Petualang yang malang itu Aku
dari masa yang lampau
terasing jauh berlari pergi
sekarang datang kembali
pulang seperti matahari
yang habis waktunya hari ini.
Hatiku bergetar
ketika dari kapal tua ini kulihat
daratan dengan pasir dan hutan lebat
pohonnya berbaris melambai-lambai.
Hih, negeriku
rimba yang telah lama
hanya dapat kulihat rupanya
dalam mimpi tidur malamku.
Akhirnya 'kan bersandar juga kapal ini
mengantarku pulang ke tanah negeriku
dan Aku akan melangkahkan kakiku kembali
berlari memasuki hutan-hutan berkabut.
Tetapi ketika sauh kapal dilepas ke dasar
kulihat buihnya menjelma perlahan
menjadi kesedihan
berat hatiku bimbang kurasakan.
Begitu lama kugantung hidupku
di atas kapal tua ini
beratus tahun sudah
kenangan itu tertumpuk
dalam pustaka benak
dan Aku seperti tak rela mengakhirinya.
Terlihat berpasang-pasang mata
hasil rahim ibu negeriku
berdiri sepanjang pantai, menanti
memantau siapa pula akan tiba di sini.
Dalam hening terlarut lamunan jiwaku.
Hih,
inikah kerinduan yang kudambakan?
Tak dapat pula Aku menahan tanya
yang tak akan kutemukan jawabnya.
Tak dapat pula aku menahan butiran
air hujan dari laut kebimbangan.
Aku berjabat salam perpisahan
hendak melepas kepulangan
segumpal garam kepedihan
di sekujur tubuhku bertaburan.
Bagaimana bisa kutabahkan hati dan jiwa
sedang Aku hanya meninggalkan rasa duka
pada mereka yang telah mengusir kesunyian
pada malam-malam keheninganku yang lalu.
Ketika Aku sibuk bercumbu dalam rinduku
seperti kapal hampir karam dicekam badai
mereka bersusah payah mengatur layarnya;
tak dibiarkan Aku tenggelam ke dasar palungan.
Mereka telah menerbitkan matahari di wajahku
sedang Aku hanya meninggalkan gagasan tua
mimpi-mimpi purba para pujangga kebanyakan
yang tak pernah sampai pada cita dan asanya.
Serta syair-syair tak selesai para pujangga
dengan nada-nada yang manis memikat hati
yang membutakan mata mendengungkan telinga
memaksa tak lelah bertahan dalam panjang derita.
Sedang mereka membutuhkan dagingku
'tuk disantap bersama roti dan anggur itu,
Aku hanya bisa memberi deru angin panas
dari tungku bibirku yang membara.
Bagaimana mungkin Aku lapang berpulang
menikmati ketenangan jiwa Sang Petualang
sedang di mata mereka malang menyerang;
tiada lagi alasan kibaran layar berkumandang.
Apakah Aku akan benar-benar pulang
atau hanyut dalam kerinduan baru?
Apakah halaman dan sekumpul kawanan
atau dalam sepi memagut kembali kurasakan?
Aku,
petualang yang malang
benar-benar ingin pulang
dalam keridhaan yang lapang
dalam ketabahan yang tenang.
Bekasi, 2 Agustus 2022
Ikuti tulisan menarik Jerpis M. lainnya di sini.