x

Artidjo Alkostar. Dok: Tempo

Iklan

Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau)

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Agustus 2020

Selasa, 2 Agustus 2022 15:02 WIB

Rumusan Artidjo Alkostar tentang Korupsi Politik

Artidjo Alkostar Sang Algojo Koruptor tidak hanya meninggalkan teladan anti-korupsi, tetapi juga mewariskan gagasan tentang korupsi politik yang dapat kita pelajari sebagai pegangan melawan korupsi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artidjo Alkostar "sang algojo" tidak hanya meninggalkan teladan antikorupsi, tetapi juga mewariskan gagasan. Tulisan-tulisannya dapat ditemukan di berbagai platform media, di antaranya buku “Korupsi Politik di Negara Modern” yang merupakan hasil disertasinya. Gagasan ini dapat dikatakan cukup mendasar menyoal korupsi politik yang menjadi buku rujukan para pegiat antikorupsi. Bahkan kajiannya visioner karena ditulis sejak jauh jauh hari sebelum ramai ditilik dan diulas. Artidjo mencoba merumuskan bahwasanya dari banyak jenis korupsi, korupsi politiklah induknya sekaligus paling berbahaya-merusak.

Korupsi politik dimaknai luas, yakni penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara Negara. Korupsi politik berkenaan dengan kewenangan atau diskresi pejabat pemerintah yang digunakan mengeruk keuntungan untuk diri sendiri atau golongannya. Dampaknya jauh lebih hebat dari korupsi administrasi, pungutan liar, dan korupsi penggelumbungan dana proyek, dan jenis korupsi kecil lainnya. Ibarat suatu pohon, korupsi politik langsung menyasar akarnya untuk selanjutnya dapat menguasai pohon, ranting, dan daun secara menyeluruh.

Dalam konteks  bernegara, praktik korupsi politik menarget peraturan perundang-undangan yang dirancang seturut kepentingan pejabat atau pemodal. Korupsi politik sejak awal didesain mendapat legitimasi hukum. Seolah legal melalui proses demokrasi, tapi hanya demi kepentingan pribadi dan golongan dan sudah pasti merugikan masyarakat luas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Korupsi politik biasanya dilakukan oleh elite politik. Sebab hanya pejabat pemerintahan pemilik akses kekuasaan strategis yang dapat mengintervensi pembuatan perundang-undangan. Para elite yang diberi kepercayaan menjalankan kekuasaan negara mengkhianati rakyat dengan tindakan korupsi. Atas dasar itu korupsi politik atau korupsi kekuasaan ini disebut juga capture state corruption (korupsi yang dilakukan Negara). Itulah mengapa korupsi politik sangat “mengerikan” merusak tatanan bernegara secara terus-menerus dari berbagai aspek. Disebut juga kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

Membaca perkembangan korupsi politik tak dapat dilepaskan dari latar sejarah yang membentuknya. Di Indonesia, bibit korupsi politik terdeteksi sejak kolonialisme Belanda. Ideologi hukum yang berlaku saat itu menegasikan kontrol sosial-politik dari rakyat. Watak hukum berpondasi kepentingan penguasa ini sudah pasti eksklusif mewadahi korupsi kekuasaan. Demikian halnya pada masa Orde Baru, meski undang-undang pemberantasan korupsi diberlakukan akan tetapi terjadi feodalisasi hukum yang juga gencar dikerjaan oleh rezim. Hasilnya, korupsi politik merajalela di Indonesia dengan predikat Negara terkorup saat itu. Sementara pada era Reformasi perubahan yang dilakukan tidak menyentuh sistem hukum secara radikal. Memperlihatkan pemberantasan korupsi setengah hati.

Lebih lanjut, menurut Artidjo, perdebatan klasik perihal ideologi mana yang terbebas dari korupsi politik juga harus dilihat secara komparatif-historis. Berdasarkan catatan sejarah, korupsi politik terjadi di seluruh Negara, apapun ideologi dan agamanya, dan di mana pun letak geografisnya. Korupsi politik terjadi baik di negara kapitalis, komunis, pun fasis, negara dengan mayoritas Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau Konghucu. Begitupun letak geografisnya juga sama saja, baik di Benua Amerika, Afrika, Asia, atau Eropa. Adapun korupsi politik dipengaruhi karakter kekuasaan, ketidakadilan struktur sosial politik, dan lemahnya kontrol sosial, politik, dan hukum.

Untuk menilai jernih suatu perbuatank orupsi politik perlu dipandang dari beragam aspek sebab dan akibat. Tidak hanya menyoal aspek ekonomi atau kerugian keuangan negara sebagaimana selama ini sering diulas, akan tetapi juga berkorelasi dengan sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural, sosio-yuridis, dan hak asasi manusia. Kekayaan perpektif akan menjadi bahan sitematis, lengkap, dan komprehensif untuk memahami sebab dan akibat korupsi politik secara utuh sekaligus juga dasar merancang strategi-taktis pemberantasannya.

Ikuti tulisan menarik Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau) lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu