x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Minggu, 7 Agustus 2022 06:20 WIB

Purgatorio

Mungkin, hanya di dalam nafas ini, seni serta cinta, hanyalah tentang gaduh yang seringkali eror saat menatap rincian desain konstruksi atas rasa sekaligus emosi, satu-satunya linimasa yang akan selalu ditikam tajamnya pasir dari pantai Laut Hitam. Saya hanyalah salah satu contoh kesalahan pengulangan atas kelahiran yang berakhir di dalam labirin cekcok, antara Mars dengan Venus yang terbakar, luruh menghulu dalam rengsa atas jelajah sungai-sungai Purgatorio; tidak pernah benar-benar mengucapkan kata “tamat” pada vibrasi toska.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah tulisan yang saya baca baru-baru ini, di situs Indonesiana telah mengingatkan saya kembali tentang memaknai sebuah kota, sebuah jalan panjang kehidupan, sebuah kompleksitas linimasa dan penerimaan. Sebuah proses yang saya istilahkan sebagai geladak kompas, Jakarta dan Cinta, karya Ikhwanul Halim: “Jadi cintamu untuk Jakarta mengingatkanmu bahwa masa lalu mungkin memar, tetapi seluruh kota, seluruh cinta, telah dibangun kembali di atas luka. Bahwa tidak ada rasa sakit yang begitu hebat sehingga menyerah atau berpura-pura mati bisa dibenarkan. Hidup tetap keniscayaan. Dan hidupmu bersinar terang dengan sejuta cahaya kebolehjadian.”

Saya mengenal beliau disekitar tahun duribu empatbelasan, dan pada kala tersebut, beliau menjadi salah satu penggerak sastra edukasi melalui penulisan science fiction. Namun, tidak hanya subjek yang ditulisnya, yang membuat saya tertarik, tetapi, tentang pulau Sumatra. Sebuah pulau sejengkal peta mengarah kompas tenggara/barat yang diingatkan pada Krakatau. Saya memulai perjalanan ini, pada tahun duaribu enam, pada silek dan rempah-rempah. Minangkabau mengajak saya mengintip di ruang misteri dari Paderi. Dan, dalam magrib, di ngarai Sianok, saya menyulam hati pada Aceh.

Ada rujuk yang demikian membujuk pembacaan atas labirin dalam suatu manuskrip, susatra dalam bahasa tubuh, bahwa sunyi bunyi serta minimal wujud seruling menyiar jauh hingga wilayah timur di negeri ini, sebelum saya kembali ke pulau Jawa. Mungkin, saya mengemas kembara bagai perahu layar yang linglung dan bertubi dihantam topan. Sebelum Amerika menjadi satu-satu daratan, suatu silam, yang meninggalkan sekaligus ditinggalkan menjadi serpihan yang hancur mumur, percintaan di antara Julius Ceasar dengan Cleopatra larut tergenang kubangan berdarah, tapi, ada angin dalam hening seruling yang telah menuntun saya untuk kembali pulang kepada Sunda, memohon sujud kepada Jawa dalam ikatan Bangal untuk mengenang Kashmir dan Himalaya.

 

And Love will yield to me, though with his bow

he wounds my heart, shakes at me his burning torch.

The more he pierces me, the more violently he burns me,

so much the fitter am I to avenge the wounds.

Nor will I falsely say you gave me the art, Apollo

[Ovid: Ars Amatoria]

 

Mungkin, hanya di dalam nafas ini, seni serta cinta, hanyalah tentang gaduh yang seringkali eror saat menatap rincian desain konstruksi atas rasa sekaligus emosi, satu-satunya linimasa yang akan selalu ditikam tajamnya pasir dari pantai Laut Hitam. Saya hanyalah salah satu contoh kesalahan pengulangan atas kelahiran yang berakhir di dalam labirin cekcok, antara Mars dengan Venus yang terbakar, luruh menghulu dalam rengsa atas jelajah sungai-sungai Purgatorio; tidak pernah benar-benar mengucapkan kata “tamatpada vibrasi toska.

Mungkin, inilah layar selimbung geladak yang meminta ijin untuk berlabuh sejenak.

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu