x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 2 Agustus 2022 11:55 WIB

Kategorisasi Nasionalis-Relijius Menyesatkan, Kenapa Dipelihara?

Kategorisasi nasionalis-relijius sebenarnya gagasan klise yang cenderung dikotomis dan tidak mencerminkan kenyataan serta dapat menimbulkan salah pemahaman, sebab seolah-olah yang dikategorikan nasionalis itu tidak bisa relijius dan yang dikategorikan relijius itu kurang atau bahkan tidak nasionalis. Herannya, pemakaian sebutan ini kok masih dipertahankan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berita tentang rencana koalisi Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa serta kemungkinan Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar berpasangan dalam pencalonan presiden/wapres mengundang komentar para pengamat. Salah satu komentar yang terlontar ialah pasangan Prabowo dan Muhaimin merupakan representasi perpaduan garis nasionalis dan relijius.

Kategorisasi nasionalis-relijius sebenarnya gagasan klise yang cenderung dikotomis, sehingga sungguh mengherankan kok masih dipertahankan. Pemilahan kelompok-kelompok masyarakat dengan sebutan nasionalis dan relijius tidak mencerminkan kenyataan sekarang dan justru dapat menimbulkan salah pemahaman. Bahkan, berpotensi memicu perkubuan, sebab seolah-olah yang dikategorikan nasionalis itu tidak bisa relijius dan yang dikategorikan relijius itu kurang atau bahkan tidak nasionalis.

Kategorisasi yang cenderung dikotomis semacam ini bukan saja tidak tepat, tapi juga mengingkari sejarah. Di masa perjuangan kemerdekaan, banyak sekali tokoh yang dipandang kuat relijiusitasnya adalah orang yang juga dikenal sangat nasionalis. Begitu pula, sosok-sosok pejuang yang lebih dikategorikan nasionalis adalah orang yang relijius. Di masa lalupun, kategorisasi semacam ini juga cenderung menyesatkan dan memecah masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di dalam kategorisasi tersebut tersimpan asumsi dan anggapan bahwa yang nasionalis itu kurang atau malah tidak relijius, sedangkan yang relijius diragukan nasionalismenya. Bagaimana orang bisa menilai orang lain tidak relijius dan tidak nasionalis? Begitu pula, apakah figur yang disebut representasi kelompok relijius itu memang benar relijius sesungguhnya, dan apakah figur yang disebut representasi kelompok nasionalis itu memang benar nasionalis tulen? Apa tolok ukurnya dan bagaimana mengukurnya?

Apa pula tujuan memberi atribusi semacam itu? Untuk menyederhanakan pengelompokan masyarakat? Bila iya, ini pengelompokan yang menyesatkan karena tidak mencerminkan realitasnya.

Orang malah mengabaikan fakta yang lebih realistis dan konkret perihal dua kategori ini. Misalnya dalam kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh politikus, pebisnis, maupun pejabat. Korupsi jelas merugikan negara dan sekaligus rakyat, sebab uang negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat malah diselewengkan untuk memenuhi kepentingan pribadi. Dengan demikian, korupsi merupakan aksi yang tidak nasionalis dan sekaligus tidak relijius. Tidak nasionalis karena menggerogoti negara dan tidak relijius karena mengambil yang bukan haknya. Mengapa atribusi tidak nasionalis dan tidak relijius tidak disematkan pada para koruptor kakap?

Karena tidak akuratnya kategorisasi tadi dalam menggambarkan masyarakat yang kompleks, pemakaian istilah-istilah nasionalis dan relijius yang menimbulkan dikotomi yang menyesatkan masyarakat itu selayaknya tidak terus digunakan dalam narasi politik. Dikotomi seperti ini tidak layak dipertahankan karena berpotensi memperuncing pengelompokan dalam masyarakat, sekaligus tidak mencerminkan realitasnya. Dikotomi ini cenderung menyesatkan karena seseorang yang nasionalis bisa sekaligus bersikap relijius yang memercayai tuhannya dan seseorang yang relijius bisa sekaligus seorang nasionalis yang mencintai negeri dan bangsanya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler