang cenderung bersifat “present” dan melihat kehidupan lain tidak menjadi hari yang absolut; benar-salah. Bagimanapun, rapuhnya hidup dimulai dari rusaknya organ tubuh. Ini menjadi suatu contoh yang sangat menarik dalam membaca ulang program pengendalian pikiran yang pernah dimulai pada tahun tujuh puluhan sebagai suatu ekperimen tentang realitas sosial.

Lantas, bagaimana hal tersebut seakan bermanfaat bagi anak alay, dan tidak bagi dewasa?

Ada peristiwa perlahan terbaca begitu detail, sejak tahun dua ribuan hingga puncaknya, pada tahun dua ribu sepuluh. Ini mengingatkan saya tentang Ateng Iskak, tentang tamparan halus atas suara-suara yang cenderung terabaikan, tentang perang kelas, perang yang takkan pernah tuntas. Di sana, "punks" hingga "metal" dikembalikan serupa tenunan, regenerate into recreate, kepada “anak alay” untuk melatih berpikir dan bertindak dalam menjaga lingkungan hidup, hingga memiliki keberanian akan keyakinan melalui aktivitas yang bersifat recycling bin melalui kreativitas.

Sedangankan, latihan berkebun, bercocok tanam, memancing, hingga menjahit dan menyulam, bagi mereka yang telah melampaui linimasa terpelik di dalam dunia perkantoran. Seluruh aktivitas yang bersifat menjaga kesehatan lingkungan dari ruang keluarga, aktivitas yang tidak akan dimiliki oleh semua orang sanggup membeli grand piano, peralatan melukis, dan kelas menari balet.

Apakah budaya ini berhasil sebagai eksperimen perbatasan antara manual dengan digital? Isolasi di tahun-tahun pandemi menjadi tayangan secara langsung yang bersifat mengalami. Bahwa terlalu banyak lubang bagaikan ruang-ruang nyaman bagi beragam jenis bakteria. Kemiskinan pengalaman dan perubahan pola hidup membuat semua orang menjadi penilai atas kehidupan yang tidak pernah dialaminya. Perubahan pola ini, pada akhirnya, sangat mempengaruhi bagaimana tradisi dan budaya keseharian di Jakarta berjalan gemulai ironi dengan melupakan proses panjang kota plural.

Kanal-kanal beserta bale hanya menjadi maya atas Benjamin S, immune system yang runtuh tragis.

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler